Selasa, 05 April 2016

Pitres Sombowadile & Budaya Moyangnya

Pitres Sombowadile & Budaya Moyangnya
 
Oleh : Sovian Lawendatu

Dari sekian banyak sajak Pitres Sombowadile yang tercantum dalam buku antologi “Sasambo” (1991), ada satu yang relevan untuk dibicarakan dalam konteks pembicaraan tentang hubungan penyajak dengan budaya moyangnya atau sub-etnisnya. Maksud saya adalah “Bandar”.

Pada ‘beberapa waktu lalu’ Kota Manado digemparkan oleh aksi demonstrasi massa mahasiswa asal Sangihe Talaud yang memprotes rencana pemindahan (relokasi) Pelabuhan Manado. Sebab, kebijakan pemerintah itu secara ekonomi dipandang akan menyusahkan masyarakat Sangihe Talaud, termasuk para demonstran, sebagai pihak yang berkepentingan dengan pelabuhan itu.

Saya tidak tahu apakah Pitres turut serta dalam aksi demonstrasi itu? Ataukah dia mungkin termasuk ‘ki dalang’nya? Yang jelas, sikap dan pandangan massa demonstran itu memengaruhi penulisan sajak “Bandar”. Malahan, Pitres pun memandang bahwa rencana pemindahan Pelabuhan Manado itu merupakan sebentuk penindasan terhadap masyarakat Sangihe Talaud.

Sebagai penyajak, Pitres meleputkan pandangannya tadi secara puitis. Ia menampilkan tokoh-tokoh dalam cerita rakyat Sangihe, seperti “Bakeng” (raksasa pemangsa) dan “Nangingbulaeng” (gadis). Dalam sajak “Bandar”, tokoh “Bakeng” digunakan sebagai gambaran simbolis penguasa yang menindas masyarakat Sangihe Talaud. Sedangkan tokoh “Nangingbulaeng” digunakan sebagai gambaran simbolis masyarakat Sangihe Talaud yang tertindas oleh penguasa.

Selain memanfaatkan kekayaan kultur moyangnya, Pitres juga memanfaatkan fakta-fakta kesejarahan masyarakat Sangihe Talaud, baik yang berkenaan dengan kehadiran manusia-manusia jahat, maupun yang berkenaan dengan penjajahan Belanda. Demikianlah, dalam sajak ini, Pitres menampilkan sosok-sosok jahat yang bernama Batairo, Mangaia, Panggelawang, dan Mangindano (gerombolan perompak dari Mindanao Selatan), bahkan Padtbrugge (Gubernur Maluku, Hindia Belanda), yang wilayah kekuasaannya meliputi Sangihe Talaud. Sosok-sosok jahat ini ditampilkan guna pencitraan kejahatan penguasa terhadap masyarakat Sangihe Talaud dalam konteks agenda relokasi pelabuhan tersebut.

BANDAR
Di Pelabuhan Manado

bagaimana aku bicara anggur dan mawar
ketika Bakeng memasung Nangingbulaeng
bandar ini dikencingi Batairo
cinta dikhianati
laut rumah kita dinodai.

di pelabuhan tinggal sesal
Mangaia keruk kali Jengki
buat seribu jurang
Panggelawang meniti jembatan Megawati
uji seribu riskan

katakan pada Madunde
sembilan Madonna urung mandi
bandar telah dirampok.

Minggir! Mangindano hendak gelar pesta
domba-domba terperas tinggalkan gubuk
terbantai berkali.

nyanyian duka Sasambo
turun dari ladang ketela ke daseng
tuan Santiago lihat Padtbrugge datang
bawa surat rampasan
selamatkan negeri!

Sampai pada pembicaraan di atas, kiranya jelas, bahwa penyajak Pitres memang mempunyai pengetahuan yang kaya akan budaya dan sejarah kehidupan leluhurnya. Kompetensi intelektual ini, yang sejatinya merupakan salah satu sendi kedigdayaan penyajak, dimungkinkan oleh ‘kesuntukan’ Pitres dalam berotodidak.

Kamajaya Al. Katuuk, dalam tulisan kritisnya terhadap buku antologi sajak “Sasambo”, mengembel-embeli Pitres (dan Sovian Lawendatu) sebagai penyajak yang “kuat mengolah kata”. Mengenai ini Kamajaya menjelaskan bahwa kekuatan mengolah kata ditandai dengan kemampuan Pitres menggunakan kata-kata sebagai pemadat sajaknya. Itu sebabnya, Kamajaya mengategorikan Pitres sebagai penyajak yang cenderung kontemplatif.

Ikhwal kekuatan kepenyajakan Pitres tersebut buat saya ‘terpenuhi’ pula dalam sajak “Bandar”. Sajak ini mematutkan keberadaannya sebagai sebuah renungan, sebuah kontemplasi tentang kehidupan.

KAMAJAYA AL. KATUUK & BUDAYA MOYANGNYA

(Dari Penghayatan Pandangan Dunia Jawa Kejawen hingga Dekonstruksi Legenda Minahasa)

Oleh: Sovian Lawendatu

Dari nama ‘awal’ dan ‘akhir’nya saja, Kamajaya dan Katuuk, sudah jelas penyajak ini memiliki dua latar budaya yang berbeda: Kejawen dan Minahasa. Apa pula lewat sajak-sajaknya. Memang untuk kepentingan kreativitasnya, Kamajaya memanfaatkan produk kedua budaya moyangnya itu.

Produk budaya Kejawen (baca: Jawa Kejawen) yang Kamajaya manfaatkan untuk kreativitasnya adalah pandangan dunia atau ‘dunia-kehidupan’ (lebenswelt) monisme-pantheistis dan magis. Pemanfaatan ini dilakukan dalam penulisan sajak Kamajaya yang berjudul Kupu-kupu Terbang Sampai (KkTS).

Kupu-kupu terbang sampai
demi bunga yang
dimekarkan matahari yang…
Belibis turun melintasi ladang dan tegalan
demi menyambut hujan yang
dimekarkan langit yang….
Indra,
tunggallah!
Merentas jalan sampai
(beru)Jung padaku!
(tu)Run pada-Nya!
(sam)Pai pada Kau!
Ana al’Haqq
Laa illaha illallah.
Tak apa-apa
tak ada siapa-siapa
bunyi tak
lamun tak
lihat tak
rasa tak
Ana al’Haqq!
Ku
pu
Ku
pu
Ana al’Haqq!

(dari naskah antologi “Ziarah Langit” Kamajaya Al.Katuuk).

Dalam sajak ini pandangan dunia monisme- pantheistis dan magi masing-masing dimanfaatkan sebagai tema dan teknik. Berarti, secara praktis, sajak ini mengungkapkan upaya insan Kejawen – bisa juga Kamajaya – untuk mencapai ‘suasana’ Manunggaling Kawulo-gusti, dengan dukungan daya gaib.

Tema Manunggaling Kawulo-gusti (atau: Manunggaling Kawulogusti) dalam sajak ini nyata melalui konsep ketiadaan, “Tak ada apa-apa/tak ada siapa-siapa/bunyi tak/lihat tak/rasa tak”, yang berklimaks pada semacam kredo : “Ana al’Haqq”. Sementara teknik magi dicitrakan dengan penggunaan runtun bunyi “Jung, Run, Pai” yang dibuntungkan dari suku awalnya. Malahan penggunaan artikel (kata sandang) “yang” secara ‘deras-beruntun’ (secara runtut dalam urutan larik-lariknya) mencitrakan teknik (suasana) magis. Demikian pula nada (tone) pengucapan larik “Indra, tunggallah!”) membayangkan suasana (ber) ‘mantra’ – dalam interpretasi saya, larik ini diucapkan oleh si aku-lirik dengan nada ‘memaksa, menghardik”, hal yang khas dalam bermantra-mantra.

Memang di tataran teknis, KkTS terbilang juga ‘puisi mantra’, seperti laiknya sajak-sajak ‘kontemporer’ Soetardji Calzoum Bachri. Bedanya –sekadar dibedakan – ‘mantra’ Kamajaya ini jauh lebih komunikatif alih-alih ‘mantra-mantra’ Soetardji.

Tema sajak KkTS menyamai tema sajak al-Hussain ibnu Mansur al-Hallaj, penyair sufi Arab yang mati ‘martir’ atau ‘syahid’. Tidak kebetulan, sajak KkTS mengadopsi ‘kredo’ al-Hallaj yang terkenal itu : “Ana al’Haqq” (Akulah Realitas Tertinggi). Semuanya ini, sehemat saya, tidak melunturkan kekejawenan KkTS atau penyajaknya. Tapi sekadar untuk mengukuhkannya. Sebab, Monisme “dan” Pantheisme di dunia Jawa Kejawen merupakan ‘transformasi’ dari Sufisme di jazirah pemikiran bangsa Arab – lihat Zoetmulder, “Manunggaling Kawulo Gusti, Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa” (1990). Di bingkai ini, pembanding yang tepat untuk KkTS adalah Suluk – cermati Zoetmulder (1990).

