Pitres Sombowadile & Budaya Moyangnya
Oleh : Sovian Lawendatu
Dari sekian banyak sajak Pitres Sombowadile yang tercantum dalam buku antologi “Sasambo” (1991), ada satu yang relevan untuk dibicarakan dalam konteks pembicaraan tentang hubungan penyajak dengan budaya moyangnya atau sub-etnisnya. Maksud saya adalah “Bandar”.
Pada ‘beberapa waktu lalu’ Kota Manado digemparkan oleh aksi demonstrasi massa mahasiswa asal Sangihe Talaud yang memprotes rencana pemindahan (relokasi) Pelabuhan Manado. Sebab, kebijakan pemerintah itu secara ekonomi dipandang akan menyusahkan masyarakat Sangihe Talaud, termasuk para demonstran, sebagai pihak yang berkepentingan dengan pelabuhan itu.
Saya tidak tahu apakah Pitres turut serta dalam aksi demonstrasi itu? Ataukah dia mungkin termasuk ‘ki dalang’nya? Yang jelas, sikap dan pandangan massa demonstran itu memengaruhi penulisan sajak “Bandar”. Malahan, Pitres pun memandang bahwa rencana pemindahan Pelabuhan Manado itu merupakan sebentuk penindasan terhadap masyarakat Sangihe Talaud.
Sebagai penyajak, Pitres meleputkan pandangannya tadi secara puitis. Ia menampilkan tokoh-tokoh dalam cerita rakyat Sangihe, seperti “Bakeng” (raksasa pemangsa) dan “Nangingbulaeng” (gadis). Dalam sajak “Bandar”, tokoh “Bakeng” digunakan sebagai gambaran simbolis penguasa yang menindas masyarakat Sangihe Talaud. Sedangkan tokoh “Nangingbulaeng” digunakan sebagai gambaran simbolis masyarakat Sangihe Talaud yang tertindas oleh penguasa.
Selain memanfaatkan kekayaan kultur moyangnya, Pitres juga memanfaatkan fakta-fakta kesejarahan masyarakat Sangihe Talaud, baik yang berkenaan dengan kehadiran manusia-manusia jahat, maupun yang berkenaan dengan penjajahan Belanda. Demikianlah, dalam sajak ini, Pitres menampilkan sosok-sosok jahat yang bernama Batairo, Mangaia, Panggelawang, dan Mangindano (gerombolan perompak dari Mindanao Selatan), bahkan Padtbrugge (Gubernur Maluku, Hindia Belanda), yang wilayah kekuasaannya meliputi Sangihe Talaud. Sosok-sosok jahat ini ditampilkan guna pencitraan kejahatan penguasa terhadap masyarakat Sangihe Talaud dalam konteks agenda relokasi pelabuhan tersebut.
BANDAR
Di Pelabuhan Manado
bagaimana aku bicara anggur dan mawar
ketika Bakeng memasung Nangingbulaeng
bandar ini dikencingi Batairo
cinta dikhianati
laut rumah kita dinodai.
di pelabuhan tinggal sesal
Mangaia keruk kali Jengki
buat seribu jurang
Panggelawang meniti jembatan Megawati
uji seribu riskan
katakan pada Madunde
sembilan Madonna urung mandi
bandar telah dirampok.
Minggir! Mangindano hendak gelar pesta
domba-domba terperas tinggalkan gubuk
terbantai berkali.
nyanyian duka Sasambo
turun dari ladang ketela ke daseng
tuan Santiago lihat Padtbrugge datang
bawa surat rampasan
selamatkan negeri!
Sampai pada pembicaraan di atas, kiranya jelas, bahwa penyajak Pitres memang mempunyai pengetahuan yang kaya akan budaya dan sejarah kehidupan leluhurnya. Kompetensi intelektual ini, yang sejatinya merupakan salah satu sendi kedigdayaan penyajak, dimungkinkan oleh ‘kesuntukan’ Pitres dalam berotodidak.
Kamajaya Al. Katuuk, dalam tulisan kritisnya terhadap buku antologi sajak “Sasambo”, mengembel-embeli Pitres (dan Sovian Lawendatu) sebagai penyajak yang “kuat mengolah kata”. Mengenai ini Kamajaya menjelaskan bahwa kekuatan mengolah kata ditandai dengan kemampuan Pitres menggunakan kata-kata sebagai pemadat sajaknya. Itu sebabnya, Kamajaya mengategorikan Pitres sebagai penyajak yang cenderung kontemplatif.
Ikhwal kekuatan kepenyajakan Pitres tersebut buat saya ‘terpenuhi’ pula dalam sajak “Bandar”. Sajak ini mematutkan keberadaannya sebagai sebuah renungan, sebuah kontemplasi tentang kehidupan.
Pada ‘beberapa waktu lalu’ Kota Manado digemparkan oleh aksi demonstrasi massa mahasiswa asal Sangihe Talaud yang memprotes rencana pemindahan (relokasi) Pelabuhan Manado. Sebab, kebijakan pemerintah itu secara ekonomi dipandang akan menyusahkan masyarakat Sangihe Talaud, termasuk para demonstran, sebagai pihak yang berkepentingan dengan pelabuhan itu.
Saya tidak tahu apakah Pitres turut serta dalam aksi demonstrasi itu? Ataukah dia mungkin termasuk ‘ki dalang’nya? Yang jelas, sikap dan pandangan massa demonstran itu memengaruhi penulisan sajak “Bandar”. Malahan, Pitres pun memandang bahwa rencana pemindahan Pelabuhan Manado itu merupakan sebentuk penindasan terhadap masyarakat Sangihe Talaud.
Sebagai penyajak, Pitres meleputkan pandangannya tadi secara puitis. Ia menampilkan tokoh-tokoh dalam cerita rakyat Sangihe, seperti “Bakeng” (raksasa pemangsa) dan “Nangingbulaeng” (gadis). Dalam sajak “Bandar”, tokoh “Bakeng” digunakan sebagai gambaran simbolis penguasa yang menindas masyarakat Sangihe Talaud. Sedangkan tokoh “Nangingbulaeng” digunakan sebagai gambaran simbolis masyarakat Sangihe Talaud yang tertindas oleh penguasa.
Selain memanfaatkan kekayaan kultur moyangnya, Pitres juga memanfaatkan fakta-fakta kesejarahan masyarakat Sangihe Talaud, baik yang berkenaan dengan kehadiran manusia-manusia jahat, maupun yang berkenaan dengan penjajahan Belanda. Demikianlah, dalam sajak ini, Pitres menampilkan sosok-sosok jahat yang bernama Batairo, Mangaia, Panggelawang, dan Mangindano (gerombolan perompak dari Mindanao Selatan), bahkan Padtbrugge (Gubernur Maluku, Hindia Belanda), yang wilayah kekuasaannya meliputi Sangihe Talaud. Sosok-sosok jahat ini ditampilkan guna pencitraan kejahatan penguasa terhadap masyarakat Sangihe Talaud dalam konteks agenda relokasi pelabuhan tersebut.
BANDAR
Di Pelabuhan Manado
bagaimana aku bicara anggur dan mawar
ketika Bakeng memasung Nangingbulaeng
bandar ini dikencingi Batairo
cinta dikhianati
laut rumah kita dinodai.
di pelabuhan tinggal sesal
Mangaia keruk kali Jengki
buat seribu jurang
Panggelawang meniti jembatan Megawati
uji seribu riskan
katakan pada Madunde
sembilan Madonna urung mandi
bandar telah dirampok.
Minggir! Mangindano hendak gelar pesta
domba-domba terperas tinggalkan gubuk
terbantai berkali.
nyanyian duka Sasambo
turun dari ladang ketela ke daseng
tuan Santiago lihat Padtbrugge datang
bawa surat rampasan
selamatkan negeri!
Sampai pada pembicaraan di atas, kiranya jelas, bahwa penyajak Pitres memang mempunyai pengetahuan yang kaya akan budaya dan sejarah kehidupan leluhurnya. Kompetensi intelektual ini, yang sejatinya merupakan salah satu sendi kedigdayaan penyajak, dimungkinkan oleh ‘kesuntukan’ Pitres dalam berotodidak.
Kamajaya Al. Katuuk, dalam tulisan kritisnya terhadap buku antologi sajak “Sasambo”, mengembel-embeli Pitres (dan Sovian Lawendatu) sebagai penyajak yang “kuat mengolah kata”. Mengenai ini Kamajaya menjelaskan bahwa kekuatan mengolah kata ditandai dengan kemampuan Pitres menggunakan kata-kata sebagai pemadat sajaknya. Itu sebabnya, Kamajaya mengategorikan Pitres sebagai penyajak yang cenderung kontemplatif.
Ikhwal kekuatan kepenyajakan Pitres tersebut buat saya ‘terpenuhi’ pula dalam sajak “Bandar”. Sajak ini mematutkan keberadaannya sebagai sebuah renungan, sebuah kontemplasi tentang kehidupan.