As he sipped coffee and munched fried tempeh, Hamid Jabbar nyeletuk toward me, "Haaa! Meet you guys. This Budi Darma ...! ". Mursal Esten said, "Hehe, this Damiri are not like novels Budi Darma ...!" The heroine, Budi Darma, when it was just a smile alone.
That year, 1984, by chance one of my writing that review the work of Budi Darma's novel Olenka gets the grand prize in a contest criticism. One of the Esten Mursal jury was earlier, when it's the only doctorate of literature in Sumatra!
Damiri Mahmud
Seusai bubar dalam satu acara “Temu Kritikus” di Taman Ismail Marzuki, beberapa kawan, termasuk saya, ngumpul lagi malam itu di warteg kaki lima Cikini Raya.
Sambil menghirup kopi dan mengunyah tempe goreng, Hamid Jabbar nyeletuk ke arah saya, “Haaa! Jumpa kalian. Ini Budi Darma…!”. Mursal Esten menimpali, “Hehe, Damiri ini saja yang tak suka novel Budi Darma…!” Sang tokoh, Budi Darma, ketika itu hanya tersenyum saja.
Tahun itu 1984, kebetulan satu tulisan saya yang mengulas novel Olenka karya Budi Darma mendapat hadiah utama dalam sebuah sayembara kritik. Salah satu jurinya adalah Mursal Esten tadi, ketika itu satu-satunya doktor sastra di Sumatera!
Tulisan itu seperti menyeruak atau memencil di tengah-tengah arus deras yang mengelu-elukan novel Olenka yang disambut dengan antusias. Novel itu ditulis pengarangnya, Budi Darma, kabarnya hanya dalam waktu tiga minggu saja, ketika dia bermukim di Amerika Serikat.
Dia mendedahkan seorang tokoh utama, Olenka, seorang perempuan (tanpa kebangsaan, tapi dengan polah dan petualangannya dengan orang-orang menunjukkan dia bukan orang Indonesia) yang kesepian dengan tindakan batiniah dan prilakunya menjurus kepada hal yang tidak biasa atau yang bukan-bukan.
Banyak resensi dan ulasan muncul di kolom-kolom koran dan majalah, sembari menyebutkan bahwa novel semacam itu sudah lama ditunggu-tunggu, ditulis dengan gaya yang lain dari yang lain. Ada lagi yang menyebut, novel itu memberikan pembaharuan dalam penulisan novel Indonesia. Pengarangnya diberikan penghargaan dan sebuah acara langsung digelar di TIM.
Tulisan saya justru menyusup ke sisi lemah novel itu dan menyimpulkan bahwa karya itu sebuah novel melankolik. Meskipun tulisan itu mungkin hanya sebuah denting di tengah-tengah gong besar, tapi ada suatu kesadaran dalam diri saya dan merupakan sikap dalam memandang sebuah karya kritik. Dia bukanlah satu keinginan gagah-gagahan atau kehendak meraih popularitas dan jauh dari pelampiasan rasa dendam kesumat.
Fenomena kritik sastra, yang usianya masih remaja, menurut hemat saya, tidak sehat. Apa yang dihunjamkan oleh HB Jassin, A. Teeuw, A.H. Johns, Keith Foulcher, Arief Budiman, Subagio Sastrowardojo, Sapardi Djoko Damono, Goenawan Mohamad, yang kesemuanya berorientasi ke Barat, selalu dilulur lumat-lumat oleh para penelaah berikutnya, apakah dia peneliti, penulis buku, dosen, mahasiswa, peminat dan pembaca.
Pendapat mereka telah menjadi mapan dan kemudian menjadi mitos yang susah diungkai. Aneh sekali, misalnya, ketika Teeuw mengatakan bahwa kata-kata yang dipakai oleh Chairil seperti secepuh, mengelucak, mereksmi, hambus, tidak dapat dipahami, para peneliti pun, salah satunya Zaenal Hakim, peneliti dari Pusat Bahasa, cenderung mengikuti saja pendapat filolog dari Belanda itu (lihat Zaenal Hakim, Edisi Kritis Puisi Chairil Anwar, Dian Rakyat, 1996, hal. 14).
Selengkapnya silakan masuk ke HARIAN ANALISA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar