Kamis, 25 Juli 2013

Sejarah Tarian Empat Wayer dalam Kebudayaan Sangihe-Talaud

Sejarah Tarian Rakyat Empat Wayer dalam Kebudayaan Sangihe-Talaud

Dalam kebudayaan daerah di Sulawesi Utara, tarian “Empat Wayer” belakang ini mulai dilupakan. Bahkan generasi muda saat ini tidak lagi mengenal tarian ini. Salah satu faktor yang menyebabkan tenggelamnya popularitas tarian ini adalah hadirnya teknologi musik. Pertama teknologi audio yang membuat orang lebih suka mendengarkan musik daripada memainkan alat musik non elektronik sambil bernyanyi, dan yang kedua, hadirnya alat musik elekton seperti keyboard dengan segala perangkat pendukungnya.
Kehadiran teknologi audio diikuti merasuknya budaya barat berupa disko dan tarian modern lainnya, membuat generasi muda melupakan warisan budaya leluhurnya dan mengikuti irama musik barat yang berdentum-dentum dalam alunan musik disko. Akibatnya, anak muda lebih senang berdisko ria daripada menarikan tarian Empat Wayer.
Pelupaan dan pengabaian terhadap tarian Empat Wayer pada hakekatnya terjadi karena beberapa unsur penentu. Pertama, tarian empat wayer dapat dilaksanakan apabila ada unsur pemain musik (gitar, okulele, tambur, biola dll). Kedua, unsur penyanyi (baik tunggal maupun kelompok) yang akan menyanyikan sejumlah lagu secara medley untuk satu jenis gerakan dengan durasi sesuai komando pemimpin (pangaha). Tanpa musik dan penyanyi maka tarian tidak akan berlangsung. Ketiga, unsur pemimpin atau pangaha. Unsur terakhir ini telah “hilang” dan tidak terwariskan karena tokoh ini akan melakukan komando gerakan para anggota penari. Dari ketiga unsur tersebut, jika pemain musik dan pemimpin tari siap di tempat, maka tarian akan dapat dilaksanakan. Sementara unsur penyanyi bisa siapa saja yang hadir yang penting bisa menguasai lagu-lagi sesuai iramanya.

 

Sejarah Empat Wayer

Tarian Empat Wayer merupakan tarian rakyat dan bersifat massal karena melibatkan banyak pemain yang akan membentuk lingkaran besar. Dengan demikian, kurang pas jika para pemain hanya sepuluh orang. Semakin banyak tentu akan semakin baik. 

Lalu, mengapa ada tarian Empat Wayer dalam kebudayaan Sangihe-Talaud? Mayoritas komunitas masyarakat Sangihe-Talaud (dapat disebut juga Nusa Utara karena di dalamnya juga termasuk Sitaro) yang tidak mengetahui sejarah tarian ini. Tidak pandang bulu, entah itu generasi tua maupun generasi muda, terlalu sedikit yang mengetahui latar belakang sejarah hadirnya Tarian Empat Wayer.

Secara historis, tarian Empat Wayer muncul dan dipraktekkan jauh sebelum tahun kelahirannya pada 1942. Tarian Empat Wayer sebenarnya sudah ada cikal-bakalnya sejak tahun 1928 di negeri (atau dapat dikatakan kerajaan Tahuna). Pemrakarsanya adalah raja Tahuna selaku Lanschap Kendahe dan rajanya diberi gelar Kepala Swapraja. Adalah Christian Pontoh raja Tahuna yang memelopori lahirnya tarian Empat Wayer. Pada waktu libur beliau bersama dengan pemuda dan para tetua yang sehaluan politik dengannya berkumpul di di pantai-pantai yang dipenuhi pohon kelapa dengan alasan mengadakan rekreasi waktu libur. Padahal sesungguhnya tujuan mereka yang sebenarnya adalah menggalang persatuan dan kesatuan guna menempah semangat perjuangan kepada para pemuda untuk bangkit membela dan menuntut kemerdekaan, terutama mengusir penjajah dari bumi Indonesia khususnya di Tahuna.

Mereka bernyanyi - nyanyi berdendang gembira sambil menari-nari lalu ditunjuk seorang gadis untuk menjadi pemimpin sebagai pemberi aba-aba. Mereka juga mengadakan beberapa pertemuan di rumah sesama anggota. Di dalam pertemuan itu banyak dipercakapkan tentang perjuangan rakyat Indonesia yang dilakukan olen rekan-rekan di pulau Jawa. Mereka menyanyi dan menari sesuai dengan irama/tempo lagu yang dinyanyikan, walaupun musik pengiringnya berupa tiupan kepalan atau katupan tangan atau mengetuk meja, botol-botol atau apa saja bisa menghasilkan bunyi. 
Dari sekian banyak lagu yang dinyanyikan sebagian syairnya antara lain sebagai berikut:

Mahiko ikite medalahintau
Kapiane maghighile sembalaghengu nusalawo
Nusane kai wanuaku patutune
Tentanurang iupung gaghurang
Katanakeng ana pulung kadentane
Isire pisi mawira matane wola
Nebawa hombang si kite sembanua
su wanua i kekendage .

.......... dan seterusnya.

Terjemahannya :

Marilah kita saling berkenalan alangkah baiknya menjadi rukun keluarga (gugusan kepulauan). Kepulauannya adalah tanah tumpah darahku dijaga (dipelihara) sejak nenek moyang sampai kepada orang tuaku. Dihuni oleh anak cucu yang akan datang. Mereka yang berkulit putih bermata kelabu membawa nestapa kepada seisi kepulauan. Kepulauan yang kami cintai.

Segala kegiatan raja Christian Pontoh ini akhirnya tercium oleh petugas Belanda, sehingga ia dipecat dari kedudukannya sebagai kepala Swapraja Tahuna Kendahe dan diasingkan di Luwuk. Alasan pihak penguasa Belanda, bahwa Christian Pontoh mengabaikan kepentingan rakyat dan menguntungkan diri sendiri serta menyalahgunakan jabatannya dengan memboroskan uang Lanschap.

Pada tahun yang sarna (1928) api nasionalisme membara di hati para pemuda dan masyarakat yang berhaluan nasionalis, apalagi setelah didirikannya PNI cabang di Ulu Siau di bawah pimpinan G.E. Dauhan (Geda). Jiwa dan semangat nasionalisme 'ditempah dan tertanam serta tumbuh di kalangan generasi muda. Hal ini bisa demikian karena penyaluran api nasionalisme di Siau lebih terkoordinasi dengan baik. Apalagi setelah dibentuk organisasi-organisasi pemuda yang bersifat sosial seperti perkumpulan sepak bola nasional dan koperasi persatuan. Pada waktu-waktu senggang atau libur mereka mengadakan kegiatan di kebun-kebun kelapa dan di tempat-tempat yang tidak mengundang kecurigaan petugas Belanda. Suka-cita mereka tergambar dari nyanyian-nyanyian dan tarian yang selalu mereka lakonkan. Irama lagu mars menambah semangat mereka untuk bersatu dan semakin lama mereka menari semakin bersemangat dan ramailah situasi di tempat mana mereka mengadakan kegiatan.

Penderitaan yang dirasakan di masa penjajahan itu terasa terlupakan. Secara spontan masyarakat berkumpul di bawah pohon kelapa . Dilihat dan dicarilah siapa saja yang mau dan mampu memberi aba-aba untuk ditunjuk menjadi pemimpin tarian. Demikian benih tarian dilakukan secara berulang, namun tidak pernah ada yang mencoba meberi nama tarian tersebut. 

Penamaan Empat Wayer atau Ampa Wayer

Setelah Jepang berhasil melumpuhkan kekuatan Belanda dengan pasukan Sekutunya, maka kekuasaan Belanda di Sangihe-Talaud (Nusa Utara) pun lenyap sejak 8 Maret 1942. Peta kekuatan dan kekuasaan pun berubah dari gaya Belanda ke gaya Jepang sebagai pemenang perang. Dalam sejarah Indonesia tercacat bahwa Jepang telah menerapkan sistem Romusha sebagai salah satu cara untuk memanfaatkan tenaga-tenaga warga pribumi untuk kepentingan mereka. Romusha mirip dengan kerja rodi/kerja paksa yang pernah dilakukan Belanda terhadap rakyat Indonesia. Romusha pada prakteknya mengumpulkan warga pribumi terutama yang berusia muda dari suatu daerah dan dikirim ke daerah lain sebagai tenaga kerja. 

Pada tahun 1942, ada romusha dari Sangihe-Talaud (Siau, Sangihe, Tagulandang dan Talaud) yang dikirim oleh pasukan Jepang ke Ternate (Tahinate). Para Romusha ini, ketika ada waktu senggang (istirahat) dimanfaatkan untuk saling menghibur diri dengan mengadakan rekreasi dengan menyanyi dan menari –nari. Umumnya irama lagu yang dinyanyikan dandiragakan adalah irama mars. Rekreasi ini pertama kali dicetuskan oleh seorang Romusha yang bernama Alfret Pontoh. Beliaulah yang menyusun dan mengatur cara melangkah dengan memberi aba-aba bahkan mengatur pengiringnya sendiri.

Tidak seperti dipraktekkan sebelumnya di Tahuna, para penari juga bertindak sebagai pengiring dan penyanyi. Di sini tarian ini diiringi dua buah Juk (okulele). Di antara beberapa komando/aba - aba yang paling terkenal dan yang suka dilakonkan adalah mengikuti gaya pesawat tempur berbaling-baling (wayer) milik pasukan Jepang yang beratraksi di udara (wayer adalah kosakata dialek Melayu Manado yang berarti baling-baling). Karena meniru gerakan pesawat tempur dengan empat baling-baling itu, maka gerakan tariannya adalah merentangkan tangan seperti sayap pesawat tempur kemudian maju melangkah dengan irama mars sambil sesekali menirukan gaya pesawat miring atau turun berjongkok. Gerakan ini dilakukan berulang kali. Dengan mengikuti aba-aba dari pemimpin tari. Inilah yang kemudian dikenal dengan tarian Empat Wayer.

Sebenarnya ada pendapat lain yang menjelaskan latar belakang nama tarian ini. Dijelaskan bahwa di kala para Romusha mereka sedang asyiknya menari di siang bolong, tiba-tiba datanglah pesawat tempur milik pasukan Sekutu lalu secara serentak dan spontan mereka berteriak "Ampa Wayer datang". 

Salah satu lagu yang dinyanyikan pada saat mereka berampa wayer, syair lengkapnya adalah sebagai berikut:

Masanya telah tiba, Sangir bersatulah
Memegang senjata dengan nama gorela/gerilya
karena tindasan Jepang Sangir jadi susah
Banyak tertipu raja, rakyat pun binasa.
Marilah kita dengan gagah berani
Menghancurkan Jlepang, sampai hancur Iuluh,
walaupun dengan sukar sulit
nanti gorela ingatlah selalu

Dari syair lagu tersebut, dapat dipahami bahwa motivasi munculnya tarian Ampa Wayer sebagai sarana hiburan di waktu senggang, namun kemudian berubah menjadi sarana pembina dan pemicu semangat nasionalisme bagi warga masyarakat Nusa Utara dalam menggalang persatuan dan kesatuan menghadapi penjajah. Dengan demikian, tarian Empat Wayer atau Ampa Wayer pada hakjekatnya merupakan ekspresi jiwa dan semangat perjuangon serta merupakan sarana untuk menumpahkan kekalutan hidup karena derita akibat penjajahan. 
Demikian sepintas kisah yang terlupakan oleh generasi Nusa Utara. Semoga bermanfaat.