Kamis, 22 Maret 2012

KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP)

Banyak orang sering mendengar tentang KUHAP tapi sangat sedikit yang tahu apa isi KUHAP itu sendiri. Mengapa banyak orang mendengar tentang KUHAP, bukan karena sering membaca berita, informasi maupun mengalami masalah hukum. Salah satu yang membuat banyak orang kenal dengan KUHAP karena pelesetannya. Kalau seharusnya KUHAP adalah singkatan dari Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana sejajar dengan KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), justru orang lebih kenal dengan KUHAP bersamaan dengan KUHP karena pelesetannya menjadi Karena Uang Habis Perkara.
Lalu apa isi dari KUHAP yang sesungguhnya? Berikut ini isi dari KUHAP itu. Untuk mengunduh file silakan klik di SINI.







KITAB UNDANG-UNDANG 
HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981



Bab I Ketentuan Umum
Bab II Ruang Lingkup Berlakunya Undang-undang
Bab III Dasar Peradilan
Bab IV Penyidik dan Penuntut Umum Bagian Kesatu : Penyelidik dan Penyidik
Bab IV Penyidik dan Penuntut Umum Bagian Kedua : Penyidik Pembantu
Bab IV Penyidik dan Penuntut Umum Bagian Ketiga : Penuntut Umum
Bab V Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan Badan, Pemasukan Rumah,
Penyitaan Dan Pemeriksaan Surat Bagian Kesatu :Penangkapan
Bab V Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan Badan, Pemasukan Rumah,
Penyitaan Dan Pemeriksaan Surat Bagian Kedua : Penahanan
Bab V Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan Badan, Pemasukan Rumah,
Penyitaan Dan Pemeriksaan Surat Bagian Ketiga : Penggeledahan
Bab V Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan Badan, Pemasukan Rumah,
Penyitaan Dan Pemeriksaan Surat Bagian Keempat : Penyitaan
Bab V Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan Badan, Pemasukan Rumah,
Penyitaan Dan Pemeriksaan Surat Bagian Kelima : Pemeriksaan Surat
Bab VI Tersangka dan Terdakwa
Bab VII Bantuan Hukum
Bab VIII Berita Acara
Bab IX Sumpah atau Janji
Bab X Wewenang Pengadilan Untuk Mengadili Bagian Kesatu : Praperadilan
Bab X Wewenang Pengadilan Untuk Mengadili Bagian Kedua : Pengadilan Negeri
Bab X Wewenang Pengadilan Untuk Mengadili Bagian Ketiga : Pengadilan Tinggi
Bab X Wewenang Pengadilan Untuk Mengadili Bagian Keempat : Mahkamah Agung
Bab XI Koneksitas
Bab XII Ganti Kerugian dan Rehabilitasi Bagian Kesatu : Ganti Kerugian
Bab XII Ganti Kerugian dan Rehabilitasi Bagian Kedua : Rehabilitasi
Bab XIII Penggabungan Perkara Gugatan Ganti Kerugian
Bab XIV Penyidikan Bagian Kesatu : Penyelidikan
Bab XIV Penyidikan Bagian Kedua : Penyidikan
Bab XV Penuntutan
Bab XVI Pemeriksaan di Sidang Pengadilan Bagian Kesatu : Panggilan dan Dakwaan
Bab XVI Pemeriksaan di Sidang Pengadilan Bagian Kedua : Memutus Sengketa
Mengenai     Wewenang Mengadili
Bab XVI Pemeriksaan di Sidang Pengadilan Bagian Ketiga : Acara Pemeriksaan Biasa
Bab XVI Pemeriksaan di Sidang Pengadilan Bagian Keempat : Pembuktian dan Putusan
Dalam Acara Pemeriksaan Biasa
Bab XVI Pemeriksaan di Sidang Pengadilan Bagian Kelima : Acara Pemeriksaan Biasa
Bab XVI Pemeriksaan di Sidang Pengadilan Bagian Keenam : Acara Pemeriksaan Cepat
Bab XVI Pemeriksaan di Sidang Pengadilan Bagian Ketujuh : Pelbagai Ketentuan
Bab XVII Upaya Hukum Bagian Kesatu : Pemeriksaan Tingkat Banding
Bab XVII Upaya Hukum Bagian Kedua : Pemeriksaan Untuk Kasasi
Bab XVIII Upaya Hukum Luar Biasa Bagian Kesatu : Pemeriksaan Tingkat Kasasi
Demi Kepentingan Hukum
Bab XVIII Upaya Hukum Luar Biasa Bagian Kedua : Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan
Yang Telah Memperoleh Kekuatan Hukum Yang Tetap
Bab XIX Pelaksanaan Putusan Pengadilan
Bab XX Pengawasan Dan Pengamatan Pelaksanaan Putusan Pengadilan
Bab XXI Ketentuan Peralihan
Bab XXII Ketentuan Penutup



BAB I


KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Yang dimaksud dalam undang-undang ini dengan:
 1.Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.
 2.Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan  bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan  tersangkanya.
 3.Penyidik pembantu adalah pejabat kepolisian negara Republik Indonesia yang karena diberi wewenang tertentu dapat melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam  undang-undang ini.
4. Penyelidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang  oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan.
 5.Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau  tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
  6.a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk  bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah  memperoleh kekuatan hukum tetap.
  b.Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk  melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
 7.Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.
 8.Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili.
 9.Mengadili adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
10.Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:
a.sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
b.sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas
permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
c.permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau
pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
11.Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dan segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
12. Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
13.Penasihat hukum adalah seorang yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh atau berdasarkan undang-undang untuk memberi bantuan hukum.
14.Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.
15.Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan.
16.Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.
17. Penggeledahan rumah adalah tindakan penyidik untuk memasuki rumah tempat tinggal dan tempat tertutup Iainnya untuk melakukan tindakan pemeriksaan dan atau penyitaan dan atau penangkapan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.
18.Penggeledahan badan adalah tindakan penyidik untuk mengadakan pemeriksaan badan dan atau pakaian tersangka untuk mencari benda yang diduga keras ada pada badannya atau dibawanya serta, untuk disita.
19.Tertangkap tangan adalah tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang  melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu.
20.Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
21.Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
22.Ganti kerugian adalah hak seorang untuk mendapat pemenuhan atas tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
23.Rehabilitasi adalah hak seorang untuk mendapat pemulihan hanya dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
24.Laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana.
25.Pengaduan adalah pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum seorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang merugikannya.
26.Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia Iihat sendiri dan ia alami sendiri.
27.Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, Ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dan pengetahuannya itu.
28.Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.
29. Keterangan anak adalah keterangan yang diberikan oleh seorang anak tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
30.Keluarga adalah mereka yang mempunyai hubungan darah sampai derajat tertentu atau hubungan perkawinan dengan mereka yang terlibat dalam suatu proses pidana  sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.
31.Satu hari adalah dua puluh empat jam dan satu bulan adalah waktu tiga puluh hari.
32.Terpidana adalah seorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.





BAB II
RUANG LINGKUP BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG


Pasal 2


Undang-undang ini berlaku untuk melaksanakan tatacara peradilan dalam lingkungan peradilan umum pada semua tingkat peradilan.



BAB III
DASAR PERADILAN

Pasal 3

Peradilan dilakukan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

BAB IV

PENYIDIK DAN PENUNTUT UMUM



Bagian Kesatu

Penyelidik dan Penyidik



Pasal 4

Penyelidik adalah setiap pejabat polisi negara Republik Indonesia.

Pasal 5

(1) Penyelidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4:
a. Karena kewajibannya mempunyai wewenang :
1. menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana;
2. mencari keterangan dan barang bukti;
3. menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri;
4. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
b. atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa:
1. penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan;
2. pemeriksaan dan penyitaan surat;
3. mengambil sidik jari dan memotret seorang;
4. membawa dan menghadapkan seorang pada penyidik.

(2) Penyelidik membuat dan menyampaikan laporan hasil pelaksanaan tindakan sebagaimana tersebut pada ayat (1) huruf a dan huruf b kepada penyidik.

Pasal 6

(1) Penyidik adalah:

a. pejabat polisi negara Republik Indonesia;
b. pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.

(2) Syarat kepangkatan pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) akan diatur Iebih lanjut dalam peraturan pemerintah.

Pasal 7



(1) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a karena kewajibannya

mempunyai wewenang :



a. menerima Iaporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana;

b. melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;

c. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;

d. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;

e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;

f. mengambil sidik jari dan memotret seorang;

g. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;

h. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan

perkara;

i. mengadakan penghentian penyidikan;

j. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.



(2) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b mempunyai wewenang

sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam



pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam

Pasal 6 ayat (1) huruf a.



(3) Dalam melakukan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), penyidik

wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku.



Pasal 8



(1) Penyidik membuat berita acara tentang pelaksanaan tindakan sebagaimana dimaksud

dalam PasaI 75 dengan tidak mengurangi ketentuan lain dalam undang-undang ini.



(2) Penyidik menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum.



(3) Penyerahan berkas perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan:



a. pada tahap pertama penyidik hanya menyerahkan berkas perkara;

b. dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik menyerahkan tanggung

jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum.



Pasal 9



Penyelidik dan penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a mempunyai

wewenang melakukan tugas masing-masing pada umumnya di seluruh wilayah Indonesia,

khususnya di daerah hukum masing-masing di mana ia diangkat sesuai dengan ketentuan

undang-undang.



BAB IV



PENYIDIK DAN PENUNTUT UMUM



Bagian Kedua

Penyidik Pembantu



Pasal 10



(1) Penyidik pembantu adalah pejabat kepolisian negara Republik Indonesia yang diangkat

oleh Kepala kepolisian negara Republik Indonesia berdasarkan syarat kepangkatan dalam ayat

(2) pasal ini.



(2) Syarat kepangkatan sebagaimana tersebut pada ayat (1) diatur dengan peraturan

pemerintah.



Pasal 11



Penyidik pembantu mempunyai wewenang seperti tersebut dalam Pasal 7 ayat (1), kecuali

mengenai penahanan yang wajib diberikan dengan pelimpahan wewenang dari penyidik.



Pasal 12



Penyidik pembantu membuat berita acara dan menyerahkan berkas perkara kepada penyidik,

kecuali perkara dengan acara pemeriksaan singkat yang dapat langsung diserahkan kepada

penuntut umum.



BAB IV



PENYIDIK DAN PENUNTUT UMUM



Bagian Ketiga

Penuntut Umum



Pasal 13



Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undangundang ini untuk melakukan

penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.



Pasal 14



Penuntut umum mempunyai wewenang:



a. menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik

pembantu;



b. mengadakan pra penuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan

memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan memberi petunjuk

dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik;



c. memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan

lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh

penyidik;



d. membuat surat dakwaan;



e. melimpahkan perkara ke pengadilan;



f. menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu

perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun

kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan;



g. melakukan penuntutan;



h. menutup perkara demi kepentingan hukum;



i. mengadakan tindakan lain dalam Iingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut

umum menurut ketentuan undang-undang ini;



j. melaksanakan penetapan hakim.



Pasal 15



Penuntut umum menuntut perkara tindak pidana yang terjadi dalam daerah hukumnya menurut

ketentuan undang-undang.



BAB V



PENANGKAPAN, PENAHANAN, PENGGELEDAHAN BADAN, PEMASUKKAN RUMAH,

PENYITAAN DAN PEMERIKSAAN SURAT



Bagian Kesatu

Penangkapan



Pasal 16



(1) Untuk kepentingan penyelidikan, penyelidik atas perintah penyidik berwenang melakukan

penangkapan.



(2) Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dan penyidik pembantu berwenang melakukan

penangkapan.



Pasal 17



Perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak

pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.



Pasal 18



(1) Pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas kepolisian negara Republik

Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat

perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan

penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia

diperiksa.



(2) Dalam hal tertangkap tangan penangkapan dulakukan tanpa surat perintah, dengan

ketentuan bahwa penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang

ada kepada penyidik atau penyidik peinbantu yang terdekat.



(3) Tembusan surat perintah penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus

diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan.



Pasal 19



(1) Penangkapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, dapat dilakukan untuk paling lama

satu hari.



(2) Terhadap tersangka pelaku pelanggaran tidak diadakan penangkapan kecuali dalam hal ia

telah dipanggil secara sah dua kali berturut-turut tidak memenuhi panggilan itu tanpa alasan

yang sah.



BAB V



PENAHANAN, PENGGELEDAHAN BADAN, PEMASUKAN RUMAH, PENYITAAN DAN

PEMERIKSAAN SURAT



Bagian Kedua

Penahanan



Pasal 20



(1) Untuk kepentingan penyidikan, penyidik atau penyidik pembantu atas perintah penyidik

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 berwenang melakukan penahanan.



(2) Untuk kepentingan penuntutan, penuntut umum berwenang melakukan penahanan atau

penahanan lanjutan.



(3) Untuk kepentingan pemeriksaan hakim di sidang pengadilan dengan penetapannya

berwenang melakukan penahanan.



Pasal 21



(1) Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau

terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam

hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan

melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana.



(2) Penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum terhadap

tersangka atau terdakwa dengan memberikan surat perintah penahanan atau penetapan hakim

yang mencantumkan identitas tersangka atau terdakwa dan menyebutkan alasan penahanan

serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan atau didakwakan serta tempat ia

ditahan.



(3) Tembusan surat perintah penahanan atau penahanan lanjutan atau penetapan hakim

sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus diberikan kepada keluarganya.



(4)Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang

melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pembenian bantuan dalam tindak

pidana tersebut dalam hal:



a.tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih;



b.tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (3), Pasal 296, Pasal

335 ayat (1), Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379 a,

Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480 dan Pasal 506 Kitab Undang-

undang Hukum Pidana, Pasal 25 dan Pasal 26 Rechtenordonnantie (pelanggaran

terhadap ordonansi Bea dan Cukai, terakhir diubah dengan Staatsblad Tahun 1931

Nomor 471), Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4 Undang-undang Tindak Pidana Imigrasi

(Undang-undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955, Lembaran Negara Tahun 1955 Nomor 8),

Pasal 36 ayat (7), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47, dan Pasal 48 Undangundang

Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 37,

Tambähan Lembaran Negara Nomor 3086).



Pasal 22



(1) Jenis penahanan dapat berupa:



a.penahanan rumah tahanan negara;



b.penahanan rumah;



c.penahanan kota.



(2) Penahanan rumah dilaksanakan di rumah tempat tinggal atau rumah kediaman tersangka

atau terdakwa dengan mengadakan pengawasan terhadapnya untuk menghindarkan segala

sesuatu yang dapat menimbulkan kesulitan dalam penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan di

sidang pengadilan.



(3) Penahanan kota dilaksanakan di kota tempat tinggal atau tempat kediamati tersangka atau

terdakwa, dengan kewajiban bagi tersangka atau terdakwa melapor din pada waktu yang

ditentukan.



(4) Masa penangkapan dan atau penahanan dikurangkan seluruhnya dan pidana yang

dijatuhkan.



(5) Untuk penahanan kota pengurangan tersebut seperlima darijumlah lamanya waktu

penahanan sedangkan untuk penahanan rumah sepertiga dari jumlah Iamanya waktu

penahanan.



Pasal 23



(1) Penyidik atau penuntut umum atau hakim berwenang untuk mengalihkan jenis penahanan

yang satu kepada jenis penahanan yang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22.



(2) Pengalihan jenis penahanan dinyatakan secara tersendiri dengan surat perintah dari

penyidik atau penuntut umum atau penetapan hakim yang tembusannya diberikan kepada

tersangka atau terdakwa serta keluarganya dan kepada instansi yang benkepentingan.



Pasal 24



(1) Perintah penahanan yang diberikan oleh penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20,

hanya berlaku paling lama dua puluh hari.



(2) Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperIukan guna kepentingan

pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh penuntut umum yang berwenang

untuk paling lama empat puluh hari.



(3) Ketentuan sebagamana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup kemungkinan

dikeluarkannya tersangka dan tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, jika

kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi.



(4) Setelah waktu enam puluh hari tersebut, penyidik harus sudah mengeluarkan tersangka

dan tahanan demi hukum.



Pasal 25



(1) Penintah penahanan yang dibenikan oleh penuntut umum sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 20, hanya berlaku paling lama dua pulub hari.



(2) Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperlukan guna kepentingan

pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan negeri yang

berwenang untuk paling lama tiga puluh hari.



(3) Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup kemungkinan

dikeluarkannya tersangka dan tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, jika

kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi.



(4) Setelah waktu lima puluh hari tersebut, penuntut umum harus sudah mengeluarkan

tersangka dari tahanan demi hukum.



Pasal 26



(1) Hakim pengadilan negeri yang mengadili perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84,

guna kepentingan pemeriksaan berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan untuk

paling lama tiga puluh hari.



(2) Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperlukan guna kepentingan

pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan negeri yang

bersangkutan untuk paling lama enam puluh hari.



(3) Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup kemungkinan

dikeluarkannya terdakwa dari tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, jika

kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi.



(4) Setelah waktu sembilan puluh hari walaupun perkara tersebut belum diputus, terdakwa

harus sudah dikeluarkan dan tahanan demi hukum.



Pasal 27



(1) Hakim pengadilan tinggi yang mengadii perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87,

guna kepentingan pemeriksaan banding berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan

untuk paling lama tiga puluh hari.



(2) Jangka waktu sebagaimatia tersebut pada ayat (1) apabila diperlukan guna kepentingan

pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh ketua peiigadilan tinggi yang

bersangkutan untuk paling lama enam puluh hari.



(3) Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup kemungkinan

dikeluarkannya terdakwa dan tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut jika

kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi.



(4) Setelah waktu sembilan puluh hari walaupun perkara tersebut belum diputus, terdakwa

harus sudah dikeluarkan dan tahanan demi hukum.



Pasal 28



(1) Hakim Mahkamah Agung yang mengadili perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88,

guna kepentingan pemeriksaan kasasi berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan

untuk paling lama lima puluh hari.



(2) Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperlukan guna kepentingan

pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh Ketua Mahkamah Agung untuk

paling lama enam puluh hari.



(3) Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup kemungkinan

dikeluarkannya terdakwa dari tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, jika

kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi.



(4) Setelah waktu seratus sepuluh hari walaupun perkara tersebut belum diputus, terdakwa

harus sudah dikeluarkan dan tahanan demi hukum.



Pasal 29



(1) Dikecualikan dan jangka waktu penahanan sebagahnana tersebut pada Pasal 24, Pasal 25,

Pasal 26, Pasal 27 dan Pasal 28, guna kepentingan pemeriksaan, penahanan terhadap

tersangka atau terdakwa dapat diperpanjang berdasar alasan yang patut dan tidak dapat

dihindarkan karena:



a. tersangka atau terdakwa menderita gangguan fisik atau mental yang berat, yang

dibuktikan dengan surat keterangan dokter, atau



b. perkara yang sedang diperiksa diancam dengan pidana penjara sembilan tahun atau

lebih.



(2) Perpanjangan tersebut pada ayat (1) diberikan untuk paling lama tiga puluh hari dan dalam

hal penahanan tersebut masih diperlukan, dapat diperpanjang lagi untuk paling lama tiga puluh

hari.



(3) Perpanjangan penahanan tersebut átas dasar permintaan dan Iaporan pemeriksaan dalam

tingkat:



a. penyidikan dan penuntutan diberikan oleh ketua pengadilan negeri;



b. pemeriksaan di pengadilan negeri diberikan oIeh ketua pengadilan tinggi;



c. pemeriksaan banding diberikan oleh Mahkamah Agung;



d. pemeriksaan kasasi diberikan oleh Ketua Mahkamah Agung.



(4)Penggunaan kewenangan perpanjangan penahanan oleh pejabat tersebut pada ayat (3)

dilakukan secara bertahap dan dengan penuh tauggung jawab.



(5)Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (2) tidak menutup kemungkinan dikeluarkannya

tersangka atau terdakwa dari tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, jika

kepentingan pemeriksaan sudah dipenuhi.



(6)Setelah waktu enam puluh hari, walaupun perkara tersebut belum selesai diperiksa atau

belum diputus, tersangka atau terdakwa harus sudah dikeluarkan dari tahanan demi hukum.



(7)Terhadap perpanjangan penahanan tersebut pada ayat (2) tersangka atau terdakwa dapat

mengajukan keberatan dalam tingkat:



a.penyidikan dan penuntutan kepada ketua pengadilan tinggi;



b.pemeriksaan pengadilan negeri dan pemeriksaan banding kepada Ketua Mahkamah

Agung.



Pasal 30



Apabila tenggang waktu penahanan sebagaimana tersebut pada Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26,

Pasal 27 dan Pasal 28 atau perpanjangan penahanan sebagaimana tersebut pada Pasal 29

ternyata tidak sah, tersangka atau terdakwa berhak minta ganti kerugian sesuai dengan

ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 95 dan Pasal 96.



Pasal 31



(1) Atas permintaan tersangka atau terdakwa, penyidik atau penuntut umum atau hakim,

sesuai dengan kewenangan masing-masing, dapat mengadakan penangguhan penahanan

dengan atau tanpa jaminan uang atau jaminan orang, berdasarkan syarat yang ditentukan.



(2) Karena jabatannya penyidik atau penuntut umum atau hakim sewaktu-waktu dapat

mencabut penangguhan penahanan dalam hal tersangka atau terdakwa melanggar syarat

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).



BAB V



PENANGKAPAN, PENAHANAN, PENGGELEDAHAN BADAN, PEMASUKKAN RUMAH,

PENYITAAN DAN PEMERIKSAAN SURAT



Bagian Ketiga



Penggeledahan



Pasal 32



Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dapat melakukan penggeledahan rumah atau

penggeledahan pakaian atau penggeledahan badan menurut tata cara yang ditentukan dalam

undang-undang ini.



Pasal 33



(1) Dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat penyidik dalam melakukan penyidikan

dapat mengadakan penggeledahan rumah yang diperlukan.



(2) Dalam hal yang diperlukan atas perintah tertulis dari penyidik, petugas kepolisian negara

Republik Indonesia dapat memasuki rumah.



(3) Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh dua orang saksi dalam hal tersangka

atau penghuni menyetujuinya.



(4) Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh kepala desa atau ketua lingkungan

dengan dua orang saksi, dalam hal tersangka atau penghuni menolak atau tidak hadir.



(5) Dalam waktu dua hari setelah memasuki dan atau menggeledah rumah, harus dibuat suatu

berita acara dati turunannya disampaikan kepada pemilik atau penghuni rumah yang

bersangkutan.



Pasal 34



(1) Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera

bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, dengan tidak

mengurangi ketentuan Pasal 33 ayat (5) penyidik dapat melakukan penggeledahan:



a. pada halaman rumah tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada dari yang ada

di atasnya;



b. pada setiap tempat lain tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada;



c. di tempat tindak pidana dilakukan atau terdapat bekasnya; di tempat penginapan dan

tempat umum lainnya



(2) Dalam hal penyidik melakukan penggeledahan seperti dimaksud dalam ayat (1) penyidik

tidak diperkenankan memeriksa atau menyita surat, buku dan tulisan lain yang tidak

merupakan benda yang berhubungan dengan tindak pidana yang bersangkutan, kecuali benda

yang berhubungan dengan tindik pidana yang bersangkutan atau yang diduga telab

dipergunakan untuk melakukan tindak pidana tersebut dan untuk itu wajib segera melaporkan

kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh persetujuannya.



Pasal 35



Kecuali dalam hal tertangkap tangan, penyidik tidak diperkenankan memasuki:


16
a.ruang di mana sedang berlangsung sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan

Perwakilan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;



b.tempat di mana sedang berlangsung ibadah dan atau upacara keagamaan;



c.ruang di mana sedang berlangsung sidang pengadilan.



Pasal 36



Dalam hal penyidik harus melakukan penggeledahan rumah di luar daerah hukumnya, dengan

tidak mengurangi ketentuan tersebut dalam Pasal 33, maka penggeledahan tersebut harus

diketahui oleh ketua pengadilan negeri dan didampingi oleh penyidik dari daerah hukum di

mana penggeledahan itu dilakukan.



Pasal 37



(1)Pada waktu menangkap tersangka, penyelidik hanya berwenang menggeledah pakaian

termasuk benda yang dibawanya serta, apabila terdapat dugaan keras dengan alasan yang

cukup bahwa pada tersangka tersebut terdapat benda yang dapat disita.



(2)Pada waktu menangkap tersangka atau dalam hal tersangka sebagaimana dimaksud dalam

ayat (1) dibawa kepada penyidik, penyidik berwenang menggeledah pakaian dan atau

menggeledah badan tersangka.



BAB V



PENANGKAPAN, PENAHANAN, PENGGELEDAHAN BADAN, PEMASUKKAN RUMAH,

PENYITAAN DAN PEMERIKSAAN SURAT



Bagian Keempat

Penyitaan



Pasal 38



(1) Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin ketua pengadilan negeri

setempat.



(2) Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera

bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, tanpa mengurangi

ketentuan ayat (1) penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas benda bergerak dan untuk

itu wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh

persetujuannya.



Pasal 39



(1)Yang dapat dikenakan penyitaan adalah:


17
a.benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga

diperoleh dan tindak pidana atau sebagai hasil dan tindak pidana;



b.benda yang telah dipergunakan secara Iangsung untuk melakukan tindak pidana atau

untuk mempersiapkannya;



c.benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana;



d.benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;



e.benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang

dilakukan.



(2) Benda yang berada dalam sitaan karena perkara perdata atau karena pailit dapat juga

disita untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan mengadili perkara pidana, sepanjang

memenuhi ketentuan ayat (1).



Pasal 4O



Dalam hal tertangkap tangan penyidik dapat menyita benda dan alat yang ternyata atau yang

patut diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana atau benda lain yang dapat

dipakai sebagai barang bukti.



Pasal 41



Dalam hal tertangkap tangan penyidik berwenang menyita paket atau surat atau benda yang

pengangkutavnya atau pengirimannya dilakukan oleh kantor pos dan telekomunikasi, jawatan

atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan, sepanjang paket, surat atau benda tersebut

diperuntukkan bagi tersangka atau yang berasal danpadanya dan untuk itu kepada tersangka

dan atau kepada pejabat kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi

atau pengangkutan yang bersaugkutan, harus diberikan surat tanda penenimaan.



Pasal 42



(1) Penyidik berwenang memerintahkan kepada orang yang menguasai benda yang dapat

disita, menyerahkan benda tersebut kepadanya untuk kepentingan pemeriksaan dan kepada

yang menyerahkan benda itu harus diberikan surat tanda penerimaan.



(2) Surat atau tulisan lain hanya dapat diperintahkan untuk diserahkan kepada penyidik jika

surat atau tulisan itu berasal dan tersangka atau terdakwa atau ditujukan kepadanya atau

kepunyaannya atau diperuntukkan baginya atau jikalau benda tersebut merupakah alat untuk

melakukan tindak pidana.



Pasal 43



Penyitaan surat atau tulisan lain dan mereka yang berkewajiban menurut undang-undang

untuk merahasiakannya, sepanjang tidak rnenyangkut rahasia negara, hanya dapat dilakukan

atas persetujuan mereka atau atas izin khusus ketua pengadilan negeni setempat kecuali

undang-undang menentukan lain.


18
Pasal 44



(1) Benda sitaan disimpan dalam rumah penyimpanan benda sitaan negara.



(2) Penyimpanan benda sitaan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan tanggung jawab

atasnya ada pada pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan dalam proses

peradilan dan benda tersebut dilarang untuk dipergunakan oleh siapapun juga.



Pasal 45



(1) Dalam hal benda sitaan terdiri atas benda yang dapat lekas rusak atau yang

membahayakan, sehingga tidak mungkin untuk disimpan sampai putusan pengadilan terhadap

perkara yang bersangkutan memperoleh kekuatan hukum tetap atau jika biaya penyimpanan

benda tersebut akan menjadi terlalu tinggi, sejauh mungkin dengan persetujuan tersangka atau

kuasanya dapat diambil tindakan sebagai berikut:



a.apabila perkara masih ada ditangan penyidik atau penuntut umum, benda tersebut

dapat dijual lelang atau dapat diamankan oleh penyidik atau penuntut umum, dengan

disaksikan oleh tersangka atau kuasanya;



b.apabila perkara sudah ada ditangan pengadilan, maka benda tersebut dapat

diamankan atau dijual yang oleh penuntut umum atas izin hakim yang menyidangkan

perkaranya dan disaksikan oleh terdakwa atau kuasanya.



(2) Hasil pelelangan benda yang bersangkutan yang berupa uang dipakai sebagai barang bukti.



(3) Guna kepentingan pembuktian sedapat mungkin disisihkan sebagian kecil dan benda

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).



(4) Benda sitaan yang bersifat terlarang atau dilarang untuk diedarkan, tidak termasuk

ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dirampas untuk dipergunakan bagi

kepentingan negara atau untuk dimusnahkan.



Pasal 46



(1) Benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka dan

siapa benda itu disita, atau kepada orang atau kepada mereka yang paling berhak apabila:



a.kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan lagi;



b.perkara tersebut tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti atau ternyata tidak

merupakan tindak pidana;



c.perkara tersebut dikesampingkan untuk kepentingan umum atau perkara tersebut

ditutup demi hukum, kecuali apabila benda itu diperoleh dan suatu tindak pidana atau

yang dipergunakan untuk melakukan suatu tindak pidana.



(2) Apabila perkara sudah diputus, maka benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan

kepada orang atau kepada mereka yang disebut dalam putusan tersebut kecuali jika menurut

putusan hakim benda itu dirampas untuk negara, untuk dimusnahkan atau untuk dirusakkan


19
sampai tidak dapat dipergunakan lagi atau jika benda tersebut masih diperlukan sebagal

barang bukti dalam perkara lain.



BAB V



PENANGKAPAN, PENAHANAN, PENGGELEDAHAN BADAN, PEMASUKKAN RUMAH,

PENYITAAN DAN PEMERIKSAAN SURAT



Bagian Kelima

Pemeriksaan Surat



Pasal 47



(1) Penyidik berhak membuka, memeriksa dan menyita surat lain yang dikirim melalui kantor

pos dan teIekomunikasi, jawatan atau pcrusahaan komunikasi atau pengangkutan jika benda

tersebut dicurigai dengan alasan yang kuat mempunyai hubungan dengan perkara pidana

yang sedang diperiksa, dengan izin khusus yang diberikan untuk itu dari ketua pengadilan

negeri.



(2) Untuk kepentingan tersebut. penyidik dapat meminta kepada kepala kantor pos dan

telekomunikasi, kepala jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan lain untuk

menyerahkan kepadanya surat yang dimaksud dan untuk itu harus diberikan surat tanda

penerimaan.



(3) Hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) pasal ini, dapat dilakukan pada

semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan menurut ketentuan yang diatur dalam ayat

tersebut.



Pasal 48



(1) Apabila sesudah dibuka dan diperiksa, ternyata bahwa surat itu ada hubungannya dengan

perkara yang sedang diperiksa, surat tersebut dilampirkan pada berkas perkara.



(2) Apabila sesudab diperiksa ternyata surat itu tidak ada hubungannya dengan perkara

tersebut, surat itu ditutup rapi dan segera diserahkan kembali kepada kantor pos dan

telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan lain setelah dibubuhi

cap yang berbunyi "telah dibuka oleh penyidik" dengan dibubuhi tanggal, tanda tangan beserta

identitas penyidik.



(3) Penyidik dan para pejabat pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib

merahasiakan dengan sungguh-sungguh atas kekuatan sumpah jabatan isi surat yang

dikembalikan itu.



Pasal 49



(1) Penyidik membuat berita acara tentang tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48

dan Pasal 75.


20
(2) Turunan berita acara tersebut oleh penyidik dikirimkan kepada kepala kaiitor pos dan

telekomunikasi, kepala jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan yang

bersangkutan.



BAB VI



TERSANGKA DAN TERDAKWA



Pasal 50



(1) Tersangka berhak segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya dapat

diajukan kepada penuntut umum.



(2) Tersangka berhak perkaranya segera dimajukan ke pengadilan oleh penuntut umum.



(3) Terdakwa berhak segera diadili oleh pengadilan.



Pasal 51



Untuk rnempersiapkan pembelaan:



a. tersangka berhak untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya

tentang apa yang disangkakan kepadanya pada waktu pemeriksaan dimulai,



b. terdakwa berhak untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya

tentang apa yang didakwakan kepadanya



Pasal 52



Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan, tersangka atau terdakwa berhak

memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim.



Pasal 53



(1) Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan, tersangka atau terdakwa

berhak untuk setiap waktu mendapat bantuan juru bahasa sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 177.



(2) Dalam hal tersangka atau terdakwa bisu dan atau tuli diberlakukan ketentuan sebagainiana

dimaksud dalam Pasal 178.



Pasal 54



Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari

seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan,

menurut tatacara yang ditentukan dalam undang-undang ini.


21
Pasal 55



Untuk mendapatkan penasihat hukum tersebut dalam Pasal 54, tersangka atau terdakwa

berhak memiih sendiri penasihat hukumnya.



Pasal 56



(1) Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang

diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi

mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak

mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat

pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka.



(2) Setiap penasihat hukum yang ditunjuk untuk bertindak sebagaimana dimaksud dalam ayat

(1), memberikan bantuannya dengan cuma-cuma.



Pasal 57



(1) Tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan berhak menghubungi penasihat

hukumnya sesuai dengan ketentuan undang-undang ini.



(2) Tersangka atau terdakwa yang berkebangsaan asing yang dikenakan penahanan berhak

menghubungi dan berbicara dengan perwakilan negaranya dalam menghadapi proses

perkaranya.



Pasal 58



Tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan berhak meng hubungi dan menerima

kunjungan dokter pribadinya untuk kepentingan kesehatan baik yang ada hubungannya

dengan proses perkara maupun tidak.



Pasal 59



Tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan berhak diberitahukan tentang

penahanan atas dirinya oleh pejabat yang berwenang pada semua tingkat pemeriksaan dalam

proses peradilan, kepada keluarganya atau orang lain yang serumah dengan tersangka atau

terdakwa ataupun orang lain yang bantuannya dibutuhkan oleh tersangka atau terdakwa untuk

mendapatkan bantuan hukum atau jaminan bagi penangguhannya.



Pasal 60



Tersangka atau terdakwá berhak menghubungi dan menerima kunjungan dari pihak yang

mempunyai hubungán kekeluargaan atau lainnya dengan tersangka atau terdakwa guna

mendapatkan jaminan bagi penangguhan penahanan ataupun untuk usaha mendapatkan

bantuan hukum.



Pasal 61



Tersangka atau terdakwa berhak secara Iangsung atau dengan perantaraan penasihat

hukumnya menghubungi dan menerima kunjungan sanak keluarganya dalam hal yang tidak


22
ada hubungannya dengan perkara tersangka atau terdakwa untuk kepentingan pekerjaan atau

untuk kepentingan kekeluargaan.



Pasal 62



(1) Tersangka atau terdakwa berhak mengirim surat kepada penasihat hukumnya, dan

menerima surat dari penasihat hukumnya dan sanak keluarga setiap kali yang diperlukan

olehnya, untuk keperluan itu bagi tersangka atau terdakwa disediakan alat tulis menulis.



(2) Surat menyurat antara tersangka atau terdakwa dengan penasihat hukumnya atau sanak

keluarganya tidak diperiksa oleh penyidik, penuntut umum, hakim atau pejabat rumah tahanan

negara kecuali jika terdapat cukup alasan untuk diduga bahwa surat menyurat itu

disalahgunakan.



(3) Dalam hal surat untuk tersangka atau terdakwa ditilik atau diperiksa oleh penyidik, penuntut

umum, hakim atau pejabat rumah tahanan negara, hal itu diberitahukan kepada tersangka atau

terdakwa dan surat tersebut dikirim kembali kepada pengirimnya setelah dibubuhi cap yang

berbunyi "telah ditilik".



Pasal 63



Tersangka atau terdakwa berhak menghubungi dan menerima kunjungan dari rohaniwan.



Pasal 64



Terdakwa berhak untuk diadili di sidang pengadilan yang terbuka untuk umum.



Pasal 65



Tersangka atau terdakwa berhak untuk mengusahakan diri mengajukan saksi dan atau

seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan

bagi dirinya.



Pasal 66



Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian.



Pasal 67



Terdakwa atau penuntut umum berhak untuk minta banding terhadap putusan pengadilan

tingkat pertama kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang

menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan pengadilan dalam acara

cepat.



Pasal 68



Tersangka atau terdakwa berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi sebagaimana diatur

dalam Pasal 95.


23
BAB VII



BANTUAN HUKUM



Pasal 69



Penasihat hukum berhak menghubungi tersangka sejak saat ditangkap atau ditahan pada

semua tingkat pemeriksaan menurut tatacara yang ditentukan dalam undang-undang ini.



Pasal 70



(1) Penasihat hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 berhak menghubungi dan

berbicara dengan tersangka pada setiap tingkat pemeriksaan dan setiap waktu untuk

kepentingan pembelaan perkaranya.



(2) Jika terdapat bukti bahwa penasihat hukum tersebut menyalahgunakan haknya dalam

pembicaraan dengan tersangka maka sesuai dengan tingkat pemeriksaan, penyidik, penuntut

umum atau petugas lembaga pemasyarakatan memberi peringatan kepada penasihat hukum.



(3) Apabila peringatan tersebut tidak diindahkan, maka hubungan tersebut diawasi oleh pejabat

yang tersebut pada ayat (2).



(4) Apabila setelah diawasi, haknya masih disalahgunakan, maka hubungan tersebut

disaksikan oleh pejabat tersebut pada ayat (2) dan apabila setelah itu tetap dilanggar maka

hubungan selanjutnya dilarang.



Pasal 71



(1) Penasihat hukum, sesuai dengan tingkat pemeriksaan, dalam berhubungan dengan

tersangka diawasi oleh penyidik, penuntut umum atau petugas lembaga pemasyarakatan

tanpa mendengar isi pembicaraan.



(2) Dalam hal kejahatan terhadap keamanan negara, pejabat tersebut pada ayat (1) dapat

mendengar isi pembicaraan.



Pasal 72



Atas permintaan tersangka atau penasihat hukumnya pejabat yang bersangkutan memberikan

turunan berita acara pemeriksaan untuk kepentingan pernbelaannya.



Pasal 73



Penasihat hukum berhak mengirim dan menerima surat dan tersangka setiap kali dikehendaki

olehnya.



Pasal 74


24
Pengurangan kebebasan hubungan antara penasihat hukum dan tersangka sebagaimana

tersebut pada Pasal 70 ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan Pasal 71 dilarang, setelah perkara

dilimpahkan oleh penuntut umum kepada pengadilan negeri untuk disidangkan, yang

tembusan suratnya disampaikan kepada tersangka atau penasihat hukumnya serta pihak lain

dalam proses.



BAB VIII



BERITA ACARA



Pasal 75



(1) Berita acara dibuat untuk setiap tindakan tentang:



a.pemeriksaan tersangka;



b.penangkapan;



c.penahanan;



d.penggeledahan;



e.pemasukan rumah;



f.penyitaan benda;



g.pemeriksaan surat;



h.pemeriksaan saksi;



l.pemeriksaan di tempat kejadian;



j.pelaksanaan penetapan dan putusan pengadilan;



k.pelaksanaan tindakan lain sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini.



(2) Berita acara dibuat oleh pejabat yang bersangkutan dalam melakukan tindakan tersebut

pada ayat (1) dan dibuat atas kekuatan sumpah jabatan.



(3) Berita acara tersebut selain ditandatangani oleh pejabat tersebut pada ayat (2)

ditandatangani pula oleh semua pihak yang terlibat dalath tindakan tersebut pada ayat (1).



BAB IX



SUMPAH ATAU JANJI


25
Pasal 76



(1) Dalam hal yang berdasarkan ketentuan dalam undang-undang ini diharuskan adanya

pengambilan sumpah atau janji, maka untuk keperluan tersebut dipakai peraturan perundang-

undangan tentang sumpah atau janji yang berlaku, baik mengenai isinya maupun mengenai

tatacaranya.



(2) Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dipenuhi, maka sumpah

atau janji tersebut batal menurut hukum.



BAB X



WEWENANG PENGADILAN UNTUK MENGADILI



Bagian Kesatu

Praperadilan



Pasal 77



Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang

diatur dalam undang-undang ini tentang:



a.sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau

penghentian penuntutan;



b.ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan

pada tingkat penyidikan atau penuntutan.



Pasal 78



(1) Yang melaksanakan wewenang pengadilan negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77

adalah praperadilan.



(2) Praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh ketua pengadilan negeri dan

dibantu oleh seorang panitera.



Pasal 79



Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan

diajukan oleh tersangka, keluarga atau kuasanya kepada ketua pengadilan negeri dengan

menyebutkan alasannya.



Pasal 80



Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan

dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan

kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya.


26
Pasal 81



Permintaan ganti kerugian dan atau rehabiitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau

penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan diajukan oleh

tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan

menyebut alasannya.



Pasal 82



(1) Acara pemeriksaan praperadilan untuk hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal

80 dan Pasal 81 ditentukan sebagai berikut:



a. dalam waktu tiga hari setelah diterimanya permintaan, hakim yang ditunjuk

menetapkan hari sidang;



b. dalam memeriksa dan memutus tentang sah atau tidaknyapenangkapan atau

penahanan, sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan; permintaan

ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan,

akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan dan ada benda yang disita

yang tidak termasuk alat pembuktian, hakim mendengar keterangan baik dan tersangka

atau pemohon maupun dan pejabat yang berwenang;



c. perneriksaan tersebut dilakukan cara cepat dan selambat-lambatnya tujuh hari hakim

harus sudah menjatuhkan putusannya;



d. dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri sedangkan

pemeriksaan mengenai permintaan kepada praperadilan belum selesai, maka

permintaan tersebut gugur;



e. putusan praperadilan pada tingkat penyidikan tidak menutup kemungkinan untuk

mengadakan pemeriksaan praperadilan lagi pada tingkat pemeriksaan oleh penuntut

umum, jika untuk itu diajukan permintaan baru.



(2) Putusan hakim dalam acara pemeriksaan praperadilan mengenai hal sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80 dan Pasal 81, harus memuat dengan jelas dasar dan

alasannya.



(3) Isi putusan selain memuat ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) juga memuat

hal sebagai berikut



a. dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penangkapan atau penahanan tidak

sah; maka penyidik atau jaksa penuntut umum pada tingkat pemeriksaan masing-

masing harus segera membebaskan tersangka;



b. dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penghentian penyidikan atau

penuntutan tidak sah, penyidikan atau penuntutan terhadap tersangka wajib dilanjutkan;



c. dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penangkapan atau penahanan tidak

sah, maka dalam putusan dicantumkan jumlah besarnya ganti kerugian dan rehabilitasi

yang diberikan, sedangkan dalam hal suatu penghentian penyidikan atau penuntutan


27
adalah sah dan tersangkanya tidak ditahan, maka dalam putusan dicantumkan

rehabilitasinya;



d. dalam hal putusan menetapkan bahwa benda yang disita ada yang tidak termasuk

alat pembuktian, maka dalam putusan dicantumkan bahwa benda tersebut harus

segera dikembalikan kepada tersangka atau dan siapa benda itu disita.



(4) Ganti kerugian dapat diminta, yang meliputi hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77

dan Pasal 95.



Pasal 83



(1)Terhadap putusan praperadilan dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal

80, dan Pasal 81 tidal dapat dimintakan banding.



(2)Dikecualikan dan ketentuan ayat (1) adalah putusan praperadilan yang menetapkan tidak

sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan yang untuk itu dapat dimintakan putusan

akhir ke pengadilan tinggi dalam daerah hukum yang bersangkutan.



BAB X



WEWENANG PENGADILAN UNTUK MENGADILI



Bagian Kedua



BAB X



WEWENANG PENGADILAN UNTUK MENGADILI



Bagian Ketiga

Pengadilan Tinggi



Pasal 87



Pengadilan tinggi berwenang mengadili perkara yang diputus oleh pengadilan negeri dalam

daerah hukumnya yang dimintakan banding.



BAB X



WEWENANG PENGADILAN UNTUK MENGADILI


28
Bagian Keempat

Mahkamah Agung



Pasal 88



Mahkamah Agung berwenang mengadili semua perkara pidana yang dimintakan kasasi.



BAB XI



KONEKSITAS



Pasal 89



(1) Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk Iingkungan

peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam

Iingkungan peradilan umum kecuali jika menurut keputusan Menteri Pertahanan dan

Keamanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh

pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.



(2) Penyidikan perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan oleh suatu

tim tetap yang terdiri dari penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan polisi militer

Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan oditur militer atau oditur militer tinggi sesuai

dengan wewenang mereka masing-masing menurut hukum yang berlaku untuk penyidikan

perkara pidana.



(3) Tim sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dibentuk dengan surat keputusan bersama

Menteri Pertahanan dan Keamanan dan Menteri Kehakiman.



Pasal 90



(1) Untuk menetapkan apakah pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau pengadilan

dalam Iingkungan peradilan umum yang akan mengadili perkara pidana sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 89 ayat (1), diadakan penelitian bersama oleh jaksa atau jaksa tinggi

dan oditur militer atau oditur militer tinggi atas dasar hasil penyidikan tim tersebut pada Pasal

89 ayat (2).



(2) Pendapat dan penelitian bersama tersebut dituangkan dalam. berita acara yang

ditandatangani oleh para pihak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).



(3) Jika dalam penelitian bersama itu terdapat persesuaian pendapat tentang pengadilan yang

berwenang mengadili perkara tersebut, maka hal itu dilaporkan oleh jaksa atau jaksa tinggi

kepada Jaksa Agung dan oleh oditur militer atau oditur militer tinggi kepada Oditur Jenideral

Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.



Pasal 91



(1) Jika menurut pendapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (3) titik berat kerugian

yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut terletak pada kepentingan umum dan karenanya


29
perkara pidana itu harus diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, maka

perwira penyerah perkara segera membuat surat keputusan penyerahan perkara yang

diserahkan melalui oditur militer atau oditur militer tinggi kepada penuntut umum, untuk

dijadikan dasar mengajukan perkara tersebut kepada pengadilan negeri yang berwenang.



(2) Apabila menurut pendapat itu titik berat kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana

tersebut terletak pada kepentingan militer sehingga perkara pidana itu harus diadili oleh

pengadilan dalam lingkungan peradilan militer, maka pendapat sebagaimaña dimaksud dalam

Pasal 90 ayat (3) dijadikan dasar bagi Oditur Jenderal Angkatan Bersenjata Republik Indonesia

untuk mengusulkan kepada Menteri Pertahan dan Keamanan, agar dengan persetujuan

Menteri Kehakiman dikeluarkan keputusan Menteri Pertahanan dan Keamanan yang

menetapkan, bahwa perkara pidana tersebut diadili oleh pengadilan dalam lingkungan

peradilan militer.



(3) Surat keputusan tersebut pada ayat (2) dijadikan dasar bagi perwira penyerah perkara dan

jaksa atau jaksa tinggi untuk menyerahkan perkara tersebut kepada mahkamah militer atau

mahkamah militer tinggi.



Pasal 92



(1) Apabila perkara diajukan kepada pengadilan negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal

91 ayat (1), maka berita acara pemeriksaan yang dibuat oleh tim sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 89 ayat (2) dibubuhi catatan oleh penuntut umum yang mengajukan perkara,

bahwa berita acara tersebut telah diambil alih olehnya.



(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku juga bagi oditur militer atau oditur

militer tinggi apabila perkara tersebut akan diajukan kepada pengadilan dalam Iingkungan

peradilan militer.



Pasal 93



(1) Apabila dalam penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (1) terdapat

perbedaan pendapat antara penuntut umum dan oditur militer atau oditur militer tinggi, mereka

masing-masing melaporkan tentang perbedaan pendapat itu secara tertulis, dengan disertai

berkas perkara yang bersangkutan melalui jaksa tinggi, kepada Jaksa Agung dan kepada

Oditur Jenderal Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.



(2) Jaksa Agung dan Oditur Jenderal Angkatan Bersenjata Republik Indonesia bermusyawarah

untuk mengambil keputusan guna mengakhiri perbedaan pendapat sebagaimana dimaksud

dalam ayat (1).



(3) Dalam hal terjadi perbedaan pendapat antara Jaksa Agung dan Oditur Jenderal Angkatan

Bersenjata Republik Indonesia, pendapat Jaksa Agung yang menentukan.



Pasal 94



(1) Dalam hal perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (1) diadili oleh

pengadilan dalam lingkungan peradilan umum atau lingkungan peradilan militer, yang

mengadili perkara tersebut adalah majelis hakim yang terdiri dari sekurang-kurangnya tiga

orang hakim.


30
(2) Dalam hal pengadilan dalam lingkungan peradilan umum yang mengadili perkara pidana

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (1), majelis hakim terdiri dari hakim ketua dari

lingkungan peradilan umum dan hakim anggota masing-masing ditetapkan dari peradilan

umum dan peradilan militer secara berimbang.



(3) Dalam hal pengadilan dalam lingkungan peradilan militer yang mengadili perkara pidana

tersebut pada Pasal 89 ayat (1), majelis hakim terdiri dari hakim ketua dari Iingkungan

peradilan militer dan hakim anggota secara berimbang dari masing-masing lingkungan

peradilan militer dan dari peradilan umum yang diberi pangkat militer tituler.



(4) Ketentuan tersebut pada ayat (2) dan ayat (3) berlaku juga bagi pengadilan tingkat banding.



(5) Menteri Kehakiman dan Menteri Pertahanan dan Keamanan secara timbal balik

mengusulkan pengangkatan hakim anggota sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), ayat (3)

dan ayat (4) dan hakim perwira sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4).



BAB XII



GANTI KERUGIAN DAN REHABILITASI



Bagian Kesatu

Ganti Kerugian



Pasal 95



(1) Tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap,

ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan

undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.



(2) Tuntutan ganti kerugian oleh tersangka atau ahli warisnya atas penangkapan atau

penahanan serta tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena

kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalarn ayat

(1) yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri, diputus di sidang praperadilan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77.



(3) Tuntutan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan oleh tersangka,

terdakwa, terpidana atau ahli warisnya kapada pengadilan yang berwenang mengadili perkara

yang bersangkutan.



(4) Untuk memeriksa dan memutus perkara tuntutan ganti kerugian tersebut pada ayat (1)

ketua pengadilan sejauh mungkin menunjuk hakim yang sama yang telah mengadili perkara

pidana yang bersangkutan.



(5) Pemeriksaan terhadap ganti kerugian sebagaimana tersebut pada ayat (4) mengikuti acara

praperadilan.



Pasal 96


31
(1) Putusan pemberian ganti kerugian berbentuk penetapan.



(2) Penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memuat dengan Iengkap semua hal

yang dipertimbangkan sebagai alasan bagi putusan tersebut.



BAB XII



GANTI KERUGIAN DAN REHABILITASI



Bagian Kedua

Rehabilitasi



Pasal 97



(1) Seorang berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh pengadilan diputus bebas atau

diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum

tetap.



(2) Rehabilitasi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam putusan pengadilan

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).



(3) Permintaan rehabilitasi oleh tersangka atas penangkapan atau penahanan tanpa alasan

yang berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai orang atau hukum yang

diterapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1) yang perkaranya tidak diajukan ke

pengadilan negeri diputus oleh hakim praperadilan yang dimaksud dalam Pasal 77.



BAB XIII



PENGGABUNGAN PERKARA GUGATAN GANTI KERUGIAN



Pasal 98



(1) Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu pemeriksaan perkara

pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua

sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan

ganti kerugian kepada perkara pidana itu.



(2) Permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diajukan selambat-

lambatnya sebelum penuntut umum mengajukan tuntutan pidana. Dalam hal penuntut umum

tidak hadir, permintaan diajukan selambat-lambatnya sebelum hakim menjatuhkan putusan.



Pasal 99



(1) Apabila pihak yang dirugikan minta penggabungan perkara gugatannya pada perkara

pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98, maka pengadilan negeri menimbang tentang


32
kewenangannya untuk mengadili gugatan tersebut, tentang kebenaran dasar gugatan dan

tentang hukuman penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan tersebut.



(2) Kecuali dalam hal pengadilan negeri menyatakan tidak berwenang mengadili gugatan

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau gugatan dinyatakan tidak dapat diterima, putusan

hakim hanya memuat tentang penetapan hukuman penggantian biaya yang telah dikeluarkan

oleh pihak yang dirugikan.



(3) Putusan mengenai ganti kerugian dengan sendirinya mendapat kekuatan tetap apabila

putusan pidananya juga mendapat kekuatan hukum tetap.



Pasal 100



(1) Apabila teriadi penggabungan antara perkara perdata dan perkara pidana, maka

penggabungan itu dengan sendirinya berlangsung dalam pemeriksaan tingkat banding.



(2) Apabila terhadap suatu perkara pidana tidak diajukan permintaan banding, maka

permintaan banding mengenai putusan ganti rugi tidak diperkenankan.



Ketentuan dan aturan hukum acara perdata berlaku bagi gugatan ganti kerugian sepanjang

dalam undang-undang ini tidak diatur.



Pasal 101



Ketentuan dari aturan hukum acara perdata berlaku bagi gugatan ganti kerugian sepanjang

dalam undang-undang ini tidak diatur lain.



BAB XIV



PENYIDIKAN



Bagian Kesatu

Penyelidikan



Pasal 102



(1) Penyelidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu

peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan

penyelidikan yang diperlukan.



(2) Dalam hal tertangkap tangan tanpa menunggu perintah penyidik, penyelidik wajib segera

melakukan tindakan yang diperlukan dalam rangka penyelidikan sebagaimana tersebut pada

Pasal 5 ayat (1) huruf b.



(3) Terhadap tindakan yang dilakukan tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) penyelidik wajib

membuat berita acara dan melaporkannya kepada penyidik sedaerah hukum.



Pasal 103


33
(1) Laporan atau pengaduan yang diajukan secara tertulis harus ditandatangani oleh pelapor

atau pengadu.



(2) Laporan atau pengaduan yang diajukan secara lisan harus dicatat oleh penyelidik dan

ditandatangani oleh pelapor atau pengadu dan penyelidik.



Pasal 104



Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyelidik wajib menunjukkan tanda pengenalnya.



Pasal 105



Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyelidik dikoordinasi, diawasi dan diberi petunjuk

oleh penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf a.



BAB XIV



PENYIDIKAN



Bagian Kedua

Penyidikan



Pasal 106



Penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu

peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan

penyidikan yang diperlukan.



Pasal 107



(1) Untuk kepentingan penyidikan, penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf a memberikan

petunjuk kepada penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf b dan memberikan bantuan

penyidikan yang diperlukan.



(2) Dalam hal suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana sedang dalam

penyidikan oleh penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf b dan kemudian ditemukan bukti

yang kuat untuk diajukan kepada penuntut umum, penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1)

huruf b melaporkan hal itu kepada penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf a.



(3) Dalam hal tindak pidana telah selesai disidik oleh penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1)

huruf b, ia segera menyerahkan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik

tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf a.



Pasal 108



(1) Setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan atau menjadi korban peristiwa

yang merupakan tindak pidana berhak untuk mengajukan laporan atau pengaduan kepada

penyelidik dan atau penyidik baik lisan maupun tertulis.


34
(2) Setiap orang yang mengetahui permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana

terhadap ketenteraman dan keamanan umum atau terhadap jiwa atau terhadap hak milik wajib

seketika itu juga melaporkan hal tersebut kepada penyelidik atau penyidik.



(3) Setiap pegawai negeri dalam rangka melaksanakan tugasnya yang mengetahui tentang

terjadinya peristiwa yang merupakan tindak pidana wajib segera melaporkan hal itu kepada

penyelidik atau penyidik.



(4) Laporan atau pengaduan yang diajukan secara tertulis harus ditandatangani oleh pelapor

atau pengadu.



(5) Laporan atau pengaduan yang diajukan secara lisan harus dicatat oleh penyidik dan

ditandatangani oleh pelapor atau pengadu dan penyidik.



(6) Setelah menerima laporan atau pengaduan, penyelidik atau penyidik harus memberikan

surat tanda penerimaan laporan atau pengaduan kepada yang bersangkutan.



Pasal 109



(1) Dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan

tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum.



(2) Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau

peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi

hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau

keluarganya.



(3) Dalam hal penghentian tersebut pada ayat (2) dilakukan oleh penyidik sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b, pemberitahuan mengenai hal itu segera disampaikan

kepada penyidik dan penuntut umum.



Pasal 110



(1) Dalam hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segera

menyerahkan berkas perkara itu kepada penuntut umum.



(2) Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan tersebut ternyata masih

kurang lengkap, penuntut umum segera mengembalikan berkas perkara itu kepada penyidik

disertai petunjuk untuk dilengkapi.



(3) Dalam hal penuntut umum mengembalikan hasil penyidikan untuk dilengkapi, penyidik

wajib segera melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk dari penuntut umum.



(4) Penyidikan dianggap telah selesai apabila dalam waktu empat belas hari penuntut umum

tidak mengembalikan hasil penyidikan atau apabila sebelum batas waktu tersebut berakhir

telah ada pemberitahuan tentang hal itu dari penuntut umum kepada penyidik.



Pasal 111


35
(1) Dalam hal tertangkap tangan setiap orang berhak, sedangkan setiap orang yang

mempunyai wewenang dalam tugas ketertiban, ketenteraman dan keamanan umum wajib,

menangkap tersangka guna diserahkan beserta atau tanpa barang bukti kepada penyelidik

atau penyidik.



(2) Setelah menerima penyerahan tersangka sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) penyelidik

atau penyidik wajib segera melakukan pemeriksaan dan tindakan lain dalam rangka penyidikan.



(3) Penyelidik dan penyidik yang telah menerima laporan tersebut segera datang ke tempat

kejadian dapat melarang setiap orang untuk meninggalkan tempat itu selama pemeriksaan di

situ belum selesai.



(4) Pelanggar Iarangan tersebut dapat dipaksa tinggal di tempat itu sampai pemeriksaan

dimaksud di atas selesai.



Pasal 112



(1) Penyidik yang melakukan pemeriksaan, dengan menyebutkan alasan pemanggilan secara

jelas, berwenang memanggil tersangka dan saksi yang dianggap perlu untuk diperiksa dengan

surat panggilan yang sah dengan memperhatikan tenggang waktu yang wajar antara

diterimanya panggilan dan hari seorang itu diharuskan memenuhi panggilan tersebut.



(2) Orang yang dipanggil wajib datang kepada penyidik dan jika ia tidak datang penyidik

memanggil sekali lagi, dengan perintah kepada petugas untuk membawa kepadanya.



Pasal 113



Jika seorang tersangka atau saksi yang dipanggil memberi alasan yang patut dan wajar bahwa

ia tidak dapat datang kepada penyidik yang melakukan pemeriksaan, penyidik itu datang ke

tempat kediamannya.



Pasal 114



Dalam hal seorang disangka melakukan suatu tindak pidana sebelum dimulainya pemeriksaan

oleh penyidik, penyidik wajib memberitahukan kepadanya tentang haknya untuk mendapatkan

bantuan hukum atau bahwa ia dalam perkaranya itu wajib didampingi oleh penasihat hukum

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56.



Pasal 115



(1) Dalam hal penyidik sedang melakukan pemeriksaan terhadap tersangka penasihat hukum

dapat mengikuti jalannya pemeriksaan dengan cara melihat serta mendengar pemeriksaan.



(2) Dalam hal kejahatan terhadap keamanan negara penasihat hukum dapat hadir dengan cara

melihat tetapi tidak dapat mendengar pemeriksaan terhadap tersangka



Pasal 116



(1) Saksi diperiksa dengan tidak disumpah kecuali apabila ada cukup alasan untuk diduga

bahwa ia tidak akan dapat hadir dalam pemeriksaan di pengadilan.


36
(2) Saksi diperiksa secara tersendiri, tetapi boleh dipertemukan yang satu dengan yang lain

dan mereka wajib memberikan keterangan yang sebenarnya.



(3) Dalam pemeriksaan tersangka ditanya apakah ia menghendaki didengarnya saksi yang

dapat menguntungkan baginya dan bilamana ada maka hal itu dicatat dalam berita acara.



(4) Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) penyidik wajib memanggil dan

memeriksa saksi tersebut.



Pasal 117



(1) Keterangan tersangka dan atau saksi kepada penyidik diberikan tanpa tekanan dari siapa

pun dan atau dalam bentuk apapun.



(2) Dalam hal tersangka memberi keterangan tentang apa yang sebenarnya ia telah lakukan

sehubungan dengan tindak pidana yang dipersangkakan kepadanya, penyidik mencatat dalam

berita acara seteliti-telitinya sesuai dengan kata yang dipergunakan oleh tersangka sendiri.



Pasal 118



(1) Keterangan tersangka dan atau saksi dicatat dalam berita acara yang ditandatangani oleh

penyidik dan oleh yang memberi keterangan itu setelah mereka menyetujui isinya.



(2) Dalam hal tersangka dan atau saksi tidak mau membubuhkan tanda tangannya, penyidik

mencatat hal itu dalam berita acara dengan menyebut alasannya.



Pasal 119



Dalam hal tersangka dan atau saksi yang harus didengar keterangannya berdiam atau

bertempat tinggal di luar daerah hukum penyidik yang menjalankan penyidikan, pemeriksaan

terhadap tersangka dan atau saksi dapat dibebankan kepada penyidik di tempat kediaman

atau tempat tinggal tersangka dan atau saksi tersebut.



Pasal 120



(1) Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat orang ahli atau orang yang

memiliki keahlian khusus.



(2) AhIi tersebut mengangkat sumpah atau mengucapkan janji di muka penyidik bahwa ia akan

memberi keterangan menurut pengetahuannya yang sebaik-baiknya kecuali bila disebabkan

karena harkat serta martabat, pekerjaan atau jabatannya yang mewajibkan ia menyimpan

rahasia dapat menolak untuk memberikan keterangan yang diminta.



Pasal 121



Penyidik atas kekuatan sumpah jabatannya segera membuat berita acara yang diberi tanggal

dan memuat tindak pidana yang dipersangkakan, dengan menyebut waktu, tempat dan

keadaan pada waktu tindak pidana dilakukan, nama dan tempat tinggal dari tersangka dan

atau saksi, keterangan mereka, catatan mengenai akta dan atau benda serta segala sesuatu

yang dianggap perlu untuk kepentingan penyelesaian perkara.


37
Pasal 122



Dalam hal tersangka ditahan dalam waktu satu hari setelah perintah penahanan itu dijalankan

dan harus mulai diperiksa oleh penyidik.



Pasal 123



(I) Tersangka, keluarga atau penasihat hukum dapat mengajukan keberatan atas penahanan

atau jenis penahanan tersangka kepada penyidik yang melakukan penahanan itu.



(2) Untuk itu penyidik dapat mengabulkan permintaan tersebut dengan mempertimbangkan

tentang perlu atau tidaknya tersangka itu tetap ditahan atau tetap ada dalam jenis penahanan

tertentu.



(3) Apabila dalam waktu tiga hari permintaan tersebut belum dikabulkan oleh penyidik,

tersangka, keluarga atau penasihat hukum dapat mengajukan hal itu kepada atasan penyidik.



(4) Untuk itu atasan penyidik dapat mengabulkan permintaan tersebut dengan

mempertimbangkan tentang perlu atau tidaknya tersangka itu tetap ditahan atau tetap ada

dalam jenis tahanan tertentu.



(5) Penyidik atau atasan penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat tersebut di atas dapat

mengabulkan permintaan dengan atau tanpa syarat.



Pasal 124



DaIam hal apakah sesuatu penahanan sah atau tidak sah menurut hukum, tersangka, keluarga

atau penasihat hukum dapat mengajukan hal itu kepada pengadilan negeri setempat untuk

diadakan praperadilan guna memperoleh putusan apakah penahanan atas diri tersangka

tersebut sah atau tidak sah menurut undang-undang ini.



PasaI 125



Dalam hal penyidik melakukan penggeledahan rumah terlebih dahulu menunjukkan tanda

pengenalnya kepada tersangka atau keluarganya, selanjutnya berlaku ketentuan sebagaimana

dimaksud dalam PasaI 33 dan Pasal 34.



Pasal 126



(1) Penyidik membuat berita acara tentang jalannya dari hasil penggeledahan rumah

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (5).



(2) Penyidik membacakan lebih dahulu berita acara tentang penggeledahan rumah kepada

yang bersangkutan, kemudian diberi tanggal dan ditandatangani oleh penyidik maupun

tersangka atau keluarganya dan atau kepala desa atau ketua lingkungan dengan dua orang

saksi.



(3) Dalam haI tersangka atau keluarganya tidak mau membubuhkan tandatangannya, hal itu

dicatat dalam berita acara dengan menyebut alasannya


38
Pasal 127



(1) Untuk keamanan dan ketertiban penggeledahan rumah, penyidik dapat mengadakan

penjagaan atau penutupan tempat yang bersangkutan.



(2) Dalam hal ini penyidik berhak memerintahkan setiap orang yang dianggap perlu tidak

meninggalkan tempat tersebut selama penggeledahan berlangsung.



Pasal 128



Dalam hal penyidik melakukan penyitaan, terlebih dahulu ia menunjukkan tanda pengenalnya

kepada orang dari mana benda itu disita.



Pasal 129



(1) Penyidik memperlihatkan benda yang akan disita kepada orang dari mana benda itu akan

disita atau kepada keluarganya dan dapat minta keterangan tentang benda yang akan disita itu

dengan disaksikan oleh kepala desa atau ketua Iingkungan dengan dua orang saksi.



(2) Penyidik membuat berita acara penyitaan yang dibacakan terlebih dahulu kepada orang

darimana benda itu disita atau keluarganya dengan diberi tanggal dan ditandatangani oleh

penyidik maupun orang atau keluarganya dan atau kepala desa atau ketua lingkungan dengan

dua orang saksi.



(3) Dalam hal orang dari mana benda itu disita atau keluarganya tidak mau membubuhkan

tandatangannya hal itu dicatat dalam berita acara dengan menyebut alasannya.



(4) Turunan dari berita acara itu disampaikan oleh penyidik kepada atasannya, orang dari

mana benda itu disita atau keluarganya dan kepala desa.



Pasal 130



(1) Benda sitaan sebelum dibungkus, dicatat berat dan atau jumlah menurut jenis masing-

masing, ciri maupun sifat khas, tempat, hari dan tanggal penyitaan, identitas orang dari mana

benda itu disita dan lain-lainnya yang kemudian diberi hak dan cap jabatan dan ditandatangani

oleh penyidik.



(2) Dalam hal benda sitaan tidak mungkin dibungkus, penyidik memberi catatan sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1), yang ditulis di atas label yang ditempelkan dan atau dikaitkan pada

benda tersebut.



Pasal 131



(1) Dalam hal sesuatu tindak pidana sedemikian rupa sifatnya sehingga ada dugaan kuat dapat

diperoleh keterangan dari berbagai surat, buku atau kitab, daftar dan sebagainya, penyidik

segera pergi ke tempat yang dipersangkakan untuk menggeledah, memeriksa surat, buku atau

kitab, daftar dan sebagainya dan jika perlu menyitanya.



(2) Penyitaan tersebut dilaksanakan menurut ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal 129

undang-undang ini.


39
Pasal 132



(1) Dalam hal diterima pengaduan bahwa sesuatu surat atau tulisan palsu atau dipalsukan atau

diduga palsu oleh penyidik, maka untuk kepentingan penyidikan, oleh penyidik dapat

dimintakan keterangan mengenai hal itu dari orang ahli.



(2) Dalam hal timbul dugaan kuat bahwa ada surat palsu atau yang dipalsukan, penyidik

dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat dapat datang atau dapat minta kepada

pejabat penyimpan umum yang wajib dipenuhi, supaya ia mengirimkan surat asli yang

disimpannya itu kepadanya untuk dipergunakan sebagai bahan perbandingan.



(3) Dalam hal suatu surat yang dipandang perlu untuk pemeriksaan, menjadi bagian serta tidak

dapat dipisahkan dari daftar sebagaimana dimaksud dalam pasal 131, penyidik dapat minta

supaya daftar itu seluruhnya selama waktu yang ditentukan dalam surat permintaan dikirimkan

kepadanya untuk diperiksa, dengan menyerahkan tanda penerimaan.



(4) Dalam hal surat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak menjadi bagian dari suatu

daftar, penyimpan membuat salinan sebagai penggantinya sampai surat yang asli diterima

kembali yang dibagian bawah dari salinan itu penyimpan mencatat apa sebab salinan itu dibuat.



(5) Dalam hal surat atau daftar itu tidak dikirimkan dalam waktu yang ditentukan dalam surat

permintaan, tanpa alasan yang sah, penyidik berwenang mengambilnya.



(6) Semua pengeluaran untuk penyelesaian hal tersebut dalam pasal ini dibebankan pada dan

sebagai biaya perkara.



Pasal 133



(1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka,

keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia

berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau

dokter dan atau ahli lainnya.



(2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara

tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau

pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.



(3) Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada rumah sakit harus

diperlakukan secara baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat tersebut dan diberi

label yang memuat identitas mayat, dilak dengan diberi cap jabatan yang dilekatkan pada ibu

jari kaki atau bagian lain badan mayat.



Pasal 134



(1) Dalam hal sangat diperlukan dimana untuk keperluan pembuktian bedah mayat tidak

mungkin lagi dihindari, penyidik wajib memberitahukan terlebih dahulu kepada keluarga korban.



(2) Dalam hal keluarga keberatan, penyidik wajib menerangkan dengan sejelas-jelasnya

tentang maksud dan tujuan perlu dilakukannya pembedahan tersebut.


40
(3) Apabila dalam waktu dua hari tidak ada tanggapan apapun dari keluarga atau pihak yang

diberi tahu tidak diketemukan, penyidik segera melaksanakan ketentuan sebagaimana

dimaksud dalam pasal 133 ayat (3) undang-undang ini.



Pasal 135



Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan perlu melakukan penggalian mayat,

dilaksanakan menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 133 ayat (2) dan pasal

134 ayat (1) undang-undang ini.



Pasal 136



Semua biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam

Bagian Kedua Bab 14 ditanggung oleh negara.



BAB XV



PENUNTUTAN



Pasal 137



Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa

melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke

pengadilan yang berwenang mengadili.



Pasal 138



(1) Penuntut umum setelah menerima hasil penyidikan dan penyidik segera mempelajari dan

menelitinya dan dalam waktu tujuh hari wajib memberitahukan kepada penyidik apakah hasil

penyidikan itu sudah lengkap atau belum.



(2) Dalam hal hasil penyidikan ternyata belum lengkap, penuntut umum mengembalikan berkas

perkara kepada penyidik disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi

dan dalam waktu empat belas hari sejak tanggal penerimaan berkas, penyidik harus sudah

menyampaikan kembali berkas perkara itu kepada penuntut umum.



Pasal 139



Setelah penuntut umum menerima atau menerima kembali hasil penyidikan yang lengkap dari

penyidik, ia segera menentukan apakah berkas perkara itu sudah memenuhi persyaratan untuk

dapat atau tidak dilimpahkan ke pengadilan.



Pasal 140



(1) Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan

penuntutan, ia dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan.


41
(2) a.Dalam hal penuntut umum memutuskan untuk menghentikan penuntutan karena tidak

terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau

perkara ditutup demi hukum, penuntut umum menuangkan hal tersebut dalam surat ketetapan.



b.Isi surat ketetapan tersebut diberitahukan kepada tersangka dan bila ia ditahan, wajib

segera dibebaskan.



c.Turunan surat ketetapan itu wajib disampaikan kepada tersangka atau keluarga atau

penasihat hukum, pejabat rumah tahanan negara, penyidik dan hakim.



d. Apabila kemudian ternyata ada alasan baru, penuntut umum dapat melakukan penuntutan

terhadap tersangka



Pasal 141



Penuntut umum dapat melakukan penggabungan perkara dan membuatnya dalam satu surat

dakwaan, apabila pada waktu yang sama atau hampir bersamaan ia menerima beberapa

berkas perkara dalam hal:



a. beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh seorang yang sama dan kepentingan

pemeriksaan tidak menjadikan halangan terhadap penggabungannya;



b. beberapa tindak pidana yang bersangkut-paut satu dengan yang lain;



c. beberapa tindak pidana yang tidak bersangkut-paut satu dengan yang lain, akan

tetapi yang satu dengan yang lain itu ada hubungannya, yang dalam hal ini

penggabungan tersebut perlu bagi kepentingan pemeriksaan.



Pasal 142



Dalam hal penuntut umum menerima satu berkas perkara yang memuat beberapa tindak

pidana yang dilakukan oleh beberapa orang tersangka yang tidak termasuk dalam ketentuan

Pasal 141, penuntut umum dapat melakukan penuntutan terhadap masing-masing terdakwa

secara terpisah.



(1) Penuntut umum melimpahkan perkara ke pengadilan negeri dengan permintaan agar

segera mengadii perkara tersebut disertai dengan surat dakwaan.



(2) Penuntut umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditandatangani serta

berisi:



a.nama Iengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan,

tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka;



b.uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan

dengan menyebutkan waktu dan termpat tindak pidana itu dilakukan.



(3) Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)

huruf b batal demi hukum.


42
(4) Turunan surat pelimpahan perkara beserta surat dakwaan disampaikan kepada tersangka

atau kuasanya atau penasihat hukumnya dan penyidik, pada saat yang bersamaan. dengan

penyampaian surat pelimpahan perkara tersebut ke pengadilan negeri.



Pasal 144



(1) Penuntut umum dapat mengubah surat dakwaan sebelum pengadilan menetapkan hari

sidang, baik dengan tujuan untuk menyempurnakan maupun untuk tidak melanjutkan

penuntutannya.



(2) Pengubahan surat dakwaan tersebut dapat dilakukan hanya satu kali selambat-lambatnya

tujuh hari sebelum sidang dirnulai.



(3) Dalam hal penuntut umum mengubah surat dakwaan ia menyampaikan turunannya kepada

tersangka atau penasihat hukum dan penyidik.



BAB XVI



PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN



Bagian Kesatu

Panggilan dan Dakwaan



Pasal 145



(1) Pemberitahuan untuk datang ke sidang pengadilan dilakukan Secara sah, apabila

disampaikan dengan surat panggilan kepada terdakwa di alamat tempat tinggalnya atau

apabila tempat tinggalnya tidak diketahui, disampaikan di tempat kediaman terakhir.



(2) Apabila terdakwa tidak ada di tempat tinggalnya atau ditempat kediaman terakhir, surat

panggilan disampaikan melalui kepala desa yang berdaerah hukum tempat tinggal terdakwa

atau tempat kediaman terakhir.



(3) Dalam hal terdakwa ada dalam tahanan surat panggilan disampaikan kepadanya melalui

pejabat rumah tahanan negara.



(4) Penerimaan surat panggilan oleh terdakwa sendiri ataupun oleh orarig lain atau melalui

orang lain, dilakukan dengan tanda penerimaan.



(5) Apabila tempat tinggal maupun tempat kediaman terakhir tidak dikenal, surat panggilan

ditempelkan pada tempat pengumuman di gedung pengadilan yang berwenang mengadili

perkaranya.



Pasal 146



(1) Penuntut umum menyampaikan surat panggilan kepada terdakwa yang memuat tanggal,

hari, serta jam sidang dan untuk perkara apa ia dipanggil yang harus sudah diterima oleh yang

bersangkutan selambat-lambatnya tiga hari sebelum sidang dimulai.


43
(2) Penuntut umum menyampaikan surat panggilan kepada saksi yang memuat tanggal, hari

serta jam sidang dan untuk perkara apa ia dipanggil yang harus sudah diterima oleh yang

bersangkutan selambat-Iambatnya tiga hari sebelum sidang dimulai.



BAB XVI



PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN



Bagian Kedua

Memutus Sengketa mengenai Wewenang Mengadili



Pasal 147



Setelah pengadilan negeri menerima surat pelimpahan perkara dari penuntut umum, ketua

mempelajari apakah perkara itu termasuk wewenang pengadilan yang dipimpinnya.



Pasal 148



(1) Dalam hal ketua pengadilan negeri berpendapat, bahwa perkara pidana itu tidak termasuk

wewenang pengadilan yang dipimpinnya, tetapi termasuk wewenang pengadilan negeri lain, ia

menyerahkan surat pelimpahan perkara tersebut kepada pengadilan negeri lain yang dianggap

berwenang mengadilinya dengan surat penetapan yang memuat alasannya.



(2) Surat pelimpahan perkara tersebut diserahkan kembali kepada penuntut umum selanjutnya

kejaksaan negeri yang bersangkutan menyampaikannya kepada kejaksaan negeri di tempat

pengadilan negeri yang tercantum dalam surat penetapan.



(3) Turunan surat penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disarnpaikan kepada

terdakwa atau penasihat hukum dan penyidik.



Pasal 149



(1) Dalam hal penuntut umum berkeberatan terhadap surat penetapan pengadilan negeri

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148, maka:



a.Ia mengajukan perlawanan kepada pengadilan tinggi yang bersangkutan dalam waktu

tujuh hari setelah penetapan tersebut diterima;



b.tidak dipenuhinya tenggang waktu tersebut di atas mengakibatkan batalnya

perlawanan;



c. perlawanan tersebut disampaikan kepada ketua pengadilan negeri sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 148 dan hal itu dicatat dalam buku daftar panitera;



d. dalam waktu tujuh hari pengadilan negeri wajib meneruskan perlawanan tersebut

kepada pengadilan tinggi yang bersangkutan.


44
(2) Pengadilan tinggi dalam waktu paling lama empat belas hari setelah menerima perlawanan

tersebut dapat menguatkan atau menolak perlawanan itu dengan surat penetapan.



(3) Dalam hal pengadilan tinggi menguatkan perlawanan penuntut umum, maka dengan surat

penetapan diperintahkan kepada pengadilan negeri yang bersangkutan untuk menyidangkan

perkara tersebut.



(4) Jika pengadilan tinggi menguatkan pendapat pengadilan negeri, pengadilan tinggi

mengirimkan berkas perkara pidana tersebut kepada pengadilan negeri yang bcrsangkutan.



(5) Tembusan surat penetapan pengadilan tinggi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan

ayat (4) disampaikan kepada penuntut umum.



Pasal 150



Sengketa tentang wewenang mengadili terjadi:



a.jika dua pengadilan atau lebih menyatakan dirinya berwenang mengadili atas perkara

yang sama;



b.jika dua pengadilan atau lebih menyatakan dirinya tidak berwenang mengadili perkara

yang sama.



Pasal 151



(1) Pengadilan tinggi memutus sengketa wewenang mengadili antara dua pengadilan negeri

atau lebih yang berkedudukan dalam daerah hukumnya.



(2) Mahkamah Agung memutus pada tingkat pertama dan terakhir semua sengketa tentang

wewenang mengadili:



a.antara pengadilan dari satu lingkungan peradilan dengan pengadilan dari lingkungan

peradilan yang lain;



b.antara dua pengadilan negeri yang berkedudukan dalam daerah hukum pengadilan

tinggi yang berlainan;



c.antara dua pengadilan tinggi atau lebih.



BAB XVI



PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN



Bagian Ketiga

Acara Pemeriksaan Biasa



Pasal 152


45
(1) Dalam hal pengadilan negeri menerima surat pelimpahan perkara dan berpendapat bahwa

perkara itu termasuk wewenangnya, ketua pengadilan menunjuk hakim yang akan

menyidangkan perkara tersebut dan hakim yang ditunjuk itu menetapkan hari sidang.



(2) Hakim dalam menetapkan hari sidang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

memerintahkan kepada penuntut umum supaya memanggil terdakwa dan saksi untuk datang

di sidang pengadilan.



Pasal 153



(1) Pada hari yang ditentukan menurut Pasal 152 pengadilan bersidang.



(2) a.Hakim ketua sidang memimpin pemeriksaan di sidang pengadilan yang dilakukan secara

lisan dalam bahasa Indonesia yang dimengerti oleh terdakwa dan saksi;



b.Ia wajib menjaga supaya tidak dilakukan hal atau diajukan pertanyaan yang

mengakibatkan terdakwa atau saksi memberikan jawaban secara tidak bebas.



(3) Untuk keperluan pemeriksaan, hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan

terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak.



(4) Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (2) dan ayat (3) mengakibatkan batalnya putusan

demi hukum.



(5) Hakim ketua sidang dapat menentukan bahwa anak yang belum mencapai umur tujuh

belas tahun tidak diperkenankan menghadiri sidang.



Pasal 154



(1) Hakim ketua sidang memerintahkan supaya terdakwa dipanggil masuk dan jika ia dalam

tahanan, ia dihadapkan dalam keadaan bebas.



(2) Jika dalam pemeriksaan perkara terdakwa yang tidak ditahan tidak hadir pada hari sidang

yang telah ditetapkan, hakim ketua sidang meneliti apakah terdakwa sudah dipanggil secara

sah.



(3) Jika terdakwa dipanggil secara tidak sah, hakim ketua sidang rnenunda persidangan dan

memerintahkan supaya terdakwa dipanggil lagi untuk hadir pada hari sidang berikutnya.



(4) Jika terdakwa ternyata telah dipanggil secara sah tetapi tidak datang di sidang tanpa alasan

yang sah, pemeriksaan perkara tersebut tidak dapat dilangsungkan dan hakim ketua sidang

memerintahkan agar terdakwa dipanggil sekali lagi.



(5) Jika dalam suatu perkara ada lebih dari seorang terdakwa dan tidak semua terdakwa hadir

pada hari sidang, pemeriksaan terhadap terdakwa yang hadir dapat dilangsungkan.



(6) Hakim ketua sidang memerintahkan agar terdakwa yang tidak hadir tanpa alasan yang sah

setelah dipanggil secara sah untuk kedua kalinya, dihadirkan dengan paksa pada sidang

pertama berikutnya.


46
(7) Panitera mencatat laporan dari penuntut umum tentang pelaksanaan sebagaimana

dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (6) dan menyampaikannya kepada hakim ketua sidang.



Pasal 155



(1) Pada permulaan sidang. hakim ketua sidang menanyakan kepada terdakwa tentang nama

Iengkap. tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal,

agama dan pekerjaannya sertta mengingatkan terdakwa supaya memperhatikan segala

sesuatu yang didengar dan dilihatnya di sidang.



(2)a.Sesudah itu hakim ketua sidang minta kepada penuntut umum untuk membacakan surat

dakwaan;



b.Selanjutnya hakim ketua sidang menanyakan kepada terdakwa apakah ia sudah benar-

benar mengerti, apabila terdakwa ternyata tidak mengerti, penuntut umum atas permintaan

hakim ketua sidang wajib memberi penjelasan yang diperlukan.



Pasal 156



(1) Dalam hal terdakwa atau penasihat hukum mengajukan keberatan bahwa pengadilan tidak

berwenang mengadili perkaranya atau dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan harus

dibatalkan, maka setelah diberi kesempatan kepada penuntut umum untuk menyatakan

pendapatnya, hakim mempertimbangkan keberatan tersebut untuk selanjutnya mengambil

keputusan.



(2) Jika hakim menyatakan keberatan tersebut diterima, maka perkara itu tidak diperiksa

lebih .lanjut, sebaliknya dalam hal tidak diterima atau hakim berpendapat hal tersebut baru

dapat diputus setelah selesai pemeriksaan, maka sidang dilanjutkan.



(3) Dalam hal penuntut umum berkeberatan terhadap keputusan tersebut, maka Ia dapat

mengajukan perlawanan kepada pengadilan tinggi melalui pengadilan negeri yang

bersangkutan.



(4) Dalam hal perlawanan yang diajukan oleh terdakwa atau penasihat hukumnya diterima oleh

pengadilan tinggi, maka dalam waktu empat belas hari, pengadilan tinggi dengan surat

penetapannya membatalkan putusan pengadilan negeri dan memerintahkan pengadilan negeri

yang berwenang untuk memeriksa perkara itu.



(5) a. Dalam hal perlawanan diajukan bersama-sama dengan permintaan banding oleh

terdakwa atau penasihat hukumnya kepada pengadilan tinggi, maka dalam waktu empat belas

hari sejak ia menerima perkara dan membenarkan perlawanan terdakwa, pengadilan tinggi

dengan keputusan membátalkan putusan pengadilan negeri yang bersangkutan dan menunjuk

pengadilan negeri yang berwenang;



b.Pengadilan tinggi menyampaikan salinan keputusan tersebut kepada pengadilan negeri

yang berwenang dan kepada pengadilan negeri yang semula mengadili perkara yang

bersangkutan dengan disertai berkas perkara untuk diteruskan kepada kejaksaan negeri yang

telah melimpahkan perkara itu.



(6) Apabila pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) berkedudukan

di daerah hukum pengadilan tinggi lain maka kejaksaan negeri mengirimkan perkara tersebut


47
kepada kejaksaan negeri dalam daerah hukum pengadilan negeri yang berwenang di tempat

itu.



(7) Hakim ketua sidang karena jabatannya walaupun tidak ada perlawanan, setelah

mdndengar pendapat penuntut umum dan terdakwa dengan surat penetapan yang memuat

alasannya dapat menyatakán pengadilan tidak berwenang.



Pasal 157



(1) Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari mengadili perkara tertentu apabila ia terikat

hubungan keluarga sedarah atau Semenda sampai derajat ketiga, hubungan suami atau isteri

meskipun sudah bercerai dengan hakim ketua sidang, salah seorang hakim anggota, penuntut

umum atau panitera.



(2) Hakim ketua sidang, hakim anggota, penuntut umum atau panitera wajib mengundurkan diri

dari menangani perkara apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semeñda sampai

derajat ketiga atau hubungan suami atau isteri meskipun sudah bercerai dengan terdakwa atau

dengan penasihat hukum.



(3) Jika dipenuhi ketentuan ayat (1) dan ayat (2) mereka yang mengundurkan diri harus diganti

dan apabila tidak dipenuhi atau tidak diganti sedangkan perkara telah diputus, maka perkara

wajib segera diadili ulang dengan susunan yang lain.



Pasal 158



Hakim dilarang menunjukkan sikap atau mengeluarkan pernyataan di sidang tentang

keyakinan mengenai salah atau tidaknya terdakwa.



Pasal 159



(1) Hakim ketua sidang selanjutnya meneliti apakah semua saksi yang dipanggil telah hadir

dan memberi perintah untuk mencegah jangan sampai saksi berhubungan satu dengan yang

lain sebelum memberi keterangan di sidang.



(2) Dalam hal saksi tidák hadir, meskipun telah dipanggil dengan sah dan hakim ketua sidang

mempunyai cukup alasan untuk menyangka bahwa saksi itu tidak akan mau hadir, maka hakim

ketua sidang dapat memerintahkan supaya saksi tersebut dihadapkan ke persidangan.



Pasal 160



(1)a. Saksi dipanggil ke dalam ruang sidang seorang demi seorang menurut urutan yang

dipandang sebaik-baiknya oleh hakim ketua sidang setelah mendengar pendapat penuntut

umum, terdakwa atau penasihat hukum;



b.Yang pertama-tama didengar keterangannya adalah korban yang menjadi saksi;



c. Dalam hal ada saksi baik yang menguntungkan maupun yang memberatkan terdakwa

yang tercantum dalam surat pelimpahan perkara dan atau yang diminta oleh terdakwa atau

penasihat hukum atau penuntut umum selamã berIangsungnya sidang atau sebelum

dijatuhkannya putusán, hakim ketua sidang wajib mendengar keterangan saksi tersebut.


48
(2) Hakim ketua sidang menanyakan kepada saksi keterangan tentang nama lengkap, tempat

lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan,

selanjutnya apakah ia kenal terdakwa sebelum terdakwa melakukan perbuatan yang menjadi

dasar dakwaan serta apakah ia berkeluarga sedarah atau semenda dan sampai derajat

keberapa dengan terdakwa, atau apakah ia suami atau isteri terdakwa meskipun sudah

bercerai atau terikat hubungan kerja dengannya.



(3) Sebelum memberi keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara

agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak

lain daripada yang sebenarnya.



(4) Jika pengadilan menganggap perlu, seorang saksi atau ahli wajib bersumpah atau berjanji

sesudah saksi atau ahli itu selesai memberi keterangan.



Pasal 161



(1) Dalam hal saksi atau ahli tanpa alasan yang sah menolak untuk bersumpah atau berjanji

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 160 ayat (3) dan ayat (4), maka pemeriksaan

terhadapnya tetap dilakukan, sedang ia dengan surat penetapan hakim ketua sidang dapat

dikenakan sandera di tempat rumah tahanan negara paling lama empat belas hari.



(2) Dalam hal tenggang waktu penyanderaan tersebut telah lampau dan saksi atau ahli tetap

tidak mau disumpah atau mengucapkan janji, maka keterangan yang telah diberikan

merupakan keterangan yang dapat menguatkan keyakinan hakim.



Pasal 162



(1) Jika saksi sesudah memberi keterangan dalam penyidikan meninggal dunia atau karena

halangan yang sah tidak dapat hadir di sidang atau tidak dipanggil karena jauh tempat

kediaman atau tempat tinggalnya atau karena sebab lain yang berhubungan dengan

kepentingan negara, maka keterangan yang telah diberikannya itu dibacakan.



(2) Jika keterangan itu sebelumnya telah diberikan di bawah sumpah, maka keterangan itu

disamakan nilainya dengan keterangan saksi di bawah sumpah yang diucapkan di sidang.



Pasal 163



Jika keterangan saksi di sidang berbeda dengan keterangannya yang terdapat dalam berita

acara, hakim ketua sidang mengingatkan saksi tentang hal itu serta minta keterangan

mengenai perbedaan yang ada dan dicatat dalam berita acâra pemeriksaan sidang.



Pasal 164



(1) Setiap kali seorang saksi selesai memberikan keterangan, hakim ketua sidang menanyakan

kepada terdakwa bagaimana pendapatnya tentang keterangan tersebut.



(2) Penuntut umum atau penasihat hukum dengan perantaraan hakim ketua sidang diberi

kesempatan untuk mengajukan pertanyaan kepada saksi dan terdakwa.



(3) Hakim ketua sidang dapat menolak pertanyaan yang diajukan oleh penuntut umum atau

penasihat hukum kepada saksi atau terdakwa dengan memberikan alasannya.


49
Pasal 165



(1) Hakim ketua sidang dan hakim anggota dapat minta kepada saksi segala keterangan yang

dipandang perlu untuk mendapatkan kebenaran.



(2) Penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukum dengan perantaraan hakim ketua sidang

diberi kesempatan untuk mengajukan pertanyaan kepada saksi.



(3) Hakim ketua sidang dapat menolak pertanyaan yang diajukan oleh penuntut umum,

terdakwa atau penasihat hukum kepada saksi dengan memberikan alasannya.



(4) Hakim dan penuntut umum atau terdakwa atau penasihat hukum dengan perantaraan

hakim ketua sidang, dapat saling menghadapkan saksi untuk menguji kebenaran keterangan

mereka masing-masing.



Pasal 166



Pertanyaan yang bersifat menjerat tidak bolèh diajukan baik kepada terdakwa; maupun kepada

saksi



Pasal 167



(1) Setelah saksi .memberi keterangan, ia tetap hadir di sidang kecuali hakim ketua sidang

memberi izin untuk meninggalkannya.



(2) Izin itu tidak diberikán jika penuntut umum atau terdakwa atau penasihat hukum

mengajukan permintaan supaya saksi itu tetap menghadiri sidang.



(3) Para saksi selama sidang dilarang saling bercakap-cakap.



Pasal 168



Kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini, maka tidak dapat didengar keterangannya

dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi:



a. keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sarnpai

derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.



b. saudara dan terdakwa atau yang bérsama-sama sebagal terdakwa, saudara ibu atau

saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dari anak-

anak saudara terdakwa sampal derajat ketiga



c. suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama

sebagai terdakwa.



Pasal 169



(1) Dalam hal mereka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 168 menghendakinya dan penuntut

umum serta tegas menyetujuinya dapat memberi keterangan di bawah sumpah.


50
(2) Tanpa persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), mereka diperbolehkan

memberikan keterangan tanpa sumpah.



Pasal 170



(1) Mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan

rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi,

yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada mereka.



(2) Hakim menentukan sah atau tidaknya segala alasan untuk permintaan tersebut.



Pasal 171



Yang boleh diperiksa untuk memberi keterangan tanpa sumpah ialah :



a. anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin;



b.orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang ingatannya baik kembali.



Pasal 172



(1) Setelah saksi memberi keterangan maka terdakwa atau penasihat hukum atau penuntut

umum dapat mengajukan permintaan kepada hakim ketua sidang, agar di antara saksi tersebut

yang tidak mereka kehendaki kehadirannya, dikeluarkan dari ruang sidang, supaya saksi

lainnya dipanggil masuk oleh hakim ketua sidang untuk didengar keterangannya, baik seorang

demi seorang maupun bersama-sama tanpa hádirnya saksi yang dikeluarkan tersebut.



(2) Apabila dipandang perlu hakim karena jabatannya dapat minta supaya saksi yang tèlah

didengar keterangannya ke luar dari ruang sidang untuk selanjutnya mendengar keterangan

saksi yang lain.



Pasal 173



Hakim ketua sidang dapat mendengar keterangan saksi mengenai hal tertentu tanpa hadirnya

terdakwa, untuk itu Ia minta terdakwa ke luar dari ruang sidang akan tetapi sesudah itu

pemeriksaan perkara tidak boleh diteruskan sebelum kepada terdakwa diberitahukan semua

hal pada waktu ia tidãk hadir.



Pasal 174



(1) Apabila keterangan saksi di sidang disangka palsu, hakim ketua sidang memperingatkan

dengan sungguh -sungguh kepadanya supaya memberikan keterangan yang sebenarnya dan

mengemukakan ancaman pidana yang dapat dikenakan kepadanya apabila ia tetap

memberikan keterangan palsu.



(2) Apabila saksi tetap pada keterangannya itu, hakim ketua sidang karena jabatannya atau

atas permintaan penuntut umum atau terdakwa dapat memberi perintah supaya saksi itu

ditahan untuk selanjutnya dituntut perkara dengan dakwaan sumpah palsu.


51
(3) Dalam hal yang demikian oleh panitera segera dibuat berita acara pemeriksaan sidang

yang memuat keterangan saksi dengan menyebutkan alasan persangkaan, bahwa keterangan

saksi itu adalah palsu dan berita acara tersebut ditandatangani oleh hakim ketua sidang serta

panitera dan segera diserahkan kepada penuntut umum untuk diselesaikan menurut ketentuan

undang-undang ini.



(4) Jika perlu hakim ketua sidang menangguhkan sidang dalam perkara semula sampai

pemeriksaan perkara pidana terhadap saksi itu selesai.



Pasal 175



Jika terdakwa tidak mau menjawab atau menolak untuk menjawab, pertanyaan yang diajukan

kepadanya, hakim ketua sidang menganjurkan untuk menjawab dan setelah itu pemeriksaan

dilanjutkan.



Pasal 176



(1) Jika terdakwa bertingkah laku yang tidak patut sehingga mengganggu ketertiban sidang,

hakim ketua sidang menegurnya dan jika teguran itu tidak diindahkan ia memerintahkan

supaya terdakwa dikeluarkan dari ruang sidang, kemudian pemeriksaan perkara pada waktu

itu dilanjutkan tanpa hadirnya terdakwa.



(2) Dalam hal terdakwa secara terus menerus bertingkah laku yang tidak patut sehingga

mengganggu ketertiban sidang, hakim ketua sidang mengusahakan upaya sedemikian rupa

sehingga putusan tetap dapat dijatuhkan dengan hadirnya terdakwa.



Pasal 177



(1) Jika terdakwa atau saksi tidak paham bahasa Indonesia, hakim ketua sidang menunjuk

seorang juru bahasa yang bersumpah atau berjanji akan menterjemahkan dengan benar

semua yang harus diterjemahkan.



(2) Dalam hal seorang tidak boleh menjadi saksi dalam suatu perkara Ia tidak boleh pula

menjadi juru bahasa dalam perkara itu.



Pasal 178



(1) Jika terdakwa atau saksi bisu dan atau tuli serta tidak dapat menulis, hakim ketua sidang

mengangkat sebagai penterjemah orang yang pandai bergaul dengan terdakwa atau saksi itu.



(2) Jika terdakwa atau saksi bisu dan atau tuli tetapi dapat menulis, hakim ketua sidang

menyampaikan semua pertanyaan atau teguran kepadanya secara tertulis dan kepada

terdakwa atau saksi tersebut diperintahkan untuk menulis jawabannya dan selanjutnya semua

pertanyaan serta jawaban harus dibacakan



Pasal 179



(1) Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakirnan atau dokter

atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan.


52
(2) Semua ketentuan tersebut di atas untuk saksi berlaku juga bagi mereka yang memberikan

keterangan ahli, dengan ketentuan bahwa mereka mengucapkan sumpah atau janji akan

memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan yang sebenarnya menurut pengetahuan

dalam bidang keahliannya.



Pasal 180



(1) Dalam hal diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoalan yang timbul di sidang

pengadilan, hakim ketua sidang dapat minta keterangan ahli dan dapat pula minta agar

diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan.



(2) Dalam hal timbul keberatan yang beralasan dari terdakwa atau penasihat hukum terhadap

hasil keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hakim memerintahkan agar hal itu

dilakukan penelitian ulang.



(3) Hakim karena jabatannya dapat memerintahkan untuk dilakukan penelitian ulang

sebagaimana tersebut pada ayat (2).



(4) Penelitian ulang sebagaimana tersebut pada ayat (2) dan ayat (3) dilakukan oleh instansi

semula dengan komposisi personil yang berbeda dan instansi lain yang mempunyai wewenang

untuk itu.



Pasal 181



(1) Hakim ketua sidang memperlihatkan kepada terdakwa segala barang bukti dan

menanyakan kepadañya apakah Ia mengenal benda itu dengan memperhatikan ketentuan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 undang-undang ini.



(2) Jika perlu benda itu diperlihatkan juga oleh hakim ketua sidang kepada saksi.



(3) Apabila dianggap perlu untuk pembuktian, hakim ketua sidang membacakan atau

memperlihatkan surat atau berita acara kepada terdakwa atau saksi dan selanjutnya minta

keterangan seperlunya tentang hal itu.



Pasal 182



(1) a.Setelah pemeriksaan dinyatakan selesai, penuntut umum mengajukan tuntutan pidana;



b.Selanjutnya terdakwa dan atau penasihat hukum mengajukan pembelaannya yang dapat

dijawab oleh penuntut umum, dengan ketentuan bahwa terdakwa atau penasihat hukum selalu

mendapat giliran terakhir.



c.Tuntutan, pembelaan dan jawaban atas pembelaan dilakukan secara tertulis dan setelah

dibacakan segera diserahkan kepada hakim ketua sidang dan turunannya kepada pihak yang

berkepentingan.



(2) Jika acara tersebut pada ayat (1) telah selesai, hakim ketua sidang menyatakan bahwa

pemeriksaan dinyatakan ditutup, dengan ketentuan dapat membukanya sekali lagi, baik atas

kewenangan hakim ketua sidang karena jabatannya, maupun atas permintaan penuntut umum

atau terdakwa atau penasihat hukum dengan memberikan alasannya.


53
(3) Sesudah itu hakim mengadakan musyawarah terakhir untuk mengambil keputusan dan

apabila perlu musyawarah itu diadakan setelah terdakwa, saksi, penasihat hukum, penuntut

umum dan hadirin meninggalkan ruangan sidang.



(4) Musyawarah tersebut pada ayat (3) harus didasarkan atas surat dakwaan dan segala

sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang.



(5) Dalam musyawarah tersebut, hakim ketua majelis mengajukan pertanyaan dimulai dari

hakim yang termuda sampai hakim yang tertua, sedangkan yang terakhir mengemukakan

pendapatnya adalah hakim ketua majelis dan semua pendapat harus disertai pertimbangan

beserta alasannya.



(6) Pada asasnya putusan dalam musyawarah majelis merupakan hasil permufakatan bulat

kecuali jika hal itu setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai, maka

berlaku ketentuan sebagai berikut



a.putusan diambil dengan suara terbanyak;



b.jika ketentuan tersebut huruf a tidak juga dapat diperoleh, putusan yang dipilih adalah

pendapat hakim yang paling menguntungkan bagi terdakwa.



(7) Pelaksanaan pengambilan putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) dicatat dalam

buku himpunan putusan yang disediakan khusus untuk keperluan itu dan isi buku tersebut

sifatnya rahasia.



(8) Putusan pengadilan negeri dapat dijatuhkan dan diumumkan pada hari itu juga atau pada

hari lain yang sebelumnya harus diberitahukan kepada penuntut umum, terdakwa atau

penasihat hukum.



BAB XVI



PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN



Bagian Keempat

Pembuktian dan Putusan

Dalam Acara Pemeriksaan Biasa



Pasal 183



Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-

kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana

benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.



Pasal 184



(1) Alat bukti yang sah ialah:



a.keterangan saksi;


54
b.keterangan ahli;



c.surat;



d.petunjuk;



e.keterangan terdakwa.



(2) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.



Pasal 185



(1) Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan.



(2) Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah

terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya.



(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila disertai dengan

suatu alat bukti yang sah lainnya.



(4) Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau

keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu

ada .hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan

adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu.



(5) Baik pendapat maupun rekàan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan

keterangan saksi.



(6) Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus dengan sungguh-

sungguh memperhatikan



a. persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain;



b .persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain;



c. alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang

tertentu;



d. cara hidup dan kesusilaán saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat

mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.



(7) Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain tidak

merupakan alat bukti namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari saksi yang

disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain.



Pasal 186



Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan.



Pasal 187


55
Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau

dikuatkan dengan sumpah, adalah:



a.berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang

berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang

kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai

dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;



b.surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang

dibuat oleh pejabat mengenal hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi

tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu

keadaan;



c.surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya

mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dan padanya;



d.surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat

pembuktian yang lain.



Pasal 188



(1) Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik

antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan

bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.



(2) Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari ;



a.keterangan saksi;



b. surat;



c.keterangan terdakwa.



(3) Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu

dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan

penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya.



Pasal 189



(1) Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang

ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.



(2) Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu

menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah

sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.



(3) Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri.



(4) Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan

perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertal dengan alat bukti yang lain.


56
Pasal 190



a. Selama pemeriksaan di sidang, jika terdakwa tidak ditahan, pengadilan dapat

memerintahkan dengan surat penetapannya untuk menahan terdakwa apabila dipenuhi

ketentuan Pasal 21 dan terdapat alasan cukup untuk itu.



b. Dalam hal terdakwa ditahan, pengadilan dapat memerintahkan dengan surat penetapannya

untuk membebaskan terdakwaa jika terdapat alasan cukup untuk itu dengan mengingat

ketentuan Pasal 30.



Pasal 191



(1) Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa

atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka

terdakwa dakwa diputus bebas.



(2) Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan képada terdakwa terbukti,

tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari

segala tuntutan hukum.



(3) Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), terdakwa yang ada dalam

status tahanan diperintahkan untuk dibebaskan seketika itu juga kecuali karena ada alasan lain

yang sah terdakwa perlu ditahan.



Pasal 192



(1) Perintah untuk membebaskan terdakwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 191 ayat (3)

segera dilaksanakan oleh jaksa sesudah putusan diucapkan.



(2) Laporan tertulis mengenai pelaksanaan perintah tersebut yang dilampiri surat penglepasan,

disampaikan kepada ketua pengadilan yang bersangkutan selambat-lambatnya dalam waktu

tiga kali dua puluh empat jam.



Pasal 193



(1) Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang

didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana.



(2) a.Pengadilan dalam menjatuhkan putusan, jika terdakwa tidak ditahan, dapat

memerintahkan supaya terdakwa tersebut ditahan, apabila dipenuhi ketentuan Pasal 21 dasi

terdapat alasan cukup untuk itu.



b.Dalam hal terdakwa ditahan, pengadilan dalam menjatuhkan putusannya, dapat menetapkan

terdakwa tetap ada dalam tahanan atau membebaskannya, apabila terdapat alasan cukup

untuk itu.



Pasal 194



(1) Dalam hal putusan pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum,

pengadilan menetapkan supaya barang bukti yang disita diserahkan kepada pihak yang paling


57
berhak menerima kembali yang namanya tercantum dalam putusan tersebut kecuali jika

menurut ketentuan undang-undang barang bukti itu harus dirampas untuk kepentingan negara

atau dimusnahkan atau dirusak sehingga tidak dapat dipergunakan lagi.



(2) Kecuali apabila terdapat alasan yang sah, pengadilan menetapkan supaya barang bukti

diserahkan segera sesudah sidang selesai.



(3) Perintah penyerahan barang bukti dilakukan tanpa disertai sesuatu syarat apapun kecuali

dalam hal putusan pengadilan belum mempunyai kekuatan hukum tetap.



Pasal 195



Semua putusan pengadilan. hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan di

sidang terbuka untuk umum.



Pasal 196



(1) Pengadilan memutus perkara dengan hadirnya terdakwa kecuali dalam hal undang-undang

ini menentukan lain.



(2) Dalam hal terdapat Iebih dari seorang terdakwa dalam satu perkara, putusan dapat

diucapkan dengan hadirnya terdakwa yang ada.



(3) Segera sesudah putusan pemidanaan diucapkan, bahwa hakim ketua sidang wajib

memberitahukan kepada terdakwa tentang segala apa yang menjadi haknya, yaitu:



a. hak segera menerima atau. segera menolak putusan;



b. hak mempelajari putusan sebelum menyatakan menerima atau menolak putusan,

dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang ini;



c. hak minta menangguhkan pelaksanaan putusan dalam tenggang waktu yang

ditentukan oleh undang-undang untuk dapat mengajukan grasi, dalam hal ia menerima

putusan;



d. hak minta diperiksa perkaranya dalam tingkat banding dalam tenggang waktu yang

ditentukan oleh undang-undang ini, dalam hal Ia menolak putusan;



e. hak mencabut pernyataan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dalam tenggang

waktu yang ditentukan oleh undang-undang ini.



Pasal 197



(1)Surat putusan pemidanaan memuat:



a.kepala putusan yang dituliskan berbunyi : "DEMI KEADILAN BERDASARKAN

KETUHANAN YANG MAHA ESA";



b. nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan,

tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa;


58
c. dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan;



d. pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat

pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan

kesalahan terdakwa,



e. tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan;



f. pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan

dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan,

disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa;



g. hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara diperiksa

oleh hakim tunggal;



h. pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam

rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan

yang dijatuhkan;



i. ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya

yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti;



j. keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan di mana Ietaknya

kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu;



k. perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan;



l.hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus dan

nama panitera;



(2) Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, j, k dan I pasal inii

mengakibatkan putusan batal demi hukum.



(3) Putusan dilaksanakan dengan segera menurut ketentuan dalam undang-undang ini.



Pasal 198



(1) Dalam hal seorang hakim atau penuntut umum berhalangan, maka ketua pengadilan atau

pejabat kejaksaan yang berwenang wajib segera menunjuk pengganti pejabat yang

berhalangan tersebut.



(2) Dalam hal penasihat hukum berhalangan, ia menunjuk penggantinya dan apabila pengganti

ternyata tidak ada atau juga berhalangan, maka sidang berjalan terus.



Pasal 199



(1) Surat putusan bukan pemidanaan memuat :



a. ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 197 ayat (1) kecuali huruf e, f dan h;


59
b. pernyataan bahwa terdakwa diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum,

dengan menyebutkan alasan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi

dasar putusan;



c. perintah supaya terdakwa segera dibebaskan jika Ia ditahan.



(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 197 ayat (2) dan ayat (3) berlaku juga bagi

pasal ini.



Pasal 200



Surat putusan ditandatangani oleh hakim dan panitera seketika setelah putusan itu diucapkan.



Pasal 201



(1) Dalam hal terdapat surat palsu atau dipalsukan, maka panitera melekatkan petikan putusan

yang ditandatanganinya pada surat tersebut yang memuat keterangan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 197 ayat (1) huruf j dan surat palsu atau yang dipalsukan tersebut diberi catatan

dengan menunjuk pada petikan putusan itu.



(2) Tidak akan diberikan.salinan pertama atau salinan dari surat asli palsu atau yang

dipalsukan kecuali panitera sudah membubuhi catatan pada catatan sebagaimana dimaksud

dalam ayat (1) disertai dengan salinan petikan putusan.



Pasal 202



(1) Panitera membuat berita acara sidang dengan memperhatikan persyaratan yang diperlukan

dan memuat segala kejadan di sidang yang berhubungan dengan pemeriksaan itu.



(2) Berita acara sidang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memuat juga hal yang penting

dari keterangan saksi, terdakwa dan ahli kecuali jika hakim ketua sidang menyatakan bahwa

untuk ini cukup ditunjuk kepada keterangan dalam berita acara pemeriksaan dengan menyebut

perbedaan yang terdapat antara yang satu dengan lainnya.



(3) Atas permintaan penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukum, hakim ketua sidang

wajib memerintahkan kepada panitera supaya dibuat catatan secara khusus tentang suatu

keadaan atau keterangan.



(4) Berita acara sidang ditandatangani oleh hakim ketua sidang dan panitera kecuali apabila

salah seorang dari mereka berhalangan, maka hal itu dinyatakan dalam berita acara tersebut.



BAB XVI



PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN



Bagian Kelima

Acara Pemeriksaan Singkat



Pasal 203


60
(I) Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan singkat ialah perkara kejahatan atau

pelanggaran yang tidak termasuk ketentuan Pasal 205 dan yang menurut penuntut umum

pembuktian serta penerapan hukumnya mudah dan sifatnya sederhana.



(2) Dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), penuntut umum menghadapkan

terdakwa beserta saksi, ahli, juru babasa dan barang bukti yang diperlukan.



(3) Dalam acara ini berlaku ketentuan dalam Bagian Kesatu, Bagian Kedua dan Bagian Ketiga

Bab ini sepanjang peraturan itu tidak bertentangan dengan ketentuan di bawah ini:



a. 1. penuntut umum dengan segera setelah terdakwa di sidang menjawab segala

pertanyaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 155 ayat (1) memberitahukan dengan

lisan dari catatannya kepada terdakwa tentang tindak pidana yang didakwakan

kepadanya dengan menerangkan waktu, tempat dan keadaan pada waktu tindak

pidana itu dilakukan;

2.pemberitahuan ini dicatat dalam berita acara sidang dan merupakan pengganti

surat dakwaan;



b. dalam hal hakim memandang perlu pemeriksaan tambahan, supaya diadakan pemeriksaan

tambahan dalam waktu paling lama empat belas hari dan bilamana dalam waktu tersebut

penuntut umum belum juga dapat menyelesaikan pemeriksaan tambahan, maka hakim

memerintahkan perkara itu diajukan ke sidang pengadilan dengan acara biasa;



c. guna kepentingan. pembelaan, maka atas permintaan terdakwa dan atau penasihat hukum,

hakim dapat menunda pemeriksaan paling lama tujuh hari;



d. putusan tidak dibuat secara khusus, tetapi dicatat dalam berita acara sidang;



e. hakim memberikan surat yang memuat amar putusan tersebut;



f. isi surat tersebut mempunyai kekuatan hukum yang sama seperti putusan pengadilan dalam

acara biasa.



Pasal 204



Jika dari pemeriksaan di sidang sesuatu perkara yang diperiksa de.ngan acara singkat ternyata

sifatnya jelas dan ringan, yang seharusnya diperiksa dengan acara cepat, maka hakim dengan

persetujuan terdakwa dapat melanjutkan pemeriksaan tersebut.



BAB XVI



PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN



Bagian Keenam

Acara Pemeriksaan Cepat

Paragraf 1

Acara Pemeriksaan Tindak Pidana Ringan


61
Pasal 205



(1) Yang diperiksa rnenurut acara pemeriksaan tindak pidana ringan ialah perkara yang

diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan dan atau denda

sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah dan penghinaan ringan kecuali yang

ditentukan dalam Paragraf 2 Bagian ini.



(2) Dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), penyidik atas kuasa penuntut umum,

dalam waktu tiga hari sejak berita acara pemeriksaan selesai dibuat, menghadapkan terdakwa

beserta barang bukti, saksi, ahli dan atau juru bahasa ke sidang pengadilan.



(3) Dalam acara pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pengadilan mengadili

dengan hakim tunggal pada tingkat pertama dan terakhir, kecuali dalam hal dijatuhkan pidana

perampasan kemerdekaan terdakwa dapat minta banding.



Pasal 206



Pengadilan menetapkan hari tertentu dalam tujuh hari untuk mengadili perkara dengan acara

pemeriksaan tindak pidana ringan.



Pasal 207



(I) a. Penyidik memberitahukan secara tertulis kepada terdakwa tentang hari, tanggaI, jam dan

tempat ia harus menghadap sidang pengadilan dan hal tersebut dicatat dengan baik oleh

penyidik, selanjutnya catatan bersama berkas dikirim ke pengadilan.



b. Perkara dengan acara pemeriksaan tindak pidana ringan yang diterima harus segera

disidangkan pada hari sidang itu juga.



(2) a.Hakim yang bersangkutan memerintahkan panitera mencatat dalam buku register semua

perkara yang diterimanya.



b. Dalam buku register dimuat nama Iengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis

kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa serta apa yang

didakwakan kepadanya.



Pasal 208



Saksi dalam acara pemeriksaan tindak pidana ringan tidak mengucapkan sumpah atau janji

kecuali hakim menganggap perlu.



Pasal 209



(1) Putusan dicatat oleh hakim dalam daftar catatan perkara dan seIanjutnya oleh panitera

dicatat dalam buku register serta ditandatangani oleh hakim yang bersangkutan dan panitera.



(2) Berita acara pemeriksaan sidang tidak dibuat kecuali jika dalam pemeriksaan tersebut

ternyata ada hal yang tidak sesuai dengan berita acara pemeriksaan yang dibuat oleh penyidik.


62
Pasal 210



Ketentuan dalam Bagian Kesatu, Bagian Kedua dan Bagian Ketiga Bab ini tetap berlaku

sepanjang peraturan itu tidak bertentangan dengan Paragraf ini. Paragraf 2 Acara

Pemeriksaan Perkara Pelanggaran Lalu Lintas Jalan



Pasal 211



Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan pada Paragraf ini ialah perkara pelanggaran

tertentu terhadap peraturan perundang-undangan lalu lintas jalan.



Pasal 212



Untuk perkara pelanggaran lalu lintas jalan tidak diperlukan berita acara pemeriksaan, oleh

karena itu catatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 207 ayat (1) huruf a segera diserahkan

kepada pengadilan selambat-lambatnya pada kesempatan hari sidang pertama berikutnya.



Pasal 213



Terdakwa dapat menunjuk seorang dengan surat untuk mewakilinya di sidang.



Pasal 214



(I) Jika terdakwa atau wakilnya tidak hadir di sidang, pemeriksaan perkara dilanjutkan.



(2) Dalam hal putusan diucapkan di luar hadirnya terdakwa, surat amar putusan segera

disampaikan kepada terpidana.



(3) Bukti bahwa surat amar putusan telah disampaikan oleh penyidik kepada terpidana,

diserahkan kepada panitera untuk dicatat dalam buku register.



(4) Dalam hal putusan dijatuhkan di luar hadirnya terdakwa dan putusan itu berupa pidana

perampasan kemerdekaan, terdakwa dapat mengajukan perlawanan



(5) Dalam waktu tujuh hari sesudah putusan diberitahukan secara sah kepada terdakwa, ia

dapat mengajukan perlawanan kepada pengadilan yang menjatuhkan putusan itu.



(6) Dengan perlawanan itu putusan di luar hadirnya terdakwa menjadi gugur.



(7) Setelah panitera memberitahukan kepada penyidik tentang perlawanan itu hakim

menetapkan hari sidang untuk memeriksa kembali perkara.



(8) Jika putusan setelah diajukannya perlawanan tetap berupa pidana sebagaimana dimaksud

dalam ayat (4), terhadap putusan tersebut terdakwa dapat mengajukan banding.



Pasal 215



Pengembalian benda sitaan dilakukan tanpa syarat kepada yang paling berhak, segera setelah

putusan dijatuhkan jika terpidana telah memenuhi isi amar putusan.


63
Pasal 216



Ketentuan dalam Pasal 210 tetap berlaku sepanjang peraturan itu tidak bertentangan dengan

Paragraf ini.



BAB XVI



PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN



Bagian Ketujuh

Pelbagai Ketentuan



Pasal 217



(1) Hakim ketua sidang memimpin pemeriksaan dan memelihara tata tertib di persidangan.



(2)Segala sesuatu yang diperintahkan oleh hakim ketua sidang untuk memelihara tata tertib di

persidangan wajib dilaksanakan dengan segera dan cermat.



Pasal 218



(1) Dalam ruang sidang siapapun wajib menunjukkan sikap hormat kepada pengadilan.



(2)Siapa pun yang di sidang pengadilan bersikap tidak sesuai dengan martabat pengadilan dan

tidak mentaati tata tertib setelah mendapat peringatan dari hakim ketua sidang, atas

perintahnya yang bersangkutan di keluarkan dari ruang sidang.



(3) Dalam hal pelanggaran tata tertib sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) bersifat suatu

tindak pidana, tidak mengurangi kemungkinan dilakukan penuntutan terhadap pelakunya.



Pasal 219



(1) Siapa pun dilarang membawa senjata api, senjata tajam, bahan peledak atau alat maupun

benda yang dapat membahayakan keamanan sidang dan siapa yang membawanya wajib

menitipkan di tempat yang khusus disediakan untuk itu.



(2) Tanpa surat perintah, petugas keamanan pengadilan karena tugas jabatannya dapat

mengadakan penggeledahan badan untuk menjamin bahwa kehadiran seorang di ruang

sidang tidak membawa senjata, bahan atau alat maupun benda sebagaimana dimaksud dalam

ayat (1) dan apabila terdapat maka petugas mempersilahkan yang bersangkutan untuk

menitipkannya.



(3). Apabila yang bersangkutan bermaksud meninggalkan ruang sidang, maka petugas wajib

menyerahkan kembali benda titipannya.



(4) Ketentuan ayat (1) dan ayat (2) tidak mengurangi kemungkinan untuk dilakukan penuntutan

bila ternyata bahwa penguasaan atas benda tersebut bersifat suatu tindak pidana.


64
Pasal 220



(1) Tiada seorang hakim pun diperkenankan mengadili suatu perkara yang ia sendiri

berkepentingan, baik langsung maupun tidak langsung.



(2) Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hakim yang bersangkutan, wajib

mengundurkan diri baik atas kehendak sendiri maupun atas permintaan penuntut umum,

terdakwa atau penasihat hukumnya.



(3) Apabila ada keraguan atau perbedaan pendapat mengenai hal sebagaimana dimaksud

dalam ayat (1), maka pejabat pengadilan yang berwenang yang menetapkannya.



(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam makna ayat tersebut di atas berlaku juga bagi

penuntut umum.



Pasal 221



Bila dipandang perlu hakim di sidang atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan

terdakwa atau penasihat hukumnya dapat memberi penjelasan tentang hukum yang berlaku.



Pasal 222



(l) Siapa pun yang diputus pidana dibebani membayar biaya perkara dan dalam hal putusan

bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, biaya perkara dibebankan pada negara.



(2) Dalam hal terdakwa sebelumnya telah mengajukan permohonan pembebasan dari

pembayaran biaya perkara berdasarkan syarat tertentu dengan persetujuan pengadilan, biaya

perkara dibebankan pada negara.



Pasal 223



(1) Jika hakim memberi perintah kepada seorang untuk mengucapkan sumpah atau janji di luar

sidang, hakim dapat menunda pemeriksaan perkara sampai pada hari sidang yang lain.



(2) Dalam hal sumpah atau janji dilakukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), hakim

menunjuk panitera untuk menghadiri pengucapan sumpah atau janji tersebut dan membuat

berita acaranya.



Pasal 224



Semua surat putusan pengadilan disimpan dalam arsip pengadilan yang mengadili perkara itu

pada tingkat pertama dan tidak boleh dipindahkan kecuali undang-undang nienentukan lain.



Pasal 225



(1) Panitera menyelenggarakan buku daftar untuk semua perkara.



(2) Dalam buku daftar itu dicatat nama dan identitas terdakwa, tindak pidana yang didakwakan,

tanggal penerimaan perkara, tanggal terdakwa mulai ditahan apabila ia ada dalam tahanan,

tanggal dan isi putusan secara singkat, tanggal penerimaan permintaan dan putusan banding


65
atau kasasi, tanggal permohonan serta pemberian grasi, amnesti, abolisi atau rehabilitasi, dan

lain hal yang erat hubungannya dengan proses perkara.



Pasal 226



(1) Petikan surat putusan pengadilan diberikan kepada terdakwa atau penasihat hukumnya

segera setelah putusan diucapkan.



(2) Salinan surat putusan pengadilan diberikan kepada penuntut umum dan penyidik,

sedangkan kepada terdakwa atau penasihat hukumnya diberikan atas permintaan.



(3) Salinan surat putusan pengadilan hanya boleh diberikan kepada orang lain dengan seizin

ketua pengadilan setelah mempertimbangkan kepentingan dan permintaan tersebut.



Pasal 227



(1) Semua jenis pemberitahuan atau panggilan oleh pihak yang berwenang dalam semua

tingkat pemeriksaan kepada terdakwa, saksi atau ahli disampaikan selambat-lambatnya tiga

hari sebelum tanggal hadir yang ditentukan, ditempat tinggal mereka atau di tempat kediaman

mereka terakhir.



(2) Petugas yang melaksanakan panggilan tersebut harus bertemu sendiri dan berbicara

langsung dengan orang yang dipanggil dan membuat catatan bahwa panggilan telah diterima

oleh yang bersangkutan dengan membubuhkan tanggal serta tandatangan, baik oleh petugas

maupun orang yang dipanggil dan apabila yang dipanggil tidak menandatangani maka petugas

harus mencatat alasannya.



(3) Dalam hal orang yang dipanggil tidak terdapat di salah satu termpat sebagaimana

dirnaksud dalam ayat (1), surat panggilan disampaikan melalui kepala desa atau pejabat dan

jika di luar negeri melalui perwakilan Republik Indonesia di tempat di mana orang yang

dipanggil biasa berdiam dan apabila masih belum juga berhasil disampaikan, maka surat

panggilan ditempelkan di tempat pengumuman kantor pejabat yang mengeluarkan panggilan

tersebut.



Pasal 228



Jangka atau tenggang waktu menurut undang-undang ini mulai diperhitungkan pada hari

berikutnya.



Pasal 229



(1) Saksi atau ahli yang teIah hadir memenuhi panggilan dalam rangka memberikan

keterangan di semua tingkat pemeriksaan, berhak mendapat penggantian biaya menurut

peraturan perundang-undangan yang berlaku.



(2) Pejabat yang melakukan pemanggilan wajib memberitahukan kepada saksi atau ahli

tentang haknya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).



Pasal 230


66
(1) Sidang pengadilan dilangsungkan di gedung pengadilan dalam ruang sidang.



(2) Dalam ruang sidang, hakim, penuntut umum, penasihat hukum dan panitera mengenakan

pakaian sidang dan atribut masing-masing.



(3) Ruang sidang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditata menurut ketentuan sebagai

berikut:



a. tempat meja dan kursi hakim terletak lebih tinggi dari tempat penuntut umum, terdakwa,

penasihat hukum dan pengunjung;



b. tempat panitera terletak di belakang sisi kanan tempat hakim ketua sidang;



c. tempat penuntut umum terletak di sisi kanan depan tempat hakim;



d. tempat terdakwa dan penasihat hukum terletak di sisi kiri depan dari tempat hakim dan

tempat terdakwa di sebelah kanan tempat penasihat hukum;



e. tempat kursi pemeriksaan terdakwa dan saksi terletak di depan tempat hakim;



f. tempat saksi atau ahli yang telah didengar terletak di belakang kursi pemeriksaan;



g. tempat pengunjung terletak di belakang tempat saksi yang telah didengar;



h. bendera Nasional ditempatkan di sebelah kanan meja hakim dan panji Pengayoman

ditempatkan di sebelah kiri meja hakim sedangkan lambang Negara ditempatkan pada dinding

bagian atas di belakang meja hakim;



i. tempat rohaniwan terletak di sebelah kiri tempat panitera;



j tempat sebagaimana dimaksud huruf a sampai huruf i diberi tanda pengenal;



k. tempat petugas keamanan dibagian pintu masuk utama ruang sidang dan ditempat lain yang

dianggap perlu.



(4) Apabila sidang pengadilan dilangsungkan diluar gedung pengadilan, maka tata tempat

sejauh mungkin disesuaikan dengan ketentuan ayat (3) tersebut diatas.



(5) Dalam hal ketentuan ayat (3) tidak mungkin dipenuhi maka sekurang-kurangnya bendera

nasional harus ada.



Pasal 231



(1) Jenis, bentuk dan warna pakaian sidang serta atribut yang berhubungan dengan perangkat

kelengkapan sebagaimana dimaksud dalam pasal 230 ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan

peraturan pemerintah.



(2) Pengaturan lebih lanjut tata tertib persidangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 217

ditetapkan dengan keputusan Menteri Kehakiman.


67
Pasal 232



(1) Sebelum sidang dimulai, panitera, penuntut umum, penasihat hukum dan pengunjung yang

sudah ada, duduk ditempatnya masing-masing dalam ruang sidang.



(2) Pada saat hakim memasuki dan meninggalkan ruang sidang semua yang hadir berdiri

untuk menghormat.



(3) Selama sidang berlangsung setiap orang yang keluar masuk ruang sidang diwajibkan

memberi hormat.



BAB XVII



UPAYA HUKUM BIASA



Bagian Kesatu

Pemeriksaan Tingkat Banding



Pasal 233



(1) Permintaan banding sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 dapat diajukan ke pengadilan

tinggi oleh terdakwa atau yang khusus dikuasakan untuk itu atau penuntut umum.



(2) Hanya permintaan banding sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) boleh diterima oleh

panitera pengadilan negeri dalam waktu tujuh hari sesudah putusan dijatuhkan atau setelah

putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir sebagaimana dimaksud dalam Pasal

196 ayat (2).



(3) Tentang permintaan itu oleh panitera dibuat sebuah surat keterangan yang ditandatangani

olehnya dan juga oleh pemohon serta tembusannya diberikan kepada pemohon yang

bersangkutan.



(4) Dalam hal pemohon tidak dapat rnenghadap, hal ini harus dicatat oleh panitera dengan

disertai alasannya dan catatan harus dilampirkan dalam berkas perkara serta juga ditulis dalam

daftar perkara pidana.



(5) Dalam hal pengadilan negeri menerima permintaan banding, baik yang diajukan oleh

penuntut umum atau terdakwa maupun yang diajukan oleh penuntut umum dan terdakwa

sekaligus, maka panitera wajib memberitahukan permintaan dari pihak yang satu kepada pihak

yang lain.



Pasal 234



(1) Apabila tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 233 ayat (2) telah lewat

tanpa diajukan permintaan banding oleh yang bersangkutan, maka yang bersangkutan

dianggap menenima putusan.


68
(2) Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka panitera mencatat dan membuat

akta mengenai hal itu serta melekatkan akta tersebut pada berkas perkara.



Pasal 234



(1) Selama perkara banding belum diputus oleh pengadilan tinggi, permintaan banding dapat

dicabut sewaktu-waktu dan dalam hal sudah dicabut, permintaan banding dalam perkara itu

tidak boleh diajukan lagi.



(2) Apabila perkara telah mulai diperiksa akan tetapi belum diputus sedangkan sementara itu

pemohon mencabut permintaan bandingnya, maka pemohon dibebani membayar biaya

perkara yang telah dikeluarkan oleh pengadilan tinggi hingga saat pencabutannya.



Pasal 236



(1) Selambat-lambatnya dalam waktu empat belas hari sejak permintaan banding diajukan,

panitera mengirimkan salinan putusan pengadilan negeri dan berkas perkara serta surat bukti

kepada pengadilan tinggi.



(2) Selama tujuh hari sebelum pengiriman berkas perkara kepada pengadilan tinggi, pemohon

banding wajib diberi kesempatan untuk mempelajari berkas perkara tersebut di pengadilan

negeri.



(3) Dalam hal pemohon banding yang dengan jelas menyatakan secara tertulis bahwa ia akan

mempelajari berkas tersebut di pengadilan tinggi, maka kepadanya wajib diberi kesempatan

untuk itu secepatnya tujuh hari setelah berkas perkara diterima oleh pengadilan tinggi,



(4) Kepada setiap pemohon banding wajib diberi kesempatan untuk sewaktu-waktu meneliti

keaslian berkas perkaranya yang sudah ada di pengadilan tinggi.



Pasal 237



Selama pengadilan tinggi belum mulai memeriksa suatu perkara dalam tingkat banding, baik

terdakwa atau kuasanya maupun penuntut umum dapat menyerahkan memori banding atau

kontra memori banding kepada pengadilan tinggi.



Pasal 238



(1) Pemeriksaan dalam tingkat banding dilakukan oleh pengadilan tinggi dengan sekurang-

kurangnya tiga orang hakim atas dasar berkas perkara yang diterima dari pengadilan negeri

yang terdiri dari berita acara pemeriksaan dan penyidik, berita acara pemeriksaan di sidang

pengadilan negeri, beserta semua surat yang timbul di sidang yang berhubungan dengan

perkara itu dan putusan pengadilan negeri.



(2) Wewenang untuk menentukan penahanan beralih ke pengadilan tinggi sejak saat

diajukannya permintaan banding.



(3) Dalam waktu tiga hari sejak menerima berkas perkara banding dari pengadilan negeri,

pengadilan tinggi wajib mempelajarinya untuk menetapkan apakah terdakwa perlu tetap

ditahan atau tidak, baik karena wewenang jabatannya maupun atas permintaan terdakwa.


69
(4) Jika dipandang perlu pengadilan tinggi mendengar sendiri keterangan terdakwa atau saksi

atau penuntut umum dengan menjelaskan secara singkat dalam surat panggilan kepada

mereka tentang apa yang ingin diketahuinya.



PasaI 239



(1) Ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 157 dan Pasal 220 ayat (1), ayat (2) dan ayat

(3) berlaku juga bagi pemeriksaan perkara dalam tingkat banding.



(2) Hubungan keluarga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 157 ayat (1) berlaku juga antara

hakim dan atau panitera tingkat banding, dengan hakim atau panitera tingkat pertama yang

telah mengadili perkara yang sama.



(3) Jika seorang hakim yang memutus perkara dalam tingkat pertama kemudian tekah menjadi

hakim pada pengadilan tinggi, maka hakim tersebut dilarang memeriksa perkara yang sama

dalam tingkat banding.



Pasal 240



(1) Jika pengadilan tinggi berpendapat bahwa dalam pemeriksaan tingkat pertama ternyata

ada kelalaian dalam pénerapan hukum acara atau kekeliruan atau ada yang kurang lengkap,

maka pengadilan tinggi dengan suatu keputusan dapat memerintahkan pengadilan negeri

untuk memperbaiki hal itu atau pengadilan tinggi melakukannya sendiri.



(2) Jika perlu pengadilan tinggi dengan keputusan dapat membatalkan penetapan dari

pengadilan negeri sebelum putusan pengadilan tinggi dijatuhkan.



Pasal 241



(1) Setelah semua hal sebagaimana dimaksud dalam ketentuan tersebut di atas

dipertimbangkan dan dilaksanakan, pengadilan tinggi memutuskan, menguatkan atau

mengubah atau dalam hal membatalkan putusan pengadilan negeri, pengadilan tinggi

mengadakan putusan sendiri.



(2) Dalam hal pembatalan tersebut terjadi atas putusan pengadilan negeri karena ia tidak

berwenang memeriksa perkara itu, maka berlaku ketentuan tersebut pada Pasal 148.



Pasal 242



Jika dalam pemeriksaan tingkat banding terdakwa yang dipidana itu ada dalam tahanan, maka

pengadilan tinggi dalam putusannya memerintahkan supaya terdakwa perlu tetap ditahan atau

dibebaskan.



Pasal 243



(1) Salinan surat putusan pengadilan tinggi beserta berkas perkara dalam waktu tujuh hari

setelah putusan tersebut dijatuhkan, dikirim kepada pengadilan negeri yang memutus pada

tingkat pertama.


70
(2) Isi surat putusan setelah dicatat dalam buku register segera diberitahukan kepada terdakwa

dan penuntut umum oleh panitera pengadilan negeri dan selanjutnya pemberitahuan tersebut

dicatat dalam salinan surat putusan pengadilan tinggi.



(3) Ketentuan mengenai putusan pengadilan negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 226

berlaku juga bagi putusan pengadilan tinggi.



(4) Dalam hal terdakwa bertempat tinggal di luar daerah hukum pengadilan negeri tersebut,

panitera minta bantuan kepada panitera pengadilan negeri yang dalam daerah hukumnya

terdakwa bertempat tinggal untuk memberitahukan isi surat putusan itu kepadanya.



(5) Dalam hal terdakwa tidak diketahui tempat tinggalnya atau bertempat tinggal di luar negeri,

maka isi surat putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) disampaikan melalui kepala

desa atau pejabat atau melalui perwakilan Republik Indonesia, di mana terdakwa biasa

berdiam dan apabila masih belum juga berhasil disampaikan, terdakwa dipanggil dua kali

berturut-turut melalui dua buah surat kabar yang terbit dalam daerah hukum pengadilan negeri

itu sendiri atau daerah yang berdekatan dengan daerah itu.



BAB XVI



UPAYA HUKUM BIASA



Bagian Kedua

Pemeriksaan Untuk Kasasi



Pasal 244



Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain

selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan

permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas.



Pasal 245



(1) Permohonan kasasi disampaikan oleh pemohon kepada panitera pengadilan yang telah

memutus perkaranya dalam tingkat pertama, dalam waktu empat belas hari sesudah putusan

pengadilan yang dimintakan kasasi itu diberitahukan kepada terdakwa.



(2) Permintaan tersebut oleh panitera ditulis dalam sebuah surat keterangan yang

ditandatangani oleh panitera serta pemohon, dan dicatat dalam daftar yang dilampirkan pada

berkas perkara.



(3) Dalam hal pengadilan negeri menerima permohonan kasasi, baik yang diajukan oleh

penuntut umum atau terdakwa maupun yang diajukan oleh penuntut umum dan terdakwa

sekaligus, maka panitera wajib memberitahukan permintaan dari pihak yang satu kepada pihak

yang lain.



Pasal 246


71
(1) Apabila tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 245 ayat (1) telah lewat

tanpa diajukan permohonan kasasi oleh yang bersangkutan, maka yang bersangkutan

dianggap menerima putusan.



(2) Apabila dalam tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). pemohon terlambat

mengajukan permohonan kasasi maka hak untuk itu gugur.



(3) Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau ayat (2), maka panitera mencatat

dan membuat akta mengenai hal itu serta melekatkan akta tersebut pada berkas perkara.



Pasal 247



(1) Selama perkara permohonan kasasi belum diputus oleh Mahkamah Agung, permohonan

kasasi dapat dicabut sewaktu-waktu dan dalam hal sudah dicabut, permohonan kasasi dalam

perkara itu tidak dapat diajukan lagi.



(2) Jika pencabutan dilakukan sebelum berkas perkara dikirim ke Mahkamah Agung, berkas

tersebut tidak jadi dikirimkan.



(3) Apabila perkara telah mulai diperiksa akan tetapi belum diputus, sedangkan sementara itu

pemohon mencabut permohonan kasasinya, maka pemohon dibebani membayar biaya

perkara yang telah dikeluarkan oleh Mahkamah Agung hingga saat pencabutannya.



(4) Permohonan kasasi hanya dapat dilakukan satu kali.



Pasal 248



(1) Pemohon kasasi wajib mengajukan memori kasasi yang memuat alasan permohonan

kasasinya dan dalam waktu empat belas hari setelah mengajukan permohonan tersebut, harus

sudah menyerahkannya kepada panitera yang untuk itu ia memberikan surat tanda terima.



(2) Dalam hal pemohon kasasi adalah terdakwa yang kurang memahami hukum, panitera pada

waktu menerima permohonan kasasi wajib menanyakan apakah alasan ia mengajukan

permohonan tersebut dan untuk itu panitera membuatkan memori kasasinya.



(3) Alasan yang tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) adalah sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 253 ayat (1) undang-undang ini.



(4) Apabila dalam tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemohon terlambat

menyerahkan memori kasasi maka hak untuk mengajukan permohonan kasasi gugur.



(5) Ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 246 ayat (3) berlaku juga untuk ayat (4) pasal

ini.



(6) Tembusan memori kasasi yang diajukan oleh salah satu pihak, oleh panitera disampaikan

kepada pihak lainnya dan pihak lain itu berhak mengajukan kontra memori kasasi.



(7) Dalam tenggang waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1), panitera menyampaikan

tembusan kontra memori kasasi kepada pihak yang semula mengajukan memori kasasi.


72
Pasal 249



(1) Dalam hal salah satu pihak berpendapat masih ada sesuatu yang perlu ditambahkan dalam

memori kasasi atau kontra memori kasasi, kepadanya diberikati kesempatan untuk

mengajukan tambahan itu dalam tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 248

ayat (1).



(2) Tambahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) di atas diserahkan kepada panitera

pengadilan.



(3) Selambat-lambatnya dalam waktu empat belas hari setelah tenggang waktu tersebut dalam

ayat (1), permohonan kasasi tersebut selengkapnya oleh panitera pengadilan segera

disampaikan kepada Mahkamah Agung.



Pasal 250



(1) Setelah panitera pengadilan negeri menerima memori dan atau kontra memori

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 248 ayat (1) dan ayat (4), Ia wajib segera mengirim

berkas perkara kepada Mahkamah Agung.



(2) Setelah panitera Mahkamah Agung menerima berkas perkara tersebut ia seketika

mencatatnya dalam buku agenda surat, buku register perkara dan pada kartu penunjuk.



(3) Buku register perkara tersebut pada ayat (2) wajib dikerjakan, ditutup dan ditandatangani

oleh panitera pada setiap hari kerja dan untuk diketahui ditandatangani juga karena jabatannya

oleh Ketua Mahkamah Agung.



(4) Dalam hal Ketua Mahkamah Agung berhalangan, maka penandatanganan dilakukan oleh

WakiI Ketua Mahkamah Agung dan jika keduanya berhalangan maka dengan surat keputusan

Ketua Mahkamah Agung ditunjuk hakim anggota yang tertua dalam jabatan.



(5) Selanjutnya panitera Mahkamah Agung mengeluarkan surat bukti penerimaan yang aslinya

dikirimkan kepada panitera pengadilan negeri yang bersangkutan, sedangkan kepada para

pihak dikirimkan tembusannya.



Pasal 251



(1) Ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 157 berlaku juga bagi perneriksaan perkara

dalam tingkat kasasi.



(2) Hubungan keluarga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 157 ayat (1) berlaku juga antara

hakim dan atau panitera tingkat kasasi dengan hakim dan atau panitera tingkat banding serta

tingkat pertama. yang telah mengadili perkara yang sama.



(3) Jika seorang hakim yang mengadili perkara dalam tingkat pertama atau tingkat banding,

kemudian telah menjadi hakim atau panitera pada Mahkamah Agung, mereka dilarang

bertindak sebagai hakim atau panitera untuk perkara yang sama dalam tingkat kasasi.



Pasal 252


73
(1) Ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 220 ayat (1) dan ayat (2) berlaku juga bagi

pemeriksaan perkara dalam tingkat kasasi.



(2) Apabila ada keraguan atau perbedaan pendapat mengenai hal Sebagaimana tersebut pada

ayat (1), maka dalam tingkat kasasi:



a. Ketua Mahkamah Agung karena jabatannya bertindak sebagai pejabat yang berwenang

menetapkan;



b. dalam hal menyangkut Ketua Mahkamah Agung sendiri, yang berwenang menetapkannya

adalah suatu panitia yang terdiri dari tiga orang yang dipilih oleh dan antar hakim anggota yang

seorang diantaranya harus hakim anggota yang tertua dalam jabatan.



Pasal 253



(1) Pemeriksaan dalam tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung atas permintaan para

pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 244 dan Pasal 248 guna menentukan



a. apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana

mestinya;



b. apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang;



c. apakab benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya.



(2) Pemeriksaan sebagaimana tersebut pada ayat (1) dilakukan dengan sekurang-kurangnya

tiga orang hakim atas dasar berkas perkara yang diterima dari pengadilan lain dari pada

Mahkamah Agung, yang terdiri dari berita acara pemeriksaan dari penyidik, berita acara

pemeriksaan di sidang, semua surat yang timbul di sidang yang berhubungan dengan perkara

itu beserta putusan pengadilan tingkat pertama dan atau tingkat terakhir.



(3) Jika dipandang perlu untuk kepentingan pemeriksaan sebagaimana tersebut pada ayat (1),

Mahkamah Agung dapat mendengar sendiri keterangan terdakwa atau saksi atau penuntut

umum, dengan menjelaskan secara singkat dalam surat panggilan kepada mereka tentang apa

yang ingin diketahuinya atau Mahkamah Agung dapat pula memerintahkan pengadilan

sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) untuk mendengar keterangan mereka, dengan cara

pemanggilan yang sama.



(4) Wewenang untuk menentukan penahanan beralih ke Mahkamah Agung sejak diajukannya

permohonan kasasi.



(5) a. Dalam waktu tiga hari sejak menerima berkas perkara kasasi sebagaimana dimaksud

dalam ayat (2) Mahkamah Agung Wajib mempelajarinya untuk menetapkan apakah terdakwa

perlu tetap ditahan atau tidak, baik karena wewenang jabatannya maupun atas permintaan

terdakwa.



b. Dalam hal terdakwa tetap ditahan, maka dalam waktu empat belas hari, sejak penetapan

penahanan Mahkarnah Agung wajib memeriksa perkara tersebut.



Pasal 254


74
Dalam hal Mahkamah Agung memeriksa permohonan kasasi karena telah memenuhi

ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 245, Pasal 246 dan Pasal 247, mengenai

hukumnya Mahkamah Agung dapat memutus menolak atau mengabulkan permohonan kasasi.



Pasal 255



(1) Dalam hal suatu putusan dibatalkan karena peraturan hukum tidak diterapkan atau

diterapkan tidak sebagaimana mestinya, Mahkamah Agung mengadili sendiri perkara tersebut.



(2) Dalam hal suatu putusan dibatalkan karena cara mengadili tidak dilaksanakan menurut

ketentuan undang-undang, Mahkamah Agung menetapkan disertai petunjuk agar pengadilan

yang memutus perkara yang bersangkutan memeriksanya lagi mengenai bagian yang

dibatalkan, atau berdasarkan alasan tertentu Mahkamah Agung dapat menetapkan perkara

tersebut diperiksa oleh pengadilan setingkat yang lain.



(3) Dalam hal suatu putusan dibatalkan karena pengadilan atau hakim yang bersangkutan

tidak berwenang mengadili perkara tersebut, Mahkamah Agung menetapkan pengadilan atau

hakim lain mengadili perkara tersebut.



Pasal 266



Jika Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal

254, Mahkamah Agung membatalkan putusan pengadilan yang dimintakan kasasi dan dalam

hal itu berlaku ketentuan Pasal 255.



Pasal 257



Ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 226 dan Pasal 243 berlaku juga bagi putusan

kasasi Mahkamah Agung, kecuali tenggang waktu tentang pengiriman salinan putusan beserta

berkas perkaranya kepada pengadilan yang memutus pada tingkat pertama dalam waktu tujuh

hari.



Pasal 258



Ketentuan sebagaimana tersebut pada Pasal 244 sampal dengan Pasal 257 berlaku bagi

acara permohonan kasasi terhadap putusan pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.



BAB XVIII



UPAYA HUKUM LUAR BIASA



Bagian Kesatu

Pemeriksaan Tingkat Kasasi Demi Kepentingan Hukum



Pasal 259


75
(1) Demi kepentingan hukum terhadap semua putusan yang telah memperoleh kekuatan

hukum tetap dari pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, dapat diajukan satu kali

permohonan kasasi oleh Jaksa Agung.



(2) Putusan kasasi demi kepentingan hukum tidak boleh merugikan pihak yang berkepentingan.



Pasal 260



(1) Permohonan kasasi demi kepentingan hukum disampaikan secara tertulis oleh Jaksa

Agung kepada Mahkamah Agung melalui panitera pengadilan yang telah memutus perkara

dalam tingkat pertama, disertai risalah yang memuat alasan permintaan itu.



(2) Salinan risalah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) oleh panitera segera disampaikan

kepada pihak yang berkepentingan.



(3) Ketua pengadilan yang bersangkutan segera meneruskan permintaan itu kepada

Mahkamah Agung.



Pasal 261



(1) Salinan putusan kasasi demi kepentingan hukum oleh Mahkamah Agung disampaikan

kepada Jaksa Agung dan kepada pengadilan yang bersangkutan dengan disertai berkas

perkara.



(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 243 ayat (2) dan ayat (4) berlaku juga

dalam hal ini.



Pasal 262



Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 259, Pasal 260, dan Pasal 261 berlaku bagi

acara permohonan kasasi demi kepentingan hukum terhadap putusan pengadilan dalam

lingkungan peradilan militer.



BAB XVIII



UPAYA HUKUM LUAR BIASA



Bagian Kedua

Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan

Yang Telah Mempunyai Kekuatan Hukum Tetap



Pasal 263



(1) Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali

putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat

mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.



(2) Permintaan peninjauan kembali dilakukan atas dasar:


76
a. apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu

sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas

atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat

diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan;



b. apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan

tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu,

ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain;



c. apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhiIafan hakim atau suatu

kekeliruan yang nyata.



(3) Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat (2) terhadap suatu putusan

pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan

peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah

dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan.



Pasal 264



(1) Permintaan peninjauan kembali oleh pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263

ayat (1) diajukan kepada panitera pengadilan yang telah memutus perkaranya dalam tingkat

pertama dengan menyebutkan secara jelas alasannya.



(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 245 ayat (2) berlaku juga bagi permintaan

peninjauan kembali.



(3) Permintaan peninjauan kembali tidak dibatasi dengan suatu jangka waktu.



(4) Dalam hal pemohon peninjauan kembali adalah terpidana yang kurang memahami hukum,

panitera pada waktu menerima permintaan peninjauan kembali wajib menanyakan apakah

alasan ia mengajukan permintaan tersebut dan untuk itu panitera membuatkan surat

permintaan peninjauan kembali.



(5) Ketua pengadilan segera mengirimkan surat permintaan peninjauan kembali beserta berkas

perkaranya kepada Mahkamah Agung, disertai suatu catatan penjelasan.



Pasal 265



(1) Ketua pengadilan setelah menerima permintaan peninjauan kembali sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 263 ayat (1) menunjuk hakim yang tidak memeriksa perkara semula

yang dimintakan peninjauan kembali itu untuk memeriksa apakah permintaan peninjauan

kembali tersebut memenuhi alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (2).



(2) Dalam pemeriksaan sebagaimana tersebut pada ayat (1), pemohon dan jaksa ikut hadir

dan dapat menyampaikan pendapatnya.



(3) Atas pemeriksaan tersebut dibuat berita acara pemeriksaan yang ditandatangani oleh

hakim, jaksa, pemohon dan panitera dan berdasarkan berita acara itu dibuat berita acara

pendapat yang ditandatangani oleh hakim dan panitera.


77
(4) Ketua pengadilan segera melanjutkan permintaan peninjauan kembali yang dilampiri berkas

perkara semula, berita acara pemeriksaan dan berita acara pendapat kepada Mahkamah

Agung yang tembusan surat pengantarnya disampaikan kepada pemohon dan jaksa.



(5) Dalam hal suatu perkara yang dimintakan peninjauan kembali adalah putusan pengadilan

banding, maka tembusan surat pengantar tersebut harus dilampiri tembusan berita acara

pemeriksaan serta berita acara pendapat dan disampaikan kepada pengadilan banding yang

bersangkutan.



Pasal 266



(1) Dalam hal permintaan peninjauan kembali tidak memenuhi ketentuan sebagaimana

tersebut pada Pasal 263 ayat (2), Mahkamah Agung menyatakan bahwa permintaan

peninjauan kembali tidak dapat diterima dengan disertai dasar alasannya



(2) Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permintaan peninjauan kembali dapat

diterima untuk diperiksa, berlaku ketentuan sebagai berikut:



a. apabila Mahkamah Agung tidak membenarkan alasan pemohon, Mahkamah Agung menolak

permintaan peninjauan kembali dengan menetapkan bahwa putusan yang dimintakan

peninjauan kembali itu tetap berlaku disertai dasar pertimbangannya;



b. apabila Mahkarnah Agung membenarkan alasan pemohon, Mahkamah Agung membatalkan

putusan yang dimintakan peninjauan kembali itu dan menjatuhkan putusan yang dapat berupa:



1. putusan bebas;



2. putusan lepas dari segala tuntutan hukum;



3. putusan tidak dapat menerima tuntutan penuntut umum;



4. putusan dengan menerapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.



(3) Pidana yang dijatuhkan dalam putusan peninjauan kembali tidak boleh melebihi pidana

yang telah dijatuhkan dalam putusan semula.



Pasal 267



(1) Salinan putusan Mahkamah Agung tentang peninjauan kembali beserta berkas perkaranya

dalam waktu tujuh hari setelah putusan tersebut dijatuhkan, dikirim kepada pengadilan yang

melanjutkan permintaan peninjauan kembali.



(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 243 ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5)

berlaku juga bagi putusan Mahkamah Agung mengenai peninjauan kembali.



Pasal 268



(1) Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan tidak menangguhkan maupun

menghentikan pelaksanaan dari putusan tersebut.


78
(2) Apabila suatu permintaan peninjauan kembali sudah diterima oleh Mahkamah Agung dan

sementara itu pemohon meninggal dunia, mengenai diteruskan atau tidaknya peninjauan

kembali tersebut diserahkan kepada kehendak ahli warisnya.



(3) Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja.



PasaI 269



Ketentuan sebagaimana tersebut pada Pasal 263 sampai dengan Pasal 268 berlaku bagi

acara permintaan peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan dalam lingkungan

peradilan militer.



BAB XIX



PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN



Pasal 270



Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan

oleh jaksa, yang untuk itu panitera mengrimkan salinan surat putusan kepadanya.



Pasal 271



Dalam hal pidana mati pelaksanaannya dilakukan tidak di muka umum dan menurut ketentuan

undang-undang.



Pasal 272



Jika terpidana dipidana penjara atau kurungan dan kemudian dijatuhi pidana yang sejenis

sebelum ia menjalani pidana yang dijatuhkan terdahulu, maka pidana itu dijalankan berturut-

turut dimulai dengan pidana yang dijatuhkan lebih dahulu.



Pasal 273



(1) Jika putusan pengadilan menjatuhkan pidana denda, kepada terpidana diberikan jangka

waktu satu bulan untuk membayar denda tersebut kecuali dalam putusan acara pemeriksaan

cepat yang harus seketika dilunasi.



(2) Dalam hal terdapat alasan kuat, jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) dapat

diperpanjang untuk paling lama satu bulan.



(3) Jika putusan pengadilan juga menetapkan bahwa barang bukti dirampas untuk negara,

selain pengecualian sebagaimana tersebut pada Pasal 46, jaksa menguasakan benda tersebut

kepada kantor lelang negara dan dalam waktu tiga bulan untuk dijual lelang, yang hasilnya

dimasukkan ke kas negara untuk dan atas nama jaksa.


79
(4) Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (3) dapat diperpanjang untuk paling lama

satu bulan.



Pasal 274



Dalam hal pengadilan menjatuhkan juga putusan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 99, maka pelaksanaannya dilakukan menurut tatacara putusan perdata.



Pasal 275



Apabila lebih dari satu orang dipidana dalam satu perkara, maka biaya perkara dan atau ganti

kerugian sebagaimana dimaksud dalam pasal 274 dibebankan kepada mereka bersama-sama

secara berimbang.



Pasal 276



Dalam hal pengadilan menjatuhkan pidana bersyarat, maka pelaksanaannya dilakukan dengan

pengawasan serta pengamatan yang sungguh-sungguh dan menurut ketentuan undang-

undang.



BAB XX



PENGAWASAN DAN PENGAMATAN PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN



Pasal 277



(1) Pada setiap pengadilan harus ada hakim yang diberi tugas khusus untuk membantu ketua

dalam melakukan pengawasan dan pengamatan terhadap putusan pengadilan yang

menjatuhkan pidana perampasan kemerdekaan.



(2) Hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang disebut hakim pengawas dan

pengamat, ditunjuk oleh ketua petigadilan untuk paling lama dua tahun.



Pasal 278



Jaksa mengirimkan tembusan berita acara pelaksanaan putusan pengadilan yang

ditandatangani olehnya, kepala lembaga pemasyarakatan dan terpidana kepada pengadilan

yang memutus perkara pada tingkat pertama dan panitera mencatatnya dalam register

pengawasan dan pengamatan.



Pasal 279



Register pengawasan dan pengamatan sebagaimana tersebut pada Pasal 278 wajib

dikerjakan, ditutup dan ditandatangani oleh panitera pada setiap hari kerja dan untuk diketahui

ditandatangani juga oleh hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 277.



Pasal 280


80
(1) Hakim pengawas dan pengamat mengadakan pengawasan guna memperoleh kepastian

bahwa .putusan pengadilan dilaksanakan sebagaimana mestinya.



(2) Hakim pengawas dan pengamat mengadakan pengamatan untuk bahan penelitian demi

ketetapan yang bermanfaat bagi pemidanaan, yang diperoleh dari perilaku narapidana atau

pembinaan lembaga pemasyarakatan serta pengaruh timbal-balik terhadap narapidana selama

menjalani pidananya.



(3) Pengamatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tetap dilaksanakan setelah terpidana

selesai menjalani pidananya.



(4) Pengawas dan pengamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 277 berlaku pula bagi

pemidanaan bersyarat.



Pasal 281



Atas permintaan hakim pengawas dan pengamat, kepala lembaga pemasyarakatan

menyampaikan informasi secara berkala atau sewaktu-waktu tentang perilaku narapidana

tertentu yang ada dalam pengamatan hakim tersebut.



PasaI 282



Jika dipandang perlu demi pendayagunaan pengamatan, hakim pengawas dan pengamat

dapat membicarakan dengan kepala lembaga pemasyarakatan tentang cara pembinaan

narapidana tertentu.



Pasal 283



Hasil pengawasan dan pengamatan dilaporkan oleh hakim pengawas dan pengamat kepada

ketua pengadilan secara berkala.



BAB XXI



KETENTUAN PERALIHAN



Pasal 284



(1) Terhadap perkara yang ada sebelum undang-undang ini diundangkan, sejauh mungkin

diberlakukan ketentuan undang-undang ini.



(2) Dalam waktu dua tahun setelah undang undang ini diundangkan maka terhadap semua

perkara diberlakukan ketentuan undang undang ini, dengan pengecualian untuk sementara

mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu,

sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi.


81
BAB XXII



KETENTUAN PENUTUP



Pasal 285



Undang-undang ini disebut Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.



Pasal 286



Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.



Agar supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini

dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.



Disahkan di Jakarta



pada tanggal 31 Desember 1981



PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,



SOEHARTO



Diundangkan di Jakarta



pada tanggal 31 Desember 1981



MENTERI/SEKRETARIS NEGARA



REPUBLIK INDONESIA



SUDHARMONO,SH



LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1981 NOMOR 76

Tidak ada komentar:

Posting Komentar