UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 4 TAHUN 2010
TENTANG
PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK
SINGAPURA TENTANG PENETAPAN GARIS BATAS LAUT WILAYAH KEDUA
NEGARA DI BAGIAN BARAT SELAT SINGAPURA, 2009
(TREATY BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE REPUBLIC OF
SINGAPORE RELATING TO THE DELIMITATION OF THE TERRITORIAL
SEAS OF THE TWO COUNTRIES IN THE WESTERN
PART OF THE STRAIT OF SINGAPORE, 2009)
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara kepulauan yang berciri nusantara mempunyai kedaulatan atas wilayahnya, termasuk laut wilayah, untuk dikelola dan dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa sesuai dengan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut, 1982 United Nations Convention on the Law of the Sea, 1982) yang disahkan melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 dan sesuai Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, Indonesia memiliki kewajiban untuk menetapkan batas maritimnya melalui perundingan;
c. bahwa pada tanggal 10 Maret 2009, Indonesia telah menandatangani Perjanjian antara Republik Indonesia dan Republik Singapura tentang Penetapan Garis Batas Laut Wilayah Kedua Negara di Bagian Barat Selat Singapura, 2009 di Jakarta;
d. bahwa Perjanjian Penetapan Garis Batas Laut Wilayah di Bagian Barat Selat Singapura oleh Pemerintah Republik Indonesia dimaksudkan untuk menegaskan wilayah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, menjamin kepastian hukum, kegiatan aparat negara di laut, serta semakin mempertegas Pulau Nipa sebagai pulau yang memiliki titik dasar yang digunakan menjadi dasar pengukuran batas maritim Republik Indonesia;
e. bahwa perjanjian antara Republik Indonesia dan Republik Singapura dilakukan sesuai dengan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut, 1982 (United Nations Convention on the Law of the Sea, 1982) yang memberikan pengakuan terhadap wilayah Negara Kepulauan yang mempunyai arti penting untuk kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan sebagai perwujudan Wawasan Nusantara;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, perlu membentuk Undang-Undang tentang Pengesahan Perjanjian antara Republik Indonesia dan Republik Singapura tentang Penetapan Garis Batas Laut Wilayah Kedua Negara di Bagian Barat Selat Singapura, 2009 (Treaty between the Republic of Indonesia and the Republic of Singapore relating to the Delimitation of the Territorial Seas of the Two Countries in the Western Part of the Strait of Singapore, 2009);
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 11, Pasal 20, dan Pasal 25A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea, 1982 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut, 1982) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3319);
3. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3647);
4. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 156, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3882);
5. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 185, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4012);
6. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4169);
7. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389);
8. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 177, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4925);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK SINGAPURA TENTANG PENETAPAN GARIS BATAS LAUT WILAYAH KEDUA NEGARA DI BAGIAN BARAT SELAT SINGAPURA, 2009 (TREATY BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE REPUBLIC OF SINGAPORE RELATING TO THE DELIMITATION OF THE TERRITORIAL SEAS OF THE TWO COUNTRIES IN THE WESTERN PART OF THE STRAIT OF
SINGAPORE, 2009).
Pasal 1
Mengesahkan Perjanjian antara Republik Indonesia dan Republik Singapura tentang Penetapan Garis Batas Laut Wilayah Kedua Negara di Bagian Barat Selat Singapura, 2009 (Treaty between the Republic of Indonesia and the Republic of Singapore relating to the Delimitation of the Territorial Seas of the Two Countries in the Western Part of the Strait of Singapore, 2009) yang telah ditandatangani di Jakarta, Indonesia, pada tanggal 10 Maret 2009, yang salinan naskah aslinya dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris sebagaimana terlampir, dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.
Pasal 2
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 22 Juni 2010
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 22 Juni 2010
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 81
-----------------------=--------------------------
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 4 TAHUN 2010
TENTANG
PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK
SINGAPURA TENTANG PENETAPAN GARIS BATAS LAUT WILAYAH KEDUA
NEGARA DI BAGIAN BARAT SELAT SINGAPURA, 2009
(TREATY BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE REPUBLIC OF
SINGAPORE RELATING TO THE DELIMITATION OF THE TERRITORIAL
SEAS OF THE TWO COUNTRIES IN THE WESTERN
PART OF THE STRAIT OF SINGAPORE, 2009)
I. UMUM
1. Latar Belakang Perlunya Penetapan Batas Laut Wilayah antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Singapura tentang Batas Laut Wilayah di Bagian Barat Selat Singapura.
Sesuai dengan ketentuan Organisasi Hidrografi Internasional (International Hydrographic Organization), Selat Singapura adalah suatu selat yang terletak di perairan Indonesia dari Pulau Karimun Kecil hingga Pulau Bintan, perairan Singapura, dan perairan Malaysia dari Tanjung Piai hingga Tanjung Tuas dan dari Johor hingga Tanjung Penyusup. Toponimi wilayah maritim Selat Singapura ini telah ditetapkan dalam dokumen IHO Nomor S-23 Tahun 1953.
Indonesia dan Singapura telah memiliki Perjanjian Garis Batas Laut Wilayah yang ditandatangani di Jakarta pada tanggal 25 Mei 1973 dan disahkan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1973 tanggal 8 Desember 1973. Perjanjian ini hanya mengatur sebagian segmen-segmen batas laut wilayah Indonesia-Singapura di Selat Singapura.
Segmen lain yang perlu dibicarakan untuk menyelesaikan keseluruhan batas maritim antara Republik Indonesia dan Republik Singapura adalah segmen bagian barat (di wilayah Pulau Nipa-Tuas), segmen bagian timur 1 (di wilayah Pulau Batam-Changi) dan segmen bagian timur 2 (di wilayah Pulau Bintan-South Ledge/Middle Rock/Pedra Branca). Penetapan garis batas laut wilayah di bagian barat Selat Singapura dengan Republik Singapura diperlukan oleh Pemerintah Republik
Indonesia untuk memberikan kepastian hukum tentang wilayah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Terkait dengan kepentingan-kepentingan Indonesia di wilayah tersebut, Selat Singapura memiliki nilai strategis sangat tinggi mengingat selat tersebut merupakan jalur pelayaran internasional yang sangat padat yang menjadi penghubung antara Benua Eropa dengan Asia Tenggara, Asia Timur dan Pasifik. Bagi Indonesia, Selat Singapura juga merupakan urat nadi jalur pelayaran Indonesia ke kawasan dunia lainnya.
Selain itu, penetapan garis batas laut wilayah ini juga menegaskan penggunaan titik dasar di Pulau Nipa sebagai dasar pengukuran batas maritim Republik Indonesia. Pulau Nipa, yang terletak pada koordinat 01°09’13’’LU dan 103°39’11’’BT, merupakan salah satu pulau di mana terdapat dua titik dasar garis pangkal kepulauan Indonesia (Nomor 175 dan Nomor 176) berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 yang diperbarui dengan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2008. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2008 telah didaftarkan kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa sesuai dengan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut, 1982 (United Nations Convention on the Law of the Sea, 1982).
Penetapan garis batas laut wilayah di bagian barat Selat Singapura antara Republik Indonesia dan Republik Singapura pada dasarnya telah memberikan keuntungan bagi Republik Indonesia dalam berbagai aspek, yaitu:
a. adanya batas laut wilayah yang jelas sehingga menjamin kepastian hukum;
b. memudahkan upaya pengawasan dan penegakan kedaulatan negara di laut wilayah;
c. memudahkan upaya Indonesia sebagai negara pantai untuk menjamin keselamatan jalur navigasi di Selat Singapura; dan
d. meningkatkan hubungan baik kedua negara.
2. Proses Perundingan Penetapan Batas Laut Wilayah di Bagian Barat Selat Singapura antara Republik Indonesia dan Republik Singapura.
Perundingan penetapan garis batas laut wilayah di bagian barat Selat Singapura dengan Pemerintah Republik Singapura mulai dilaksanakan pada tanggal 28 Februari 2005, dan berakhir pada tanggal 10 Maret 2009 ketika Menteri Luar Negeri kedua negara menandatangani Perjanjian di Jakarta antara Republik Indonesia dan Republik Singapura tentang Penetapan Garis Batas Laut Wilayah Kedua Negara di Bagian Barat Selat Singapura.
Dalam proses perundingan Indonesia selalu mendasarkan posisinya pada Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut, 1982 (United Nations Convention on the Law of the Sea, 1982), menolak dalam menggunakan hasil reklamasi sebagai dasar pengukuran, serta menggunakan referensi peta asli Tahun 1973 dan titik dasar Indonesia di Pulau Nipa dan garis pangkal kepulauan Indonesia yang ditarik dari Pulau Nipa ke Pulau Karimun Kecil.
3. Pokok-Pokok Isi Perjanjian antara Republik Indonesia dan Republik Singapura tentang Penetapan Garis Batas Laut Wilayah Kedua Negara di Bagian Barat Selat Singapura.
Pasal 1 Perjanjian antara Republik Indonesia dan Republik Singapura tentang Penetapan Garis Batas Laut Wilayah Kedua Negara di Bagian Barat Selat Singapura mengatur titik koordinat dan garis yang menghubungkannya sebagai garis batas laut wilayah kedua negara.
Titik-titik koordinat dimaksud dihitung dengan menggunakan World Geodetic System 1984 Datum (WGS84) dan garis-garis lurus yang menghubungkan setiap titik-titik koordinat: 1(1°10’46.0”LU, 103°40’14.6”BT); 1A(1°11’17.4”LU,103°39’38.5”BT); 1B(1°11’55.5”LU, 103°34’20.4”BT); dan 1C(1°11’43.8”LU,103°34’00.0”BT) sebagaimana digambarkan dalam Lampiran “A” dari Perjanjian.
Pasal 1 juga mengatur bahwa penetapan lokasi sesungguhnya dari titik-titik koordinat di atas laut akan ditetapkan dengan suatu cara yang akan disetujui bersama oleh pejabat-pejabat yang berwenang dari kedua negara. Sesuai peraturan yang berlaku di Indonesia, pejabat dimaksud adalah Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional dan Dinas Hidro-Oseanografi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut.
Pasal 2 menyatakan bahwa garis batas dari Perjanjian antara Republik Indonesia dan Republik Singapura tentang Penetapan Garis Batas Laut Wilayah Kedua Negara di Selat Singapura yang ditandatangani pada tanggal 25 Mei 1973 dan garis batas laut wilayah di segmen barat Selat Singapura yang ditandatangani pada tanggal 10 Maret 2009 digambarkan dalam Lampiran “B” dari Perjanjian.
Pasal 3 mengatur cara penyelesaian secara damai melalui musyawarah atau perundingan apabila terdapat perselisihan yang timbul dari penafsiran atau pelaksanaan perjanjian kedua negara.
Pasal 4 dan Pasal 5 mengatur bahwa perjanjian perlu diratifikasi oleh negara masing-masing. Piagam ratifikasi tersebut kemudian akan saling dipertukarkan, dan tanggal pertukaran piagam ratifikasi dinyatakan sebagai tanggal mulai berlakunya perjanjian.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5138