Senin, 24 Juli 2023

MENGENANG SANG KOMEDIAN TEATER DIAN "BU TAHANUSANG"

MENGENANG SANG KOMEDIAN TEATER DIAN BU TAHANUSANG

Hari itu --20 Juli 2023-- dunia hiburan Sulut berduka atas berpulangnya sang komedian handal Bu Tahanusang. Sosok yang aslinya bernama Tamaka Kakunsi ini juga dikenal sebagai tokoh teater Sulut yang berkiprah selama 30 tahun di Teater Dian, sebuah grup yang kental dengan genre komedi. Selebihnya dia adalah tokoh pers yang bekerja hingga pensiun di Harian Manado Post.

Tamaka Kakunsi, yang akrab disapa Bu adalah seorang sarjana sosiologi lepasan STISIPOL Merdeka Manado. Ia jurnalis yang menghabiskan banyak tahun berkarier lewat Harian Manado Post.

Dramawan kelahiran 27 Juni 1952 ini bukan orang baru di dunia teater. Sejak mukim di Karangria pada penghujung 1970-an, Bu sudah dikenal sebagai sutradara sandiwara yang kerap mementaskan karyanya. Ia juga pendiri grup komedi Petra Grup yang sempat menjadi grup lawak terbaik dalam festival lawak se Provinsi Sulawesi Utara tahun 1983.


Kemudian selain menjalankan tugas kewartawanan, BU aktif berkarier di dunia hiburan lewat televisi dan panggung drama bersama Teater Dian yang digawangi sutradara Loegman Wakid.

Di layar kaca Bu tercatat ikut main dalam drama-drama dengan genre yang berbeda, namun ia lebih dikenal sebagai si jenius dalam genre komedi.

“Bukan komedi bila tidak lucu,” ujarnya suatu ketika. Dan tujuan komedi bagi dia akhirnya adalah untuk menghibur. Begitu setidaknya BU Tahanusang saat terlibat dalam beragam karya garapan Loeqman Wakid.

Trio kocak Sulut: Bu Tahanusang, Mongol Stres, dan Amoy

Mengenang pertunjukan Bu Tahanusang bersama Teater Dian adalah mengenang satir dan parodi cerdas. Isian kritik dan pesan yang dilontar lewat celoteh polos para pemeran membuat setiap aksi panggung Dian nampak sarat gizi. Balai-balai desa akan penuh sesak, panggung-panggung terbuka di pelosok-pelosok kampung dibanjiri penonton. Orang-orang ngakak hingga masuk got, kursi-kursi plastik patah tak mampu menahan tubuh yang diguncang tawa, begitu pemandangan setiap kali Teater Dian mentas.

Di grup itu, menciptakan puluhan karakter tetap untuk para aktornya termasuk tokoh BU Tahanusang adalah salah satu capaian kreatifitas Loeqman dalam kariernya sebagai sutradara. Karakter itulah yang terus hidup di atas panggung dalam puluhan tahun pertunjukan Teater Dian. Ini sebabnya, masyarakat lebih mengenal teater Dian lewat nama karakter tokoh para bintangnya.

Orang lebih mengenal “Tante Min” dari pada nama asli pemerannya Jean Waturandang, atau “Om Rombe” dari pada Sofyan Van Gobel, Bu Tahanusang dibanding Tamaka Kakunsi, Papanialo daripada John Piet Sondakh, Om Kale dibanding Jusuf Magulili, atau Anton Simore yang aslinya Richard Rhemrev.

Teater Dian tempat BU Tahanuasang bernaung juga bisa disebut teater-nya rakyat. Selain pentasnya menggunakan bahasa yang akrab digunakan masyarakat umum, ruang pertunjukannya lebih banyak berlangsung dari kampung ke kampung. Lebih dari separoh perkampungan di Sulawesi Utara telah bersua grup ini sejak awal 1980 lewat pertunjukan panggung penerangan. Mereka juga mengisi pertunjukan panggung-panggung penerangan di ruang terbuka dengan ribuan penonton seiring pameran-pameran besar yang berlangsung di Sulawesi Utara.

Sebagaimana akar teater komedi yang berasal dari era Yunani Kuno dan berkembang dalam teater komedi modern Barat, nomor-nomor pertunjukan Teater Dian lebih bertumpu pada kekuatan improvisasi dalam membangun alur pertunjukan. Gaya ini membuat komedi ironi spontan mereka begitu membius dan meledakan tawa penontonnya.


Cikal bakal berdirinya Teater Dian awalnya lebih diperuntukan untuk program-program penyuluhan dari Kantor Wilayah Departemen Penerangan Sulawesi Utara (Kanwil Deppen Sulut) baik lewat panggung, radio, dan layar kaca TVRI. Sebagai grup teaternya kantor penerangan, anggota pertama grup ini didominasi oleh para pegawai Deppen antaranya, Jean Waturandang (Tante Min), Richard Rhemrev (Anton Simore), Sofyan Van Gobel (Om Rombe), Olga Roring (Usi), Jusuf Magulili (Om Kale). Bahkan Dian dipimpin langsung seorang petinggi Deppen yaitu Masry Paturusi. Pertunjukan-pertunjukan mereka juga disutradarai Loeqman Wakid yang juga pegawai di kantor penerangan itu.

Dalam perkembangan berikutnya, Teater Dian ikut melahirkan para komedian non PNS antaranya Tamaka Kakunsi (Bu Tahanusang) Hamid (Kapulu), Adi Srimulat, Kadi, Muklis, John Piet Sondakh (Papanialo), Stefanus Sahambangun (Ondos), Samsi Bachmid (Om Sampel) dan beberapa nama kondang lainnya, termasuk Inyo Rorimpandey.

Sudah disentil sebelumnya, kejenialan Loegman sang sutradara dan konseptor pertunjukan dalam membangun karakter tokoh-tokohnya dengan mengeksplorasi sisi lugu dan polos seorang manusia. Bahkan, Loeqman berhasil membawanya lebih dekat, dengan mengadaptasi langsung karakter hidup etnik di Sulawesi Utara yang digabungkan dengan karakter profesi kaum bawah.

Paduan keluguan, kepolosan berlatar etnik inilah menjadi kekuatan hidup setiap tokoh ciptaan Loegman. Lewat tokoh-tokoh rekaannya itu, alur dramatik yang penuh kelucuan pun mengalir lancar, dan berhasil memasuki ruang emosi masyarakat Sulawesi Utara. Kendati karakter tokoh ciptaannya adalah sosok-sosok polos dan lugu, tapi aktor-aktris Teater Dian sejatinya kaum terpelajar bahkan sarjana dari berbagai bidang.

Tokoh Bu Tahanusang (Tamaka Kakunsi) adalah seorang sarjana dan jurnalis. Om Kale (Jusuf Magulili) sarjana se almamater dengan Bu Tahanusang. tokoh Om Sampel, penyandang sarjana pendidikan seni rupa. Sementara Papanialo (John Piet Sondakh) adalah aktor lepasan Institut Kesenian Jakarta (IKJ). (*)

Penulis: Iverdixon Tinungki

Tidak ada komentar:

Posting Komentar