Selasa, 21 Januari 2025

Mengenal Sekilas Pakaian Adat Sangihe

Mengenal Pakaian adat Sangihe yang dikenakan di setiap pelaksanaan upacara adat Tulude.

Pakaian adat Sangihe adalah pakaian yg dikenakan secara khusus pada acara-acara atau ritual adat, terutama pada hajatan upacara adat tulude yang dilaksanakan setiap akhir bulan Januari atau awal bulan Februari. Selain dikenakan pada ritual upacara adat tulude, juga dikenakan pada acara penjemputan tamu penting, naik rumah baru, peluncuran perahu dll.

Secara umum, pakaian adat Sangihe terdiri atas beberapa jenis seperti terurai di bawah ini:

1. Laku Tepu

Laku tepu adalah pakaian adat untuk laki-laki maupun perempuan. Namun bagi laki-laki berupa busana panjang hingga ke mata kaki berlengan panjang tanpa kerah, tanpa belahan di bagian leher, dipasangkan dengan celana panjang. Bagi perempuan panjang hingga ke lutut atau separuh betis dan dipasangkan dengan rok hingga ke mata kaki. Dahulu bahan laku tepu terbuat dari serat kofo atau hote atau pisang abaka yang ditenun. Laku tepu laki-laki dipadukan pula dengan ikat pinggang bahan kain serupa selebar 15 cm panjang kira-kira 2 meter dilingkar ke pinggang, diikatkan di sebelah kanan dan kedua ujungnya dibiarkan terurai ke bawah. Sedangkan pada perempuan dipadukan dengan selendang yg melingkar dari bahu kanan lalu disimpul ke pinggang kiri untuk perempuan yg sudah menikah, dan dari bahu kiri dan disimpul ke pinggang kanan untuk anak gadis. Selendang ini disebut bawandang; Laku tepu pria dikenakan oleh pemimpin dan tokoh adat yg akan melakukan ritual adat (pemotong tamo, pembawa tatahulending, penabuh tagonggong, dll). sedangkan laku tepu perempuan dikenakan siapa saja yg mampu menyediakannya. 

model laku tepu laki-laki
 
model laku tepu perempuan

2. Baniang

Baniang adalah kemeja pria tangan panjang hasil modifikasi dr laku tepu yg panjangnya hanya sebatas pinggul, berbelahan dengan kancing di bagian depan. 

model baniang


3. Laku kingking/kongkong

Kingking adalah kemeja tanpa lengan dan kongkong adalah celana pendek sebatas lutut digunakan penari adat pria atau pengawal raja dengan warnanya merah. Untuk kongkong bisa merah bisa juga hitam. Kelengkapannya adalah pedang bara dan kellung atau perisai.

kingking dan kongkong

4. Paporong

Paporong atau umbe adalah ikat kepala dari kain segi tiga yang dilipat tiga atau empat selebar kira-kira 10 cm hingga bersisa sudut kain di bagian atas. Paporong diikat ke kepala melingkar dari belakang ke depan kemudian putar ke belakang kepala dan kedua ujungnya diikatkan (disimpul) di belakang kepala. Paporong ini khusus untuk pria. Paporong acara resmi mengikuti ketentuan ini sedangkan paporong sehar-hari untuk ke laut atau ke ladang atau sekadar digunakan di rumah tanpa memperhatikan ketentuan paporong resmi.

Paporong atau juga disebut umbe dibuat dari bahan kain yang cukup tebal atau agak kaku seperti kain kofo (mengingat kain kofo sulit sekali ditemukan dewasa ini maka dapat menggunakan kain tipis sejenis kain hero atau tetron dan dilapisi dengan staplek atau kain krah; bisa juga direndam tepung kanji),  dengan ukuran bujur sangkar sekitar 120 cm x 120 cm. Cara membualnya adalah sbb.:
  1. Kain dilipat dua secara diagonal sehingga akan terbentuk segi tiga sama kaki;
  2. Setelah membentuk segi tiga, kain kemudian dilipat dari bagian sisi alas (sisi lipatan) selebar kira-kira 10 cm. Dilipat beberapa kali sampai akan tersisa sudut kain setinggi sekitar 10-15 cm;
  3. Kain yang sudah terlipat kemudian dilingkar ke lutut untuk membentuk lingkaran kepala atau bisa dilingkar langsung ke kepala; jika diikat langsung ke kepala, bagian segi tiga diletakkan di belakang kepala lalu bagian lipatan ditarik ke dahi terus dilingkar ke belakang sehingga kedua ujung lipatan bertemu kemudian disimpul (diikat) atau dijahit.
  4. Setelah selesai melipat dan membeniuk paporong, selanjuinya adalah membentuk tekukan sudut atas (sisa sudul yang sekitar 10-15 cm) untuk memberikan petunjuk siapa gerangan orang yang mengenakan paporong tersebui, Untuk hal ini dapat dibedakan atas lima jenis tekukan sudut paporong sbb:

1) Paporong Mararatu

Paporong ini untuk pemimpin atau raja. Sudut kain ditekuk penuh menutupi bagian ikatan dan ketika dikenakan, baglan ini diletakkan di belakang kepala. lni melambangkan beban tanggung jawab seorang pemirnpin atau raja; 

2) Paporong Alabadiri atau Ransa

Sudut kain