Sabtu, 16 November 2024

Asal-usul Nama "Nasi Jaha" Penganan Khas Maluku dan Sulawesi

Nasi jaha adalah salah satu makanan khas yang berasal dari daerah Maluku dan Sulawesi, terutama di kalangan masyarakat Melayu dan suku asli setempat. Nasi Jaha dikenal sebagai hidangan tradisional yang memiliki cita rasa unik dan cara pembuatan yang khas. Penganan ini sangat dikenal di Maluku, dan berbagai daerah di Sulawesi bagian Utara, terutama dalam perayaan adat atau acara khusus.



Sejarah Nasi Jaha

Walau penganan ini sangat populer di Maluku dan Sulawesi, ternyata sangat sedikit orang yang mengetahui asal-usul penamaan nasi jaha itu sendiri. Bahkan akibat ketidaktahuan itu, ada yang menganggap nama nasi jaha sebagai pelesetan dari nasi jahe. Padahal tidaklah demikian. Jika berpola pikir seperti itu, ada dua hal yang perlu dipertanyakan: 1. kenapa para leluhur tidak memberi nama nasi jahe sejak dulu; 2. jahe bukanlah kosakata lokal Maluku dan Sulawesi bahkan tak ada yg mirip dengan kata jahe yg etimologinya dari bahasa-bahasa di pulau Jawa seperti jahe (Jawa) jae (Sunda), jhai (Madura), dan jae (Kangean).

Daerah-daerah di Pulau Sulawesi mengenal jahe dengan nama goraka (Manado), lia (Sangihe), layu (Mongondow), moyuman (Poros), melito (Gorontalo), yuyo (Buol), siwei (Bare'e), goraka (Bare'e Tojo), laia atau leya (Makassar) dan pace (Bugis). Di Maluku sendiri, jahe dikenal dengan nama hairalo (Amahai), pusu, seeia, sehi, siwe (Ambon), sehi (Hila), sehil (Nusa Laut), siwew (Buns), garaka atau woraka (Ternate), gora (Tidore), sohi (Banda) dan laian (Aru). 

Kata "nasi" sendiri merujuk kepada beras yang dimasak, yang menjadi makanan pokok orang Indonesia. Sedangkan "jaha" berasal dari bahasa Ternate. Menurut sahabat setempat duduk saat kuliah dulu, Prod. Dr. Gufran Ali Ibrahim, MSi (mantan rektor Unhair Ternate dan mantan kepala Pusat Bahasa Kemendikbud) jaha dalam bahasa Ternate berarti tenggelam. Dalam bahasa Ternate ada juga frasa jaha manyari yg berarti daun pisang pembungkus nasi jaha. 

Sumber lain menyebutkan, kata jaha bisa berarti (ditenggelamkan) "dalam bambu" atau "dalam tabung bambu". Dengan demikian, secara harfiah, "nasi jaha" berarti "nasi yang dimasak dalam bambu". 

Sumber dari RRI mengisahkan sebuah legenda sbb.: Menurut cerita dari para sesepuh, nasi jaha dianggap sebagai hidangan orang-orang jahat dalam sejarah Minahasa. Ceritanya bermula dari keturunan Toar Lumimuut, seperti Makedua Siow, Makatedu Pitu, dan Pasiowan Tedu, yang diinstruksikan oleh dotu Muntu untuk menyebar dari Watu Pinabetengan, menjelajahi wilayah Tanah Malesung. Kelompok Ton Pekewa, dari wilayah barat daya suku Tontewo, berkembang menjadi dua suku, yaitu Tombulu dan Tonsea. Selain itu, percampuran darah terjadi dekat perbatasan Bolaang Mangondow, membentuk suku Ponosokan. Pantai utara dan barat Malesung berkembang menjadi suku bantik, sering diganggu oleh suku asing seperti Mangindano, Tidore, dan Ternate. Suku asing ini, disebut Tou Lewo atau Wosey, merampok dan menyusahkan orang-orang Malesung. Sebagai respons, orang Malesung yang gagah perkasa, atau Waraney, seperti Maramis, Matindas, dan Montororing, mengejar dan menumpas para Wosey. Mereka menemukan markas di pulau Bentenan, di mana nasi jaha, atau "nasi orang jahat" (kan ne tou lewo), ditemukan dan dibuang ke laut. Karena lapar, Waraney memakan nasi yang dipanggang dengan santan kelapa yang kemudian dinamai Sinari. Itulah kisah singkat tentang asal-usul nasi jaha, atau Sinari, sebagai hidangan kemenangan. (https://www.rri.co.id/kuliner/516936/nasi-jaha-sejarah-dan-kelezatan-khas-sulawesi-utara)

Dari sumber-sumber ilmiah dan "mitos" di atas ternyata tidak ada satu pun  mengaitkan kata jaha" dalam nasi jaha dengan nama rempah jahe. Hal ini sebagai akibat dari tidak adanya satu pun daerah di Maluku dan Sulawesi yg menyebutkan nama rempah tersebut dengan kata jahe atau yg mirip dengan jahe. 

Asal-usul dan Arti Kata Nasi Jaha

Dengan menelaah sumber-sumber tersbut di atas dapat disimpulkan, bahwa nasi jaha memiliki makna pertama, nasi yang dimasukkan (atau ditenggelamkan?) ke dalam bambu lalu dibakar; dan kedua, nasi yang dibawa orang-orang yg tenggelam (orang Ternate yg disebutkan dalam legenda tanah Malesung), dan bukan nasi orang jahat. Secara ilmiah, makna pertama lebih bisa diterima. Sedangkan yg kedua masih lebih kental dengan mitos atau legenda.



Bahan dan Cara Pembuatan Nasi Jaha

Menurut Prof. Dr.  Gufran Ali Ibrahim, MSi, bahan-bahan yang digunakan untuk pembuatan nasi jaha di Ternate hanya terdiri atas beras biasa, beras pulut dan santan kelapa. Sedangkan di Sulawesi Utara, bahan-bahannya lebih banyak yang meliputi beras, beras ketan, santan kelapa, sari jahe, sari daun pandan, sari serai, bawang merah, garam, gula dll. 

Walau berbeda bahan-bahan nasi jaha versi Maluku dan versi Sulawesi, tetap memiliki kesamaan dalam hal cara memasak dan wadah memasaknya.Kedua-duanya menggunakan bambu khusus (di Sulawesi Utara disebut bulu nasi jaha dan daun pisang (muda) sebagai wadah dan dimasak. Namun sebelum bahan-bahan dicampurkan dimasukkan ke dalam bambu yg telah dilapisi daun pisang, terlebih dahulu beras direndam selama beberapa jam sampai mengembang. Setelah mengembang baru bahan-bahan lainnya dicampurkan dan dimasukkan ke dalam bambu. Cara memasaknya adalah bambu berisi campuran bahan disandar pada palang kayu atau besi lalu dibakar menggunakan kayu bakar atau tempurung, pelapah kelapa kering atau sabut kelapa.

Variasi bahan-bahan nasi jaha memang berbeda setiap daerah. Malah ada pula yang menambahkan lauk pauk atau bahan lain ke dalam bambu, sehingga hidangan ini menjadi lebih kaya rasa. Di Kota Bitung sejak tahun 2021 mulai diperkenalkan nasi jaha tuna yakni nasi jaha yg diberikan tambahan ikan tuna sebagai ciri khas kota Bitung.

Penganan sejenis nasi jaha sebenarnya dikenal juga di daerah luar Maluku dan Sulawesi tapi namanya lemang. Bahan-bahan, wadah dan cara memasaknya juga sama. Karena itu, nasi jaha bisa berarti sama dengan lemang dan lemang sama dengan nasi jaha. Yang membedakannya hanya di penamaan. Kalau nasi jaha berasal dari Maluku dan Sulawesi, maka lemang berasal dari Minangkabau Sumatra Barat. Kata lemang sendiri berasal dari bahasa Minangkabau: lamang; atau bahasa Jawi: ‏.لمڠ‎‎


Dalam masyarakat Minangkabau terdapat banyak jenis lemang yang dihasilkan menggunakan bahan-bahan khusus seperti:  

Lamang puluik: lemang biasa asas paling banyak dihasilkan dalam masyarakat Minangkabau menggunakan pulut (puluik) sebagai bahan dasar. Buah keras sering ditambahkan sebagai penambah perisa serta mengelakkan pelekatan lanjut beras.
Lamang pisang: lemang menggunakan buah pisang sebagai bahan sampingan, pulut dan santan dicampurkan dahulu sebelum pisang dimasukkan kemudian
Lamang ubi: lemang menggunakan ubi kayu sebagai bahan asas tanpa perlunya santan
Lamang kuning: lemang menggunakan beras digiling menjadi tepung dicampur dengan kunyit, santan dan garam.
Lemang periuk kera:  lemang yang menggunakan wadah kantong khusus yg ada di pedalaman Negeri Sembilan dan Pahang (Malaysia) Ada beberapa kontroversi di antara beberapa orang yang mempertanyakan kemungkinan risiko akumulasi kotoran kelelawar dan rubah serta pengambilan yang tidak terkendali, namun cara pengendalian perolehan dan pembersihannya ditekankan oleh penjual.

Lemang dapat juga dijumpai di negara-negara lain di Asia Tenggara Daratan, seperti Singapura, Malaysia, dan Brunei. Bahkan di Thailand, lemang dikenal dengan nama “Khao Lam”, sedangkan di Vietnam dikenal dengan nama Cơm Lam.

Fungsi dalam Budaya

Nasi jaha tidak hanya berfungsi sebagai makanan biasa, tetapi juga memiliki nilai simbolis dalam budaya masyarakat Maluku dan Sulawesi. Hidangan ini sering disajikan dalam acara-acara adat, seperti pesta pernikahan, acara syukuran, atau upacara keagamaan. Pembuatannya yang melibatkan banyak orang juga mencerminkan semangat gotong royong dan kebersamaan dalam komunitas.

Nasi jaha juga berkaitan dengan kehidupan sehari-hari masyarakat yang tinggal di daerah dengan banyak bambu, terutama di pedesaan atau daerah-daerah pesisir. Penggunaan bambu sebagai media memasak sangat praktis, mengingat bambu banyak ditemukan di sekitar tempat tinggal mereka, serta kemampuan bambu untuk menahan panas dan menjaga kelembaban nasi saat dibakar.

Meskipun asal-usul nasi jaha sangat terkait dengan tradisi dan kehidupan pedesaan, kini hidangan ini juga sering disajikan di restoran yang menyajikan makanan tradisional Indonesia, terutama di daerah Maluku, Sulawesi, dan sekitarnya. Namun, memasak nasi jaha dalam bambu memang membutuhkan keterampilan dan ketelatenan, sehingga tidak semua orang di perkotaan atau daerah yang lebih modern membuatnya dengan cara tradisional. Karena itu ada yang sudah mencoba membuatnya dengan cara modern menggunakan panci atau dandang pengukus. Namun tentu saja rasa dan aroma yang dihasilkan tidak seautentik yang dimasak dengan bambu.

Demikian sekilas asal-usul nama penganan nasi jaha dalam tradisi dan budaya masyarakat Maluku dan Sulawesi Utara.