Sejauh ini pencipta lagu Masamper "Di Pantai Enemawira" diklaim sebagai yang anonim. Namun, tabir misteri anonimus itu terkuak setelah beberapa waktu lalu saya bercakap dengan pasangan suami istri yang tinggal di Enemawira, Albertus Dareho Kasenda dan Celia Kasenda Takaleluman. Menurut yakang Albert dan akang Serli, sapaan karib kedua informan, pencipta lagu percintaan badani yang 'hits' dalam tradisi seni Masamper ini adalah Serang Takaleluman, seorang guru pada zending school (sekolah rakyat) di Enemawira.
Bagaimana kita bisa memercayai info lisan ini sebagai kebenaran sejarah?
Kedua informan ini menuturkan, mereka cukup mengetahui riwayat penciptaan lagu ini karena penciptanya (Serang Takaleluman) adalah saudara kandung dari kakek Serli Celia Kasenda Takaleluman, yang bernama Tonggengbanti Takaleluman.
Menjawab pertanyaan saya tentang tahun dan latar belakang penciptaan lagu ini, yakang Albertus menuturkan bahwa lagu ini diciptakan pada awal dekade 30 (tahun 1930-an). Penciptaan lagu ini, begitu tutur yakang Albertus, dilatarbelakangi oleh sejarah kehidupan pribadi penciptanya yang diperhadapkan dengan dilema antara kebebasan memilih pasangan hidup dengan perjodohan ala orang tua. Mengikuti tuturan kedua informan, kisah dilematis itu sebagai berikut.
Serang mempunyai kekasih hati, seorang gadis dari kampung Soa Tebe atau Tabukan Lama, yang terletak di sebelah utara Enemawira. Tapi oleh orangtuanya, Serang dijodohkan dengan gadis asal kampung Petta, yang terletak di sebelah selatan Enemawira. Kenyataan ini menghadirkan dilema dalam diri Serang, dan dilema itu kemudian dia ekspresikan dalam lagu ciptaannya yang kini dikenal dengan judul Di Pantai Enemawira.
Memang, bagian refrein lagu ini dengan jelas melukiskan dilema kisah cinta itu:
Ke utara peperangan
ke selatan di larangan
Hati mana boleh tahan
sindiran kiri kanan.
Yakang Albert dan akang Serli lebih lanjut menuturkan bahwa syair lagu Di Pantai Enemawira yang kini dikenal luas sedikit berbeda daripada syair aslinya. Syair asli lagu ini, khususnya di baris ketiga, berbunyi "mengenangkan tak terkira". Tapi belakangan baris ini menjadi "mengenangkan si saudara".
Catatan Budaya Sovian Lawendatu
Tahun 1867
BalasHapus