Sebetulnya Monisme-pantheistis (atau Monisme dan Pantheisme di satu pihak) dan magi (di lain pihak) menunjukkan pertentangan yang mencolok. Monisme-pantheistis berdimensi mistis (religious), sedangkan magi bercorak a-religius, bahkan tidak merujuk ke dunia rohani ataupun materi. Meski begitu, toh kedua pandangan dunia tersebut memiliki kemiripan. Kemiripannya terletak pada suasana ‘ketiadaan’ dan ‘kerahasiaan’ atau ‘kemisterian’, yang masing-masing dimungkinkan dalam pandangan dunia monism-pantheistis dan magi. Jadi, dalam rangka pembentukan tema KkTS, pemanfaatan teknik magi bukan sebuah kebetulan (latar budaya juga); ini justru mendukung tema sajak.

Menarik pula bahwa dalam sajak ini, dengan gaya seorang penulis ilmiah, Kamajaya mencomot kata-kata dalam ‘esai’ The Over Soul karya Ralp Waldo Emerson, yang berasal dari negeri Faust. Perhatikan.

We live in succession
in division, in parts, in particles
meantime within man is the soul of the whole
the wise silence; the universal beauty
to wich every part and particles equally related
the eternal.

Secara tematik, ‘comotan’ teks sastrawi Emerson itu relevan dengan KkTS, bahkan dalam kaitannya dengan latar budaya (baca: pandangan dunia) Monisme-Pantheisme Kejawen. Sebab, pandangan dunia Monisme-pantheistis di dunia Barat, yang terimplikasi dalam karya Emerson tadi memiliki, akar historis yang sama dengan pandangan dunia Monisme-pantheistis di dunia Jawa Kejawen. Akar historis itu ialah Neo-platonisme atau filsafat Plotinus. Ini berarti bahwa Sufisme yang terwujud lewat ajaran-ajaran al-Hallaj dan ibnu al-Arabi yang nota bene memengaruhi kemunculan Monisme-pantheistis atau Monisme ‘dan’ Pantheisme di dunia kebudayaan Jawa (yakni Kejawen), bermuasal dari Neoplatonisme –cermati Zoetmulder (1990).

***
Sebagai ‘Minahasaputra’, Kamajaya mengenal budaya leluhurnya. Sebutlah misal legenda tokoh Keke Pandagian, yang dijadikan bahan penulisan sajak Kamajaya.

Menurut makna (meaning) tradisionalnya, atau yang konvensional, Keke Pandagian adalah gadis yang melanggar larangan adat “pulang malam”. Karena pelanggarannya, Keke Pandagian menjalani ‘kutuk’, menjadi bintang timur.

Dalam sajaknya, yang berjudul Keke Pandagian, Kamajaya meruntuhkan hakikat kutukan itu; bahwa menjadi ‘bintang timur’ bukan lagi sebuah kutukan, melainkan ‘berkat’ bagi Keke Pandagian, menjadi “guru kegulitaan”. Di titik ini, Kamajaya sebenarnya menampilkan apa yang oleh Umar Yunus disebut “mitos perlawanan’. Atau dalam perspektif Derrida, sang penyair melakukan dekonstruksi terhadap makna adat Minahasa yang tersuguh di dalam legenda tersebut; penyajak membongkar-bangkir makna legenda Minahasa itu, lalu menyusunnya kembali, sehingga legenda itu mendapatkan makna baru, menurut ‘visi estetik’ penyajak sendiri.

Keke Pandagian
karena berilmu
hidupnya di mahkamah bintang
bukan di bumi

(Aku Tole, lelaki langit
tangga cahaya Mahakemilau
kekasih kebenaran
di timur malam kusunting ceritamu jadi kelip)

Keke Pandagian
di mahkamah bintang
adat dan moyang
tangganya tak akan sampai
yang tak diterima di bumi
memang harus hidup di langit
jadi guru kegulitaan.

(dari naskah antologi sajak “Ziarah Langit” karya Kamajaya Al. Katuuk).