(Perspektif Sosiologi Seni Fenomenologis)
Oleh : Sovian Lawendatu
Sasambo adalah nyanyian-puitis atau juga puisi-nyanyi masyarakat Sangihe dalam arti historis-kultural (Sangihe Besar dan Sitaro). Steller dan Aebersold (1959) menjelaskan, sambo; atau sasambo adalah sejenis himne dan puisi yang unik. Dengan menyebut sasambo sebagai sesamboh, Riedel (1869) mendeskripsikan, bahwa di Kepulauan Sangihḝ sasambo menempati tempat pertama di antara lagu-lagu rakyat; sasambo berisi berbagai ucapan, peribahasa, dan sanjungan, serta curahan hati yang penuh kasih, dan gambaran kehidupan pulau dan laut.
Dalam pembicaraan berikut, khusus tentang fungsi dan wawasan estetika, diletakkan dalam bingkai dunia-kehidupan (lebenswelt) masyarakat Sangihe dahulu kala sebagai masyarakat-genesis sasambo. Ini sesuai dengan perspektif hermeneutik-fenomenologis dalam sosiologi seni yang dibangun oleh Janet Wolff.
STRUKTUR DAN FUNGSI
Sejauh yang teramati pada transkrip Riedel dan transkrip yang lain, sasambo terdiri atas bait-bait yang tidak sama panjangnya. Walaupun demikian, setiap bait sasambo memiliki jumlah larik yang sifatnya genap: 2, 4, 6, 8, 10.
Dalam pada itu, setiap bait sasambo yang terdiri atas dua larik berbentuk kalimat lengkap atau mengungkapkan gagasan yang bersifat final. Hal yang sama juga berlaku atas setiap dua larik yang terdapat dalam seluruh bait sasambo. Dengan demikian, dapat disarikan, bahwa sasambo terdiri ‘hanya’ atas dua larik per bait.
Bila lebih ditelusuri, sifat genap tersebut juga tampak pada jumlah minimum sukukata dalam setiap larik sasambo. Dalam hal ini, setiap larik sasambo terdiri atas paling sedikit 6 (enam) suku kata. Sifat genap itu paralel dengan kenyataan, bahwa setiap bait sasambo berbentuk kalimat lengkap atau mengungkapkan gagasan yang final. Jadi, terdapat koherensi antara struktur sasambo dengan isinya.
Seperti halnya sasaļamatḝ, sasambo bersifat ritmis. Keritmisan ini terbentuk dari penggunaan majas paralelisme dan repetisi atau anafora dalam rangka strukturisasi sasambo. Sekadar contoh:
Adiung itondo e / itondo e ghumaluhḝ.
Mạtӗntang siagạ / mḝdḝdea bӗke.
I Andi nitӗbọ biang / nӗtukang tahapӗnggӗlang
Kahiwung Andi nawawa / pinḝsalendang su wobạ.
I Andi nangon duruhang / nangapia tatuwone.
Andi tạ luweng hotene / pӗllọ mḝbawialane.
I Andi timanata / ariwe karoḷong balang.
Mangasang baḷiung munde-munde/ patụ-patụ i Tamundugḝ.
ipanuwang kalu lawẹ / kalu angkusu wanua.
Tiupoteng anging bahẹ / lapidoten suwụ-suwụ.
Salah satu medium penstrukturan majas paralelisme dan anafora dalam sasambo adalah kata Sangihḝ jenis sasahara. Secara sosiolinguistik-fenomenologis, sasahara merupakan bahasa yang berdaya gaib, sebab menurut Adriani (1893), sasahara adalah bahasa rahasia yang digunakan di laut untuk mencegah roh-roh mendengar dan mengganggu rencana para pelaut. Selain itu, tulis Brilman, sasahara juga digunakan dalam puisi untuk keperluan yang sama. Alhasil, dengan kata-kata sasahara, sasambo berfungsi sebagai sarana penolak tulah yang berasal dari roh-roh dan setan-setan.
Sasambo memang mengekspresikan sikap religius masyarakat Sangihḝ dahulu kala, sebagaimana tersirat dalam keberadaan sasambo raralo (sasambo pujian) dan sasambo kakaļiomaneng (=sasambo doa-permohonan). Sasambo juga mengusung nilai kebijaksanaan hidup manusia dan masyarakat Sangihḝ tentang pentingnya berpikir sebelum bertindak, “Diọko kaiang pḝsipirḝ, kaintoḷang pḝtinӗna” (hendaklah duduk berpikir, duduk berpikir), termasuk peringatan akan ekses buruk dari pengabaian terhadap kebijaksanaan hidup tersebut, “Bӗgang tiringang u alang, kanoakeng u dunia” (tidak tahu diputar dunia, dipermainkan oleh dunia). Sasambo juga mengandung nasihat tentang pentingnya membangun kehidupan bersama yang harmonis dengan cara harmoni pula, “Adiung itondo e, itondo e ghumaluhḝ // Mạtӗntang siagạ, mḝdḝdea bӗke.” Sasambo pun bernilai rekreatif dengan candaan dan sindirannya: “pirua i Arubeka, nitӗntang su sasangitang // baḷinẹ i Arubeka, simahe tạdarurune” (Kasihan si Arubeka, ditinggal dalam kemenangisan // bukan si Arubeka, (yang) liwat tak berbau). Walaupun demikian, dengan penggunaan kata-kata sasahara, maka nilai-nilai religiusitas, kearifan dan kerekreatifan hidup yang tersirat dalam sasambo tidak terlepas dari dunia-kehidupan (lebenswelt) magi yang bermuara pada motif penyelamatan diri masyarakat Sangihḝ dahulu kala dari kuasa jahat jiwa-jiwa, roh-roh dan setan-setan.
Motif (religio-) magis lebih mencolok pada eksistensi sasambo tatelore, sebab sasambo jenis ini bertujuan untuk mencemarkan nama baik. Motif magis itu bahkan lebih mencolok pada sasambo jenis lagung kapirḝ (lagu kafir’). Pasalnya, sasambo ini dipercaya bermuatan daya gaib mematikan dan digunakan untuk ‘perang magis’ antar- kelompok tahapḝsambo (orang yang mahir menembangkan sasambo).
SASAMBO SEBAGAI TRADISI MEBAWALASE
Sasambo tidak selalu dinyanyikan secara berbalasan. Ada kebiasaan mesambo (menyanyikan sasambo) secara individual, dengan atau tanpa iringan tagonggong. Buktinya, nelayan yang sendirian di laut pada larut malam mengumandangkan sasambo dengan suaranya yang tinggi resik, lewat permukaan laut (Brilman, 1938). Di kampung penulis pada tahun 1980-an, seorang lelaki memiliki kebiasaan mesambo secara sendirian; itu biasa dilakukannya pada malam hari dengan iringan tagonggong yang ditabuhnya sendiri.
Aktivitas mḝsambo pada saat pengusungan tamong banua (tamo banua) dalam rangka upacara menebang tamo pun tidak dilakukan secara berbalasan. Namun, menurut kebiasaan umum masyarakat Sangihḝ, sasambo dinyanyikan secara berbalasan dengan iringan tagonggong yang ditabuh oleh para penyanyi itu sendiri.
Riedel mencatat bahwa sasambo dinyanyikan di ladang, di perahu, dan di acara-acara pesta dengan iringan tagonggong. Tentang tradisi berbalas sasambo, Brilman mencatat, “Juga pada pelayaran berdayung yang panjang orang saling merangsang melalui bernyanyi. Kebiasaan yang sama juga terjadi tatkala para nelayan Sangihḝ melakukan perjalanan pulang dari ‘melaut’; mereka menyanyikan sasambo secara berbalasan sambil menabuh badan perahu sebagai pengganti tagonggong; suatu kebiasaan mesambo yang kemudian melahirkan jargon sasambo duruhang. Jelaslah, tradisi mesambo secara berbalasan dilakoni dalam berbagai ragam situasi kehidupan masyarakat Sangihḝ.
Dengan karakternya yang berbalasan, semua ragam tradisi mḝsambo dalam kehidupan masyarakat Sangihḝ dapat dinamai dengan kata “mebawalase”, sebab kata mebawalase secara literal berarti “berbalasan” atau “saling membalas”. Namun, mengikuti penjelasan Steller dan Aebersold, nama “mebawalase” telah diberi arti khusus, yakni tradisi berbalas nyanyian sasambo dalam acara-acara pesta, seperti perkawinan dan Tulude atau Saliwang u Wanua.
JENIS-JENIS SASAMBO
Di Sangihḝ Besar, tradisi Mḝbawalasḝ biasanya bermaterikan sasambo jenis lagung bawine, lagung balang, lagung sondạ, dan lagung sasahola. Di Siau, seperti yang dilansir oleh Riedel, tradisi Mḝbawalasḝ menggunakan tiga jenis sasambo yang bernama sambo nu esẹ (‘sasambo untuk laki-laki’), samboh nu bawine (‘sasambo untuk perempuan’), dan sambo nu oļị (‘sasambo untuk musik oļi).
Steller dan Aebersold menyebut tiga jenis sasambo, yakni sasambo tatelore (sasambo untuk pencemaran nama baik), sasambo raralo (sasambo pujian), dan sasambo kakaļiomaneng (=sasambo doa-permohonan). Ketiga jenis sasambo ini relevan dengan semua klasifikasi sasambo menurut jenis ketukan tagonggong; sebab ketiga jenis sasambo ini lahir dari klasifikasi yang berlandaskan dunia-kehidupan (lebenswelt) atau nilai-nilai sosiokultural masyarakat Sangihe.
WAWASAN ESTETIKA TRADISI BERBALAS SASAMBO
Hakikat tradisi Mebawalase (Berbalas Sasambo) terangkum dalam ungkapan “mepapate wisara”. Secara literal, ungkapan ini bermakna ‘bakubunuh bicara’. Secara konseptual, idiom ini menggambarkan, bahwa tradisi Berbalas Sasambo bukan sekadar aktivitas berbalas nyanyian sasambo, melainkan terutama merupakan aktivitas ‘saling mematahkan gagasan’ atau semacam debat melalui syair sasambo. Dengan demikian, nilai estetika dalam tradisi ini terletak pada aspek kemampuan mepapate wisara (mematahkan gagasan).
Mepapate wisara merupakan manifestasi kemampuan leluhur masyarakat Sangihḝ dalam bersastra, sekaligus sebagai wawasan estetika tradisi Mebawalase. Pasalnya, dengan mḝpapate wisara, kedua kelompok penyanyi dalam tradisi ini terlibat dalam ‘duel kata-kata’, sementara puncak nilai keindahan ‘duel’ ini terletak pada kemampuan mematahkan gagasan lawan bicara. keduanya berlomba untuk mencapai kemenangan, sebagai ‘puncak gunung’ keindahan, dengan jalan nakapate wisara (‘berhasil mematahkan gagasan’).
Wawasan estetika ini tentu saja bertabiat religio-magis, sesuai dengan eksistensi kata-kata sasahara sebagai medium pengekspresian sasambo dalam tradisi Mebawalase. Tabiat religio-magis itu lebih mengemuka lagi dengan penggunaan sasambo kapire dan sasambo tatelore dalam tradisi Mebawalase. Masalahnya, kedua jenis sasambo ini dianggap memiliki daya magis yang mematikan.
Dalam praktik tradisi Mebawalase pada zaman dahulu, ada kematian yang dipandang sebagai akibat serangan daya magis dari kedua jenis sasambo tersebut. Di titik ini, wawasan estetika mḝpapate wisara berubah menjadi sadisme mepapate taumata (saling membunuh manusia). Betapapun juga, seperti yang dinyatakan oleh Brilman (1938). sadis-isme (kesenangan berbuat jahat) dengan daya magis memang nyata-ada dalam kehidupan masyarakat yang belum menerima pencerahan (enlightenment; aufklärung) dengan nilai-nilai etika universal.
MEPAPATE WISARA DAN PEPATAH MELAYU
Sekilas saja, mepapate wisara dalam tradisi Berbalas Sasambo sama dengan pepatah dalam dunia sastra Melayu. Keduanya memang memiliki persamaan; keduanya sama-sama mengandung unsur nasihat dan sindiran. Namun, cakupan makna mepapate wisara lebih luas daripada pepatah, sebab mḝpapate wisara mengandung unsur gagasan atau motif-motif yang justru tidak ada dalam pepatah. Motif-motif yang dimaksud antara lain menoe (memuji dengan maksud menjatuhkan), medarendehe (saling membantah), dan mepapangabase (saling mengejek dan menantang dengan nada membual dan menyombongkan diri).
Motif-motif tersebut diekspresikan dan ditafsirkan melalui lirik-lirik sasambo, baik dalam wujud kata, frase, larik, maupun bait.
Perbedaan mepapate wisara dengan pepatah juga mencolok dari aspek komunikasi. Mepapate wisara bersifat dialogis, bahkan debatis. Dengan kedialogisannya, mepapate wisara ditandai dengan dinamika pertukaran posisi antara komunikator (communicator) dengan komunikan (communicant).
Dalam hal ini, nasihat, misalnya, bisa dibalas dengan nasihat, sehingga terjadi proses saling menasihati. Dengan kedebatisannya, mepapate wisara memungkinkan terciptanya proses adu argumen, meski argumen-argumen itu hanya sekelas bualan. Di pihak lain, seperti yang berlangsung dalam pidato-pidato Melayu, pepatah bersifat ‘searah’ (monologis).
SASAMBO DAN MASAMPER
Sasambo memengaruhi perkembangan Masamper. Pengaruh sasambo itu butuh ruang pembicaraan tersendiri.
Tapi sekadar gambaran, pengaruh tradisi sasambo itu nyata dengan penggunaan nama mebawalase untuk Masamper.###
Catatan:
Gambar hanya penghias postingan😇🤠
Tidak ada komentar:
Posting Komentar