Mereka adalah orang-orang yang berhubungan langsung dengan masyarakat dan punya kewenangan yang bisa ditransaksikan. Dalam menjalankan aksinya, menurut Agus, mereka hanya sendiri atau berdua. Tidak tampak ada aliran dana ke atasannya. Untuk menghilangkan jejak kejahatan mereka "mencuci" uang hasil korupsi itu dengan cara pemindahbukuan, transfer, pembelian mobil, pembelian properti, emas, atau valuta asing.
Contoh, dua PNS berusia 28 tahun yang membuat proyek fiktif untuk mengeruk fulus Rp 18 milyar. Uang hasil kejahatannya dimasukkan ke rekening istri masing-masing. Lalu istri mereka memecah uang itu antara lain, untuk asuransi bayi yang berumur lima bulan. "Asuransi pendidikannya di-top up jadi milyaran,'' tutur Agus. Ada juga yang langsung mentransfer uang ratusan juta ke rekening orangtuanya.
Penempatan uang (placing) yang dilakukan PNS pemilik rekening gendut tersebut, kata Agus, bisa disebut tindak pidana pencucian uang (TPPU). ''Mereka tidak sadar, yang kena Undang-Undang Pencucian Uang itu semuanya. Bayi-bayinya pun bisa kena,'' ujarnya. Label laporan transaksi keuangan mencurigakan (LTKM) itu, menurut dia, akan melekat seumur hidup pada pelaku pencucian uang, sekalipun masih bayi.
Kasus semacam rekening jumbo PNS itu, menurut Agus, bisa dijerat dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Legislasi ini, menurut dia, memiliki terobosan karena penyidik tidak perlu membuktikan pidana asal uang tersebut terlebih dahulu (Pasal 69). Tindak pidana pencucian uang juga bisa dikumulatifkan dengan tindak pidana korupsi. (RTB, CRM, GA)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar