Sabtu, 02 Juli 2016

Awas, Wartawan Ayam Kampung!

Ada yang menarik dari Seminar yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kota  Bitung bersama Dewan Pers pada 27 Juni 2016 lalu. Seminar Literasi Media ini mengambil tema‎ “Membedakan Media Profesional dengan Media Abal-abal”,  dilaksanakan di Balai Pertemuan Umum Kantor Walikota Bitung, dengan pesertanya terdiri atas anggota Forkopimda,  pejabat eselon II, eselon III, para lurah serta para kepala sekolah sekota Bitung.
Materi seminar disampaikan oleh empat nara sumber dari Dewan Pers berturut-turut oleh Dr SH Sarundajang dengan materi "Konsep pers Profesional ‎Menurut KEJ dan UU Pers",  Imam Wahyudi dengan materi “Ciri-ciri Wartawan Abal-abal ‎dan Menyikapi Pers yang Tidak Profesional”, Leo Batubara dengan "Materi Pprosedur Pengaduan, Hak Jawab dan Penanganan Hukum Sengketa Pers” dan terakhir oleh Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo (Stanley). Dari keempat narasumber, yang menarik untuk disimak adalah istilah yang diungkapkan oleh Imam Wahyudi yakni Jurnalis Ayam Kampung. Ini adalah istilah yg sangat menarik bagi saya dan baru kali ini kudengar. Dulunya, di masa aktif sebagai wartawan di tahun 1980-an sampai 1990-an, yang paling populer adalah Wartawan Bodrex, WTS (Wartawan Tanpa Surat Kabar), Wartawan CNN (Cuma Nanya-nanya doang) dan beberapa istilah lain. Jusnalis (atau wartawan) ayam kampung sebagaimana dimaksud pak Imam Wahyudi adalah wartawan yang tidak diberi "makan" oleh tuannya, tapi memberikan penghasilan kepada tuannya. "Ya, ibarat ayam kampung, dilepas untuk cari makan sendiri, tapi bertelur di kandang dan diambil oleh tuannya," kata Imam menjelaskan.
Pernyataan Iman Wahyudi ini merupakan pukulan telak di wajah para awak media abal-abal yang memang dewasa ini banyak berkeliaran di tengah masyarakat. Yang paling menyakitkan adalah para jurnalis ayam kampung yang kebetulan ikut hadir dalam seminar untuk "meliput". Saking telaknya pukulan itu, maka ketika acar foto bersama dan ada acara sisipan pemberian santunan BPJS ketenagakerjaan kepada korban kecelakaan tenaga kerja Dinas Kebersihan, saya hanya sempat melihat dua atau tiga wartawan (profesional) yang mengambil gambar. Ketika usai acara, saya sempat bergurau ke wartawan Tribun Manado: "Kiapa cuma sandiri yang baambe gambar dang, hehehe (Kenapa cuma sendiri saja yang mengambil gambar)" tanyaku dengan nada bergurau. Diapun menjawab enteng, "Dorang so tersinggung, hahaha, {Mereka (wartawan abal-abal) sudah tersinggung}", katanya sambil tertawa.
Bagi saya, apa yang dikatakan oleh Imam Wahyudi adalah FAKTA yang tidak terbantahkan. Bahwasaya, dari sekian ratus ribu wartawan yang ada di negeri ini, hampir 3/4-nya adalah wartawan yang dibiarkan lepada oleh induknya untuk mencari makan sendiri. Artinya wartawan yang tidak digaji oleh perusahaan pers secara langsung, melainkan mencari "gaji" dengan melakukan "penodongan" bahkan pemerasan kepada nara sumber. Karena itulah seluruh peserta yang adalah pejabat sangat berterima kaish kepada Dewan Pers yang boleh memberikan pemahaman tentang apa, siapa dan bagaimana pers yang profesional menurut UU Nomor 40 Tahun 1999.
Wartawan ayam kampung itu lebih banyak menemui narasumber bukan untuk mendapatkan bahan berita melainkan meminta uang. Gejala ini sebenarnya bukan hal baru, tapi sudah ada jauh sebelum kebebasan pers di negeri ini diatur dengan UU Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Di era orde baru, ada banyak wartawan seperti itu. Yang justru lebih paran dari pers ayam kampung adalah WTS (Wartawan tanpa Surat Kabar). Kalau wartawan ayam kampung itu mencari berita dan atau duit dan disetor ke bos mereka, maka "WTS" adalah mereka yang tidak punya media tapi mengaku-ngaku wartawan lalu mewawancarai narasumber tapi tapi tidak pernah ada media yang memuat hasil wawancaranya.
Hal yang menjadi semakin menarik lagi ketika diberikan penjelasan oleh Imam Wahyudi, Leo Batubara maupun Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo alias Stenly jika ada pemberitaan yang menyudutkan yang dilakukan leh media abal-abal, itu dapat dipidanakan lewat kepolisian dan bukan melalui Dewan Pers. Sebab, Dewan Pers hanya melayani pengaduan bagi kasus yang melibatkan pers profesional yang kriterianya sebagaimana diatur dalam undang-undang. Lembaga pers dan pekerjanya yang tidak profesional alias abal-abal dapat dipidanakan. "Silakan lapor ke polisi karena itu menjadi ranah kepolisian, bukan ranahnya Dewan Pers" kata Imam Wahyudi dan Yosep Adi Prasetyo dan disambut tepuk tangan peserta seminar. 
Semengtara di bagian luar gedung BPU, puluhan wartawan yang dapat digolongkan abal-abal berkumpul sambil mendengarkan materi. Seorang di antara mereka nyeletuk dengan suara agar kera, "Huuuh abis kwa torang (Huuuu.... habislah sudah kita ini)," sambil disambut senyum teman-teman lainnya. Pernyataan ini memberikan tanda bahwa itu adalah "pengakuan dosa" dari seorang wartawan abal-abal alias wartawan ayam kampung.
Beberapa kepala sekolah dan pejabat, pada usai kegiatan dalam percakapan dengan saya, menyatakan menjadi berani jika akan ada wartawan abal-abal yang datang mewawancarai dan meminta uang. Bahkan Kepala Dinas saya sendiri berujar bahwa sebelum seminar dilaksanakan, beliau telah janjian dengan seorang wartawan yang melakukan "penagihan"  sebesar Rp2.500.000 (dua juta lima ratus ribu rupiah) Tapi karena adanya pernyataan Dewan Pers itu, maka ia membatalkan rencana mengambil "tagihan" itu. Padahal si Kepala Dinas  sudah menelpon berulang kali agar datang mengambil "tagihan"-nya, tapi ia tidak memberikan kepastian akan datang atau tidak.  Dengan demikian, maka ketahuanlah, kalau yang bersangkutan hanyalah wartawan ayam kampung.
Lepas dari masalah wartawan ayam kampung, yang pasti korban terbesar dari praktek mereka adalah para pejabat dan terutama pejabat yang kotor dan korup. Di antara pejabat kotor dan wartawan ayam kampung ini telah mengalami proses "simbiosa mutualistik" semakin seorang pejabat korup, maka semakin kenyanglah wartawan ayam kampung ini memakan dari hasil korupsi itu dan semakin amanlah sang koruptor karena dianggap tak bakaln terekspo di media. Ya, menurut Imam Wahyudi, ibarat ikan lele yang hidup dan berkembang subur di lumpur yang kotor. Hmmmm. Waspadalah agar Anda tidak menjadi mangsa wartawan ayam kampung  dan janganlah hidupkan dan pelihara "lele" di kolam yang berlumpur kotor.