Kata Masamper berasal dari kata zangvereniging (bahasa Belanda), yang berarti paduan suara masyarakat. Ada juga yang menyebutnya berasal dari kata zang vrij yang berarti menyanyi bebas. Tradisi ini adalah bagian dari budaya masyarakat etnis Sangihe-Talaud. Keberadaannya tidak lepas dari proses penginjilan yang dilakukan oleh para Zending (misionaris Kristen dari Eropa) dalam memperkenalkan lagu-lagu gerejawi yang digunakan dalam ibadah jemaat yang diadaptasi dari tradisi lama masyarakat Nusa Utara yakni metunjuke (bernyanyi dalam kelompok di mana beberapa orang memimpin lagu sambil berkeliling dan menunjuk-nunjuk seluruh yang hadiri dengan mengikuti irama lagu) atau mebawelase (menyanyi dalam kelompok sambil “berbalas pantun” dengan nyanyian).
Dalam tradisi lama sebelum Injil masuk di Sangihe-Talaud, Metunjuke dikenal dengan tiga jenis yaitu: sasambo, kakalumpang dan kakumbaede -- nadanya tidak baku (dengan nada slendro?) karena masyarakat Nusa Utara pra Zending belum mengenal tangga nada atau solmisasi. Kegiatan ini dilakukan ketika melakukan pelayaran panjang sambil berdayung di mana orang-orang para pedayung bernyanyi sampai tiba di tempat tujuan.
Pada sekitar abad ke-18 para Zending datang untuk memberitakan injil dan memperkenalkan lagu-lagu gerejawi yang digunakan dalam ibadah-ibadah bersama. Ketika menyanyi bersama dalam ibadah ini dilakukan, tidak ada istilah bahasa lokal yang bisa mengistilahkannya. Karena itu, para Zending memberikan istilahnya dengan kata zangvereniging atau juga zang vrij. Karena penyebutan kata asing itu mengalami kendala untuk diucapkan secara benar, maka masyarakat Nusa Utara melafalkannya mengikuti dialek setempat dengan menyebutnya sampere.
Jika akan atau sedang melakukan kegiatan bernyanyi bersama (lagu-lagu gerejawi atau rohani), masyarakat menyebutnya dengan masampere. Dalam perkembangan selanjutnya istilah masampere beradaptasi dengan bahasa Indonesia atau bahasa Manado menjadi masamper. Kemudian juga sejak tahun 1990-an muncul istilah baru yakni pato-pato. Sebutan ini terkait dengan sebuah judul lagu masamper Menondong Pato (melayarkan perahu atau bahtera) yang dibawakan oleh Group Masamper pimpinan Max Galatang dan merupakan album rekaman masamper pertama. Lagu-lagu dari pato-pato berirama gembira sehingga ketika orang mendengarnya akan terangsang untuk berdiri dan menggerakan tubuh sambil bernyanyi mengikuti irama lagu.
Tradisi Masamper pada intinya merupakan ungkapan hati nurani selain memiliki nilai religius dan nilai moral. Selain itu, masamper berisi ajakan, ajaran moral dan ajaran tata cara pergaulan dalam hidup bermasyarakat yang tersirat dalam lirik lagu yang bernuansi syair sastrawi. Bertolak dari nilai-nilai tersebut, maka dalam tiga dekade ini masamper telah diperlombakan, baik oleh kelompok organisasi sosial kemasyarakat maupun organisasi gereja dan kelembagaan lainnya. Dalam perlombaan, jenis-jenis lagu dibagi dalam beberapa kategori seperti:
1. Pertemuan.
2. Pujian kepada Tuhan
3. Perjuangan/peperangan rohani
4. Perjuangan/peperangan badani
5. Percintaan rohani
6. Percintaan badani
7. Cinta-kasih orangtua
8. Sastra (antara lain pelayaran, lingkungan hidup, dan pengajaran/moral)
9. Perpisahan
10. Dll.
Dalam tradisi lama sebelum Injil masuk di Sangihe-Talaud, Metunjuke dikenal dengan tiga jenis yaitu: sasambo, kakalumpang dan kakumbaede -- nadanya tidak baku (dengan nada slendro?) karena masyarakat Nusa Utara pra Zending belum mengenal tangga nada atau solmisasi. Kegiatan ini dilakukan ketika melakukan pelayaran panjang sambil berdayung di mana orang-orang para pedayung bernyanyi sampai tiba di tempat tujuan.
Pada sekitar abad ke-18 para Zending datang untuk memberitakan injil dan memperkenalkan lagu-lagu gerejawi yang digunakan dalam ibadah-ibadah bersama. Ketika menyanyi bersama dalam ibadah ini dilakukan, tidak ada istilah bahasa lokal yang bisa mengistilahkannya. Karena itu, para Zending memberikan istilahnya dengan kata zangvereniging atau juga zang vrij. Karena penyebutan kata asing itu mengalami kendala untuk diucapkan secara benar, maka masyarakat Nusa Utara melafalkannya mengikuti dialek setempat dengan menyebutnya sampere.
Jika akan atau sedang melakukan kegiatan bernyanyi bersama (lagu-lagu gerejawi atau rohani), masyarakat menyebutnya dengan masampere. Dalam perkembangan selanjutnya istilah masampere beradaptasi dengan bahasa Indonesia atau bahasa Manado menjadi masamper. Kemudian juga sejak tahun 1990-an muncul istilah baru yakni pato-pato. Sebutan ini terkait dengan sebuah judul lagu masamper Menondong Pato (melayarkan perahu atau bahtera) yang dibawakan oleh Group Masamper pimpinan Max Galatang dan merupakan album rekaman masamper pertama. Lagu-lagu dari pato-pato berirama gembira sehingga ketika orang mendengarnya akan terangsang untuk berdiri dan menggerakan tubuh sambil bernyanyi mengikuti irama lagu.
Tradisi Masamper pada intinya merupakan ungkapan hati nurani selain memiliki nilai religius dan nilai moral. Selain itu, masamper berisi ajakan, ajaran moral dan ajaran tata cara pergaulan dalam hidup bermasyarakat yang tersirat dalam lirik lagu yang bernuansi syair sastrawi. Bertolak dari nilai-nilai tersebut, maka dalam tiga dekade ini masamper telah diperlombakan, baik oleh kelompok organisasi sosial kemasyarakat maupun organisasi gereja dan kelembagaan lainnya. Dalam perlombaan, jenis-jenis lagu dibagi dalam beberapa kategori seperti:
1. Pertemuan.
2. Pujian kepada Tuhan
3. Perjuangan/peperangan rohani
4. Perjuangan/peperangan badani
5. Percintaan rohani
6. Percintaan badani
7. Cinta-kasih orangtua
8. Sastra (antara lain pelayaran, lingkungan hidup, dan pengajaran/moral)
9. Perpisahan
10. Dll.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar