Dekonstruksi dalam dunia kesusastraan berarti cara membaca sebuah teks, baik dari dunia sastra maupun dari dunia filsafat, berdasarkan filsafat. J. Derrida (Prancis) yang diilhami oleh fenomenologi (Heidegger) dan skeptisisme (Nietzsche), Aliran dekonstruksi meliputi sejumlah ahli ilmu sastra dan kritisi sastra yang mempergunakan metode ini. Juga disebut "post-strukturalisme" karena mengandung beberapa "koreksi" terhadap strukturalisme klasik, artinya beberapa konsep strukturalis dilacak sampai akar-akarnya. Misalnya konsep "arti" yang berasal dari de Saussure oleh para penganut dekonstruksi ditafsirkan sedemikian rupa, sehingga pengertian mengenai teks dibongkar dan digeser-geserkan. Kaum strukturalis klasik menganggap teks sebagai sesuatu yang sudah bulat dan statis. Menurut faham dekonstruksi bahasa bukan lagi semacam jendela transparan terhadap kenyataan asli yang belum dibahasakan, seperti ditafsirkan oleh tradisi Barat yang intelektualistis. Menurut Derrida kenyataan objektif yang dapat dibahasakan, tiada. Ungkapan bahasa dengan arti tertentu tiada pula. Bahasa tidak mencerminkan kenyataan, melainkan menciptakan. Arti sebuah teks selalu bergeser. Secara linguistis, literer dan kultural sebuah teks selalu berkaitan dengan dan mengacu kepada teks-teks lain yang diolah, diubah dan diteruskan (lihat intertekstualitas). Yang dilacak ialah aporia, paradoks dalam teks-teks yang rupanya artinya sama, unsur yang menggugurkan setiap usaha untuk menafsirkan sebuah teks secara menyeluruh. Praktek dekonstruksi tidak homogen. Para kritisi dekonstruksi lebih suka mengajukan pertanyaan daripada jawaban. (Lihat: C. Norris, Deconstruction. Theory and Practice, 1982.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar