Jumat, 26 Maret 2021

Sem Muhaling ‘Penyair Masamper’

 

Oleh: Sovian Lawendatu

Sesudah menerbitkan sajak-sajaknya dalam buku antologi sajak “Sasambo” (1991), penyair Sem Muhaling tidak kelihatan lagi batang hidungnya di dunia publikasi sastra. Banyak rekan penyair menyana bahwa kepenyairan Sem telah impoten. Atau bahwa kepenyairan Sem sudah berpulang ke alam fana sebelum dirinya kelak berpulang ke alam baka.
Nyanaan itu untuk kurun waktu tertentu tidak salah. Penyair Sem tampak tenggelam ke dalam rawa payah rutinitas selaku birokrat.
Syukurlah, meski tidak sederas dahulu, penyair ini belakangan berproduksi lagi. Malahan, atas ‘tantangan’ seorang Leonardo Axsel Galatang, kami bertiga pada tahun ini akan menerbitkan buku antologi cerpen yang pernah kami tulis pada sekitar 30an tahun silam – semogalah rencana ‘melangit’ ini terwujud paling lambat tanggal 31 Desember tahun ini – he… he…he…
Sajak-sajak yang dibuat oleh penyair Sem pada waktu belakangan cenderung masih memperlihatkan gaya (style) khas kepenyairannya seperti yang tersuguh dalam buku antologi “Sasambo”. Itulah gaya improvisatoris, sebagaimana yang pernah dikatakan oleh Kamajaya Al. Katuuk dalam ulasannya yang dipublikasikan di harian Manado Post menyambut kehadiran buku antologi ‘patungan’ tersebut. Penyair Sem dalam hal ini memanfaatkan sifat lentur kata-kata untuk keperluan repetisi dan ‘permainan bunyi’. Jika Kamajaya mengilustrasikan ciri kepenyairan Sem ini dengan ‘lagu dolanan anak-anak’, maka dengan maksud yang sama, saya mengilustrasikan ciri kepenyairan yang demikian dengan teknik menyanyi dalam tradisi Masamper. Dengan gaya kepenyairan yang demikian, sajak Sem menjadi ritmis. Nikmati saja sajaknya yang melukiskan ‘kelakuan’ roh-roh yang bertentangan tabiat.
Ruh hitam ruh putih, ruh hitam ruh putih
di sini ruh kelabu makan bimbang makan bimbang

ruh hitam makan nista makan dusta
ruh putih makan cinta makan rasa

ruh kelabu menggelantung di awan
tak turun tak naik 

di manakah engkau ruh-ruh leluhur ruh-ruh moyang
di manakah engkau ruh-ruh buyut ruh-ruh pewaris

jangan bimbang
lepas timbang
jangan tumbang
sebelum rembang

datang sini datang mari
ruh putih ruh suci
peluk kami peluk pewaris
biar nyanyi dalam nirwana

datang sini datang mari
ruh putih ruh suci
rasuk kalbu rasuk pikir
biar angkara lepas diri
 
(Album SATAS / NUSA UTARA, 23 Februari 2014)

Untuk bait-bait sajak yang terdiri atas empat larik yang berukuran pendek (dihitung dari jumlah sukukata!), maka gaya improvisatoris Sem itu membuat sajaknya mirip karmina (pantun kilat). Perbandingannya dapat dilihat lewat contoh berikut. 

jangan bimbang
lepas timbang
jangan tumbang
sebelum rembang.

gendang gendut
tali kecapi
kenyang perut
senang hati

(Karmina)

Sementara untuk bait-bait sajak yang terdiri atas empat larik yang berukuran relatif panjang (delapan sampai dua belas sukukata), maka gaya kepenyairan yang demikian membuat sajak Sem menyerupai pantun seumumnya. Perbedaannya, sajak Sem tidak mengedepankan rima akhir sebagaimana yang menjadi formula pantun (a-b-a-b). Perhatikan juga sajaknya yang berjudul “Kecubung”.

Mekar lembayung kecubung
dipercik embun langit pelangi
kala angin menghembus ke utara
terbangkan wewangi mimpi tua
senyum pagi ucapkan doa:
selamat pagi pelangiku
Mekar kecubung pulau doa
tebarkan putik, janjikan rasa
ketika laut biru singkatkan langkah
menghitung tapak seribu riak
padamu kecubung
mabukkan jantung merah
pelangi kota bising.
 
(Album SATAS / NUSA UTARA, 30 Juni 2014)
Dalam gamitan dengan Masamper, maka perbandingan bentuk sajak-sajak Sem dengan pantun adalah hal niscaya. Pasalnya, dari sisi lirik lagunya, Masamper memang berbentuk pantun atau campuran antara pantun dan syair. Ini misalnya dibuktikan dengan lagu Masamper “Di Pantai Enemawira”
 
Di pantai Enemawira
kududuk dengan murung
mengenangkan si saudara
sepri burung terkurung

Ke utara peperangan
ke selatan dilarangan
hati mana boleh tahan
sindiran kiri kanan
 
(Catatan : Bait pertama lagu ini berbentuk pantun sedangkan bait keduanya, yang nota bene bersifat refrain, berbentuk syair)

Kemudian, sehubungan dengan teknik improvisatoris dalam menyanyikan lagu-lagu Masamper, maka teknik tersebut dapat digambarkan antara lain sebagai berikut.
Di pantai (di pantai) Enemawira
kududuk (kududuk) dengan murung
mengenang… (mengenang…) –kan si saudara
sepri bu… (sepri bu…) – rung terkurung.
 
Kiranya perlu dijelaskan bahwa dalam ber-masamper, kata-kata yang dikurung merupakan wujud improvisasi. Sering improvisasinya lebih rancak; satu kata dinyanyikan secara beruntun.

Di pantai (di pantai di pantai) Enemawira
(Kududuk kududuk kududuk kududuk) Kududuk
(kududuk kududuk) dengan murung
(mengenangkan mengenangkan) mengenang…
(mengenang mengenang) –kan si saudara
(sepri burung sepri burung) sepri bu…
(sepri burung sepri bu) –rung terkurung.
 
Gaya improvisatoris penyair Sem sedikit banyak mencuat juga dalam sajaknya yang berikut.
NEGERIKU MENYULAM SEJARAH

Negeri ini sedang menyulam sejarah untuk generasi mendatang
Sulaman penuh benang-benang kusut dan kotor
benang-benang kotor yang dipungut dari lumpur reformasi
benang-benang kusut yang ditarik dari inkonsistensi hukum
Negeri ini sedang menyulam sejarah kakek-nenek untuk cucu
sejarah yang penuh cerita horor dan teror politik
horor karena ceritanya menyeramkan
teror karena perilaku saling menakut-nakuti
katanya negeri ini nanti jadi komunis
katanya negeri ini nanti jadi fasis
katanya negeri ini nanti jadi orde baru jilid 2
katanya negeri ini nanti jadi boneka negeri seberang
katanya negeri ini nanti jadi negeri syariah
katanya negeri ini nanti jadi negeri kafir
katanya negeri ini nanti jadi apa?
Negeri ini sedang menyulam sejarah colak hitam dan kelabu
ketika benang-benang putih disirami lumpur-lumpur lebam
hitamnya caci dan nista
kelabunya pandangan insan
putihnya generasi pewaris
Negeri ini sedang menyulam sejarah penuh borok
borok politisi dan bisul-bisul rakyat jelata
menjadi epidemi kronis 
 
(Album SATAS / NUSA UTARA, 1 Juli 2014)

Kamajaya memahami gaya improvisatoris Sem itu sebagai pengaruh gaya persajakan Sutardji Calzoum Bachri. Kamajaya sehemat saya tepat dengan pemahamannya tersebut. Welakinpun demikian, saya lebih suka memahaminya dari sisi ‘Masamper’, supaya kepenyairan Sem mendapat semacam akar pada tradisi kultural moyangnya. Maklum, Sem juga gemar ber-masamper, bahkan dengan moto “siang kalau siang”. ***

Bitung, 5 Juli 2017