Senin, 02 April 2012

Jika Hakim Ancam Mogok Kerja ......

-
Disapa Yang Mulia Diperlakukan tidak Mulia
Apa jadinya bangsa ini jika kelak hakim tidak mau atau melakukan aksi mogok sidang?Inilah yang menjadi kekhawatiran ketika  para hakim terutama yang bertugas di daerah, menyerukan untuk mogok sidang akibat dalam masa empat tahun terakhir gaji mereka tidak pernah naik dan bahkan sudah 11 tahun tunjangan tidak pernah meningkat.
Adalah hakim Pengadilan Negeri (PN) Aceh Tamiang, Sunoto Abu Majid, yang antara lain menyerukan akasi mogok itu,  "Kami akan mogok sidang jika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak memperhatikan gaji pokok hakim yang lebih rendah daripada gaji pokok pegawai negeri sipil (PNS). Kami siap menggalang kekuatan untuk mogok sidang," tegas Sunoto belum lama ini. "Kami setiap hari dipanggil yang mulia. Tapi kesejahteraan kami jauh di bawah PNS. Ini sungguh ironis," ungkap Sunoto.
Gaji pokok yang diterimanya sebagai hakim hanya mencapai Rp1,9 juta per bulan. Gaji itu ditambah dengan tunjangan Rp650 ribu per bulan dan tunjangan istri 10% dari gaji pokok dan tunjangan anak 2% dari gaji pokok. "Dulu saya menerima gaji total Rp2,9 juta per bulan," ujarnya ketika dihubungi dari Jakarta, Jumat (30/3).
Kenyataan hidup seperti itu, mendorong Sunoto untuk melancarkan protes ke Jakarta. Padahal, UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan hakim merupakan pejabat negara. Bahkan, dalam tiga undang-undang tentang peradilan menjamin fasilitas bagi para hakim.
Tiga UU tersebut adalah UU No 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum, UU No 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, dan UU No 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).
"Faktanya, sampai sekarang fasilitas seperti keamanan dan fasilitas lain seperti mobil dan rumah masih tidak ada bagi hakim di daerah. Banyak hakim yang tidak mendapatkan fasilitas tersebut," tandasnya.
 
Serbamahal
Keluhan serupa juga datang dari hakim yang bertugas di Nusa Tenggara Timur (NTT). Pada September 2011, hakim di NTT mengirimkan surat permohonan kepada Ketua Mahkamah Agung (MA) agar memperjuangkan kenaikan gaji dan tunjangan mereka.
"Namun, hingga kini belum ada realisasi," kata Ketua Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi) NTT Dyajusman, akhir pekan lalu.
Ia menyebutkan, kehidupan hakim di daerah, terutama di wilayahnya cukup mengenaskan. Untuk hakim golongan IIIB, mereka harus hidup dengan gaji Rp2,31 juta per bulan. Adapun gaji PNS golongan IIIB per bulan sekitar Rp2,35 juta. "Lantas untuk apa kita dipanggil yang mulia atau pejabat negara kalau hidup kita begitu mengenaskan," keluhnya.
Dengan gaji tersebut, ungkap Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Agama NTT itu, mereka harus menafkahi kehidupan rumah tangga di daerah yang serbamahal, seperti biaya transportasi, sewa rumah, dan sebagainya. "Sementara gaji kita tidak berbeda dengan wilayah di Jawa yang masih terbilang murah," katanya.
Walaupun sudah ada janji dari DPR untuk menaikkan anggaran terkait kesejahteraan hakim, kondisi politik terakhir membuat Djayusman dan kawan-kawan ragu bisa terealisasi. "Kita pikir itu bisa dikabulkan jika harga BBM jadi naik. Jadi alokasi subsidi bisa dialihkan sebagian untuk gaji kita. Tapi kelihatannya berat," ujarnya.
Setali tiga uang, hakim ad hoc hubungan industrial (HI) juga menuntut peningkatan kesejahteraan. Hakim ad hoc HI merasa penghasilan mereka jauh dari layak jika dibandingkan hakim lainnya, terutama hakim ad hoc di pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor).
Oleh karena itu, pada 23-25 Maret lalu para hakim ad hoc HI menggelar pertemuan. Pertemuan itu menyepakati pembentukan Forum Komunikasi Hakim Ad Hoc Pengadilan Hubungan Industrial Indonesia, dan mengajukan permohonan peningkatan kesejahteraan ke MA.
Mereka menggugat Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2006 tentang Tunjangan dan Hak-Hak Lainnya bagi Hakim Ad Hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).
Berdasarkan ketentuan tersebut, hakim pada tingkat pertama menerima tunjangan sebesar Rp5,5 juta dan hakim tingkat kasasi sebesar Rp12 juta per bulan. Hal itu berbeda dengan yang diterima hakim ad hoc pengadilan tipikor, yaitu pada tingkat pertama sebesar Rp13 juta, tingkat banding Rp16 juta, dan tingkat kasasi Rp22 juta. Lalu hakim ad hoc tipikor mendapatkan fasilitas perumahan sebesar Rp25 juta setiap tahun.
“Perbedaan ini menunjukkan ketidakadilan dan tidak layak, karena beban pekerjaan dan tanggung jawab memiliki kuantitas dan kualitas yang sama. Karena itu kami mengajukan permohonan adanya keseimbangan dan kesetaraan kesejahteraan hakim ad hoc PHI dengan hakim ad hoc tipikor," kata Sahala Aritonang, salah satu hakim ad hoc PHI.
Tugas yang diemban hakim ad hoc HI, kata dia, tidak kalah penting dengan yang dilakukan hakim ad hoc tipikor, yaitu memeriksa, mengadili, dan memutus perselisihan di bidang hubungan industrial antara pengusaha dan pekerja atau buruh.
"Sungguh ironis, kami menyelesaikan persengketaan buruh atau pekerja yang menuntut kesejahteraan dari pemerintah. Namun di sisi lain, kami diperlakukan tidak adil oleh pemerintah dalam hal kesejahteraan. Kami memohon kepada pemerintah untuk tolong menyelesaikan masalah kesejahteraan kami," pinta Sahala.

Tanya Presiden
Sekretaris MA Nurhadi menjelaskan, sebenarnya pihaknya sudah mengusulkan persoalan penaikan gaji dan tunjangan bagi para hakim kepada Presiden sejak satu setengah tahun lalu. "Rencana usulan tersebut juga di-back-up dengan dokumen untuk mendukung usulan tersebut," jelasnya.
Kendati begitu, hingga saat ini belum ada jawaban apa pun terkait usulan tersebut dari Presiden. "Untuk prosesnya kami tidak tahu sudah sampai mana, silakan tanya ke Presiden," kata dia.
Nurhadi mengetahui kalau sejumlah hakim ingin melakukan mogok apabila keinginan dan tuntutan mereka untuk peningkatan gaji tidak digubris. Ia pun menilai tuntutan tersebut sebagai hal wajar. "Ya, bersabarlah. Ini sedang diperjuangkan," tandasnya.(Sumber Antara/MI)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar