Oleh : Sovian Lawendatu,
Budayawan Drama Leonardo Axsel Galatang, Kapuraca (Menggugat Teori kebenaran), menampilkan sosok tokoh ateis yang tidak onsisten dan konsekuen. Dinyatakan demikian, karena keateisan tokoh itu (namanya Kapuraca), hanya berlangsung pada bagian-bagian awal alur cerita. Sesudahnya, Kapuraca memperlihatkan diri sebagai seorang teis-religius : ia mengaku dosa dan mohon ampun kepada Opo Empung (Tuhan). Artinya, ada semacam "pertobatan". Saya tidak tahu, apakah ketidak-konsistenan dan ketidak-konsekuenan itu merupakan cerminan sikap pribadi Galatang dalam menghadapi fenomena ateisme? Dalam kehidupan pribadinya, Galatang memang bisa saja bersikap atau berpikir sebagai ateis. Paling tidak, ia mungkin memiliki semacam "kenakalan intelektual ateistis". Namun, dalam sosialitasnya, Galatang tidak bisa menjadi seorang ateis. Apalagi, Galatang adalah seorang "Presiden". Di "Negara Kesatuan Republik Tangkasi" Kota Bitung, jabatan "Presiden" tidak sekadar bermakna formal-organisatoris, tetapi terutama "etik-kharismatis"; sehingga Galatang harus menjadi suri-tauladan bagi segenap "rakyat"nya dalam hal sepenting religiusitas dan spiritualitas.
Memang, drama Galatang ini menarik untuk dianalisis secara psikososiologis. Tapi, analisis begini butuh ruang dan waktu khusus. Sekarang, mari kita tengok pementasannya, yang dilakukan oleh Sanggar Handayani SMP Negeri 1 Bitung dalam konteks Pekan Teater Remaja se-Kota Bitung pada bulan April yang baru lalu. Di bawah penyutradaraan Servi Kamagi, pementasan naskah Galatang oleh sanggar yang "bermarkas" di kompleks Gedung Kesenian Kota Bitung itu memang mendekati kesempurnaan. "Nyaris sempurna!", seru Galatang sebagai anggota Tim Pembanding, yang "diaminkan" oleh ketuanya, Semuel Muhaling. Kehampir-sempurnaan garapan sutradara, yang karib disapa Epi, itu memang melingkupi keseluruhan aspek pementasan. Epi mampu me-menej sanggar garapannya menjadi sebuah grup yang begitu solid di atas pentas. Meski umumnya pemain merupakan anggota baru dalam Sanggar Handayani (siswa-siswi Kelas 7), mereka memiliki kemampuan berperan yang memukau dari aspek-aspek teknik main drama, seperti gerak, vokal, intonasi, ekspresi, penguasaan naskah, penguasaan panggung, dan blocking.
Dalam hubungan ini amat menarik bahwa Epi menampilkan sosok pemeran Kapuraca yang tidak lazim. Lazimnya, Kapuraca memiliki postur tubuh yang besar-kekar, berwajah dingin atau menyeramkan. Namun, dalam interpretasi-kreatif Epi, Kapuraca ditampilkan sebagai tokoh yang berpostur kecil, tetapi "nakal" secara intelektual. Karena "kenakalan intelektual"nya, yang bahkan bercorak ateistis, maka Kapuraca, seperti yang tampak pada bagian-bagian awal cerita, menolak (ajaran tentang) eksitensi Tuhan; ia tidak mempercayai adanya Opo Empung (Tuhan). Dengan demikian, Epi menekankan ke-kapuraca-an Kapuraca pada dimensi otak, bukan otot. Mungkin sosok Kapuraca yang berdimensikan "otak" itu cocok dengan "maksud" atau keinginan penulis naskah (Galatang).
Dari sisi tata artistik, Sanggar Handayani di bawah penggarapan Epi, mampu menghadirkan latar "entah berentah" (tempat kehadiran Opo Empung), yakni sebuah tempat yang berada "ketinggian". Dalam hal pakaian (kostum), Epi begitu cermat memilih. Kostum tokoh Si Baju Putih, yang diperankan oleh Adolve Lumenta, terasa kontekstual dengan "dunia-kerohanian" masyarakat etnis Minahasa dewasa ini, karena "baju putih" yang dipakaikan kepada tokoh/pemeran menyerupai jubah pendeta (toga).
Epi memiliki kemampuan kreatif yang "belum" dimiliki oleh sutradaralainnya di Sanggar Tangkasi. Kemampuan kreatif yang dimaksud adalah kemampuan menciptakan tari (koreografi). Buktinya, dalam proses pementasan Sanggar Handayani, ia menyuguhkan satu bentuk tari yang menyerupai tari lilin. Tari yang serupa "tari lilin" itu khas ciptaan Epi. Bahannya dari "senter kecil", yang terbalut "plastik putih transparan" sehingga ketika tari itu ditarikan di atas panggung yang gulita, maka tercipta suasana temaram dan rada-rada mistis. Luar biasa, memang! Bisa disebut tari ciptaan Epi itu sebagai "Tari Lobe" (mengikuti jargon lokal).
Kelemahan Epi kiranya terletak pada eksperimentasinya yang mengawinkan budaya Sangihe dengan Minahasa. Epi menyuguhkan semacam tari Gunde (Sangihe), yang diiringi dengan musik tradisional Minahasa. Secara koreografis, eksperimentasi Epi ini memang sah-sah saja, bahkan memperlihatkan keunikan. Akan tetapi, buat saya, dari segi konteks sosial budaya, yang dimanfaatkan sebagai "warna-lokal" penulisan naskah Galatang ini, eksperimentasi Epi itu patut dipersoalkan. Pasalnya, drama Kapuraca "dilokalisasikan" oleh Galatang ke dalam konteks kultur Minahasa. Ini terbukti melalui penghadiran tokoh Opo Empung, di samping Keke 1 dan Keke 2. Lagipula, dalam naskah ini sedikit pun tidak disinggung unsur dan pernik "dunia Sangihe", yang dengannya pementasan dimungkinkan untuk (juga) mengusung produk kesenibudayaan Sangihe, seperti yang dilakukan oleh Epi. Kekuatan penyutradaraan Epi, yang tidak dapat ditandingi oleh sutradara lain dalam konteks pekan teater tersebut, terletak juga pada tata musik. Di bawah arahan Epi, kedua peƱata musik (Donal Bentian dan Billy Hamel) mampu menghadirkan musik dan "bebunyian" yang semuanya relevan dengan suasana cerita (yang dipentaskan).
Naskah drama Kapuraca, di samping bernada "gugatan", juga diwarnai dengan nada humor. Unsur yang disebutkan belakangan nyata baik melalui dialog tokoh Si Baju Putih, baik yang menyerupai mantra maupun sebagai tuturan biasa. Di bawah arahan Epi, pemeran Si Baju Putih sanggup membawakannya, sehingga unsur humor itu terasa begitu segar dan (tentu saja) dapat mengocok perut penonton. Pada titik ini, selaku sutradara, Epi berhasil menyuguhkan adegan penutup yang bernilai artistik, sama artistiknya dengan adegan pembuka (opening) yang juga ia suguhkan dalam konteks pementasan sanggar garapannya itu.***
Sumber: manadopost.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar