Pada suatu malam bulan purnama, keduanya keluar menikmati keindahan alam raya. Ketika itu, air pasang dan manusla di darat pun ramai menikmati sinar bulan purnama raya seperti makhluk-makhluk lainnya. Sementara bermain dan bersenda-gurau, Angkaro berkata kepada Tunturana, “Kawan, badan kita polos, tidak indah dipandang mata. Punggung kita perlu dihiasi agar menarik. Tanpa pakaian berhias, kita kurang menarik."
Tunturana menjawab, "Baik sekali buah pikiranmu itu. Sekarang kita upayakan diri kita menjadi cantik dan dapat menawan hati makhluk lain. Sekarang bagaimana caranya?"
"Begini, kawan," kata Angkaro. "Punggung kita dihiasi dengan lukisan yang indah-indah dan berwarna-warni. Pakailah cat tahan zaman dan serasi warnanya dengan kulit kita."
Tunturana berkata, "Baik, kawan. Sekarang marilah kita mempercantik diri di rumah. Saya mempunyai cat dengan kuasnya, marilah kita menghiasi diri secara bergantian."
"Baik," kata Angkaro. "Siapa duluan?"
"Saya duluan," kata Tunturana. "Ukirlah punggung saya ini dengan gambar hiasan yang indah-indah. Hiasi sebagus-bagusnya!
Kemudian mulailah Angkaro mengukir dan melukis punggung kepiting Tunturana. Angkaro menghiasi punggung temannya itu dengan bulatan-bulatan yang bagus, teratur, tersusun rapi, berbaris lurus, dan bervariasi besar kecil dari muka ke belakang dan dari atas ke bawah. Sangat bagus lukisan bulatan-bulatan itu dengan warna-warni yang menawan setiap mata yang memandangnya.
"Sudah selesai, kawan," kata Angkaro.· "Lihatlah di permukaan air laut di bawah sinar bulan purnama itu, bagus bukan?"
"Bagus sekali, kawan. Terima kasih!" kata Tunturana.
"Sekarang giliran kamu mengukir punggung saya," kata Angkaro kepada kawannya, Tunturana. "Bikin yang bagusya?"
"Baik," kata Tunturana. "Tanam punggungmu, saya akan percantik badanmu." Lalu, segera ia mengambil kuas dan cat hendak mengukir punggung Angkaro. Tetapi, apa yang terjadi?
Air laut dengan tiba-tiba menjadi surut, datanglah suluh dan lampu-Iampu pencari ikan di pinggir pantai. Keduanya sangat terkejut, maka segeralah mereka lari menghindari bahaya.
“Maaf, kawan," kata Tunturana. "Orang-orang sudah datang mau menangkap kita. Tidak ada lagi waktu untuk mengukir punggungmu!"
"Tidak! Punggung saya harus diberi lukisan, jangan dibiarkan polos tanpa gambar dan warna!" teriak Angkaro.
Melihat lampu-Iampu sudah dekat, maka Tunturana mencakar-cakar punggung Angkaro dengan kuas dan cat. Punggung Angkaro kini penuh cakaran tidak keruan karena terburu-buru keduanya hendak melarikan diri.
"Jangan marah, kawan," kata Tunturana. "Gambar dipunggungmu jelek sebab bahaya sudah datang. Lebih baik tubuhmu itu penuh cakaran-cakaran daripada hidup kita binasa. Ini tidak sengaja."
Angkaro menerima keadaan tubuhnya yang bergambar cakaran-cakaran karena keadaan terpaksa. Keduanya tetap berkawan dalam bentuk yang kontras. Tunturana cantik dan Angkaro jelek.
(Catatan:Tunturana dalam bahasa Talaud berarti teratur, bagus, sedangkan Angkaro berarti cakar-cakaran).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar