Sesungguhnya e-voting bukanlah sebuah hal yang baru di dunia. Beberapa negara sudah sempat melakukanya. Misalnya di India dan Amerika Serikat telah melakukan Pemilu Parlemen dengan cara e-voting. Walau demikian, ada negara yang menolak pelaksanaan e-voting. Mahkamah Konstitusi Jerman yakni delegasi dari MK Republik Federal Jerman, Hakim Rudolf Mellinghoff menyatakan,”MK Jerman memutuskan bahwa e-Voting adalah bertentangan dengan konstitusi Jerman.”
Pada 2007. di negeri Belanda, Election Process Advisory Comission (Komisi Penasehat Pemilihan Umum) menerbitkan laporan “Voting with Confidence” dan memaksa State Secretary for the Interior (Sekretaris Negara urusan Dalam Negeri) mencabut Regulation for Approval of Voting Machine 1997. Beberapa minggu kemudian, District Court of Amsterdam (Pengadilan Negeri Amsterdam) mencabut semua sertifikasi sistem e-voting Nedap. Akibatnya, pemerintah Belanda memutuskan kembali ke sistem pemilihan menggunakan kertas dan pensil pada Mei 2008
Di Indonesia, e-voting sudah pernah dilakukan oleh salah satu kabupaten di Bali, yakni Jembrana. Kabupaten ini melaksanakan e-voting untuk pemilihan kepala dusun dan bukan hanya sekali, melainkan sudah puluhan kali. Penggunaan e-voting di kabupaten Jembrana berhasil menghemat anggaran lebih dari 60 persen terutama anggaran kertas suara. E-voting ini awalnya hanya menggunakan e-KTP (Kartu Tanda Penduduk elektronik). Efek dari penggunaan e-KTP adalah pemilih tidak mungkin melakukan pemilihan lebih dari sekali. TPS (tempat pemungutan suara) juga bisa menampung hingga 1000 pemilih, sementara dengan sistem manual sekitar 500-700 pemilih saja per TPS yang layak.
Sebenarnya, selain Jembrana Bali, penggunaan e-voting di Indonesia telah dilakukan dalam skala terbatas. Terbatas karena hanya dilakukan dalam lingkup organisasi atau perusahaan. Bahkan dalam beberapa acara entertaint di televisi, tidak jarang kita menyaksikan acara hiburan atau kuis yang menggunakan e-voting.
E-voting merupakan salah satu metode pemungutan suara dan penghitungan suara dalam suatu pemilihan dengan menggunakan perangkat elektronik. Tujuannya adalah menekan biaya penyelenggaraan pemungutan suara dan penghitungan suara yang cepat dengan menggunakan dsistem yang aman dan mudah untuk dilakukan audit. Menurut kepala BPPT saat itu, dengan e-voting Perhitungan suara akan lebih cepat, bisa menghemat biaya pencetakan surat suara, pemungutan suara lebih sederhana, dan peralatan dapat digunakan berulang kali untuk Pemilu dan Pilkada.
Pilihan teknologi yang digunakan dalam implementasi dari e-Voting sangat bervariasi, seperti penggunaan kartu pintar untuk otentikasi pemilih yang bisa digabung dalam e-KTP, penggunaan internet sebagai sistem pemungutan suara atau pengiriman data, penggunaan layar sentuh sebagai pengganti kartu suara, dan masih banyak variasi teknologi yang bisa digunakan dewasa ini. Dalam perkembangan pemikiran dewasa ini penggunaan perangkat telepon seluler untuk memberikan suara bisa menjadi pilihan karena sudah menggabungkan (konvergensi) perangkat komputer dan jaringan internet dalam satu perangkat tunggal.
Dalam perjalanan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, penerapan dan teknologi e-voting terus berubah mengikuti tren. Berbagai kekurangan dan kelemahan yg pernah terjadi di berbagai negara yang pernah melaksanakan e-voting menjadi bahan pelajaran utama bagi pengembangannya kemudian. Salah satu segi positif dari penerapan e-voting saat ini adalah makin murahnya hardware yang digunakan dan makin terbukanya software yang digunakan. Efeknya, biaya pelaksanaan semakin hari semakin menunjukkan tren penurunan. Bahkan softwarenya semakin terbuka untuk diaudit secara bersama. Salah satu konsep penerapan perangkat lunak adalah melalui Indonesia Goes Open Source (IGOS) dengan diperkenalkannya aplikasi e-Demokrasi pada tahun 2007.
Pada tahun 2009, gubernur Bali dan 21 kepala dusun di Jembrana meminta pengujian materiil di Mahkamah Konstitusi terhadap UU No 32 Tahun 2004 ttg Pemerintahan Daerah dan hasilnya, MK menerima dan mengabulkan permohonan itu. Amar putusannya adalah sbb.:
Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;
• Menyatakan Pasal 88 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran negara Republik Indonesia Nomor 4437) adalah konstitusional bersyarat terhadap Pasal 28C ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sehingga kata, “mencoblos” dalam Pasal 88 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah diartikan pula menggunakan metode e-voting dengan syarat kumulatif sebagai berikut:
a. tidak melanggar asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil;
b. daerah yang menerapkan metode e-voting sudah siap dari sisi teknologi, pembiayaan, sumber daya manusia maupun perangkat lunaknya, kesiapan masyarakat di daerah yang bersangkutan, serta persyaratan lain yang diperlukan;
• Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya;
(http://www.bphn.go.id/data/documents/putusan_147-puu-vii-2009_(pemda).pdf )
e-Voting di GMIM
Dalam lebih sebulan terakhir ini, gonjang-ganjing pro-kontra e-voting dalam pemilihan Badan Pekerja Majelis Sinode dan BIPRA sinode menjadi trending topik di media social yang berafiliasi ke GMIM. Panitia pemilihan yang diketuai Olly Dondokambey selaku Gubernur Sulut, merencanakan akan menggunakan teknologi informasi sebagai model baru dalam pemilihan BPMS. Salah satu targetnya adalah menekan waktu pencoblosan yang terlalu lama ketika menggunakan model konvensional menggunakan kartu suara. Sementara di pihak yang lain, banyk yang menolak rencana tersebut dengan berbagai alasan. Salah satu alasan adalah dalam Tata Gereja dan Juklak pemilihan tidak diatur soal e-voting, melainkan system konvensional. E-voting dianggap melanggar azas langsung, rahasia dan tertulis. Sedangkan dalam juklak disebutkan, pemilihan BPMS melalui pemungutan suara langsung dan tertulis.
Jika dihubungkan dengan putusan MK soal e-voting yg dilakukan di Jembrana, maka masalah azas langsung dan rahasia sebenarnya tetap terjamin. Yang jadi masalah ketika di Tata Gereja dan Juklak mengatur “tertulis” yang berarti pemilih menulis nama calon, bukan mencoblos nama calon. Dengan perkataan lain, e-voting tidak boleh dilakukan.
Namun, mengingat pengambil keputusan tertinggi di GMIM adalah Sidang Majelis Sinode, mka boleh atau tidak bolh menggunakan e-voting pada dasarkan dapat diputuskan oleh sidang walaupun ada pihak yang tidak menerima keputusan itu. Dalam hal ini juklak yang kedudukannya jauh di bawah Tata Gereja dapat saja dibatalkan (khusus terkait pelaksanaan e-voting). Proses pembatalan ini juga tidak mudah karena akan ada efek domino, yakni mereka yang sempat jadi korban “kesewenang-wenangan” juklak pada Pilpelsus dapat saja bereaksi. Maka muncullah kasus baru yang dilematis bagai lingkaran setan.
Terkait penggunaan perangkat yang akan digunakan dalam pemilihan BPMS (dan BIPRA Sinode) adalah perangkat yang fungsinya layanan informasi dan transaksi elektronik. Secara hukum, penciptaan dan penggunaan perangkat elektronik diatur dalam UU Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik juncto UU Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik serta Peraturan Menteri Komunikasi Dan Informatika Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2016 Tentang Sistem Manajemen Pengamanan Informasi.
UU No 11 Tahun 2008 juncto Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik mengatur soal sertifikasi sbb.:
Pasal 10
(1) Setiap pelaku usaha yang menyelenggarakan Transaksi Elektronik dapat disertifikasi oleh Lembaga Sertifikasi Keandalan.
Pasal 15
(1) Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik harus menyelenggarakan Sistem Elektronik secara andal dan aman serta bertanggung jawab terhadap beroperasinya Sistem Elektronik sebagaimana mestinya.
(2) Penyelenggara Sistem Elektronik bertanggung jawab terhadap Penyelenggaraan Sistem Elektroniknya.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku dalam hal dapat dibuktikan terjadinya keadaan memaksa, kesalahan, dan/atau kelalaian pihak pengguna Sistem Elektronik.
Pasal 16
(1) Sepanjang tidak ditentukan lain oleh undang-undang tersendiri, setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib mengoperasikan Sistem Elektronik yang memenuhi persyaratan minimum sebagai berikut:
a. dapat menampilkan kembali Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik secara utuh sesuai dengan masa retensi yang ditetapkan dengan Peraturan Perundang-undangan;
b. dapat melindungi ketersediaan, keutuhan, keotentikan, kerahasiaan, dan keteraksesan Informasi Elektronik dalam Penyelenggaraan Sistem Elektronik tersebut;
c. dapat beroperasi sesuai dengan prosedur atau petunjuk dalam Penyelenggaraan Sistem Elektronik tersebut;
d. dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk yang diumumkan dengan bahasa, informasi, atau simbol yang dapat dipahami oleh pihak yang bersangkutan dengan Penyelenggaraan Sistem Elektronik tersebut; dan
e. memiliki mekanisme yang berkelanjutan untuk menjaga kebaruan, kejelasan, dan
kebertanggungjawaban prosedur atau petunjuk.
Sedangkan PP 82 Tahun tahun 2012 mengatur sbb.:
Pasal 3
(1) Penyelenggaraan Sistem Elektronik dilaksanakan oleh Penyelenggara Sistem Elektronik.
(2) Penyelenggaraan Sistem Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan untuk:
a. pelayanan publik; dan
b. nonpelayanan publik.
(3) Kriteria pelayanan publik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 4
Penyelenggaraan Sistem Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) meliputi pengaturan:
a. pendaftaran;
b. Perangkat Keras;
c. Perangkat Lunak;
d. tenaga ahli;
e. tata kelola;
f. pengamanan;
g. Sertifikasi Kelaikan Sistem Elektronik; dan
h. pengawasan.
Pasal 6
(1) Perangkat Keras yang digunakan oleh Penyelenggara Sistem Elektronik harus:
a. memenuhi aspek interkonektivitas dan kompatibilitas dengan sistem yang digunakan;
b. memperoleh sertifikat kelaikan dari Menteri;
c. mempunyai layanan dukungan teknis, pemeliharaan, dan purnajual dari penjual atau penyedia;
d. memiliki referensi pendukung dari pengguna lainnya bahwa Perangkat Keras tersebut berfungsi sesuai dengan spesifikasinya;
e. memiliki jaminan ketersediaan suku cadang paling sedikit 3 (tiga) tahun;
f. memiliki jaminan kejelasan tentang kondisi kebaruan; dan
g. memiliki jaminan bebas dari cacat produk.
(2) Penyelenggara Sistem Elektronik wajib memastikan netralitas teknologi dan kebebasan memilih dalam penggunaan Perangkat Keras.
(3) Menteri menetapkan standar teknis Perangkat Keras yang digunakan oleh Penyelenggara Sistem Elektronik.
Pasal 7
(1) Perangkat Lunak yang digunakan oleh Penyelenggara Sistem Elektronik untuk pelayanan publik wajib:
a. terdaftar pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika;
b. terjamin keamanan dan keandalan operasi sebagaimana mestinya; dan
c. sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Sementara itu, dalam Peraturan Pemerintah Menteri Kominfo Nomor 4 Tahun 2016 Tentang Sistem Manajemen Pengamanan Informasi mengatur a.l. sbb.:
Pasal 10
(1) Penyelenggara Sistem Elektronik strategis dan Penyelenggara Sistem Elektronik tinggi wajib memiliki Sertifikat Sistem Manajemen Pengamanan Informasi.
(2) Penyelenggara Sistem Elektronik rendah dapat memiliki Sertifikat Sistem Manajemen Pengamanan Informasi.
Pertanyaannya sekarang, apakah produsen perangkat dan sistem e-voting untuk pemilihan BPMS sudah sesuai dan melaksanakan apa yang diamanatkan ketiga peraturan perundang-undangan di atas? Apakah peralatannya sudah dibuktikan keandalan dan jaminan keamanan sebagaimana diatur oleh ketiga peraturan di atas? Di sinilah letak masalahnya yang lain setelah setuju atau tidak setuju sidang majelis sinode terhadap sistem pemilihan e-voting. Namun semuanya kembali ke peserta Sidang Majelis Sinode. Apakah setuju atau tidak atas pelaksanaan e-voting.
Berikut ini, silakan simak apa yg menjadi kelebihan dan kekurang e-oting menurut Lembaga Internasional untuk Demokrasi dan Pendampingan Pemilu (International IDEA). Internatonal IDEA adalah organisasi antarpemerintah yang mendukung keberlangsungan demokrasi di seluruh dunia. Misi International IDEA yaitu untuk mendukung perubahan demokratis yang berkelanjutan dengan memberikan ilmu komparatif dan membantu dalam reformasi demokratis serta mempengaruhi kebijakan dan politik.
(Semuel Muhaling/Anggota Majelis Sinode GMIM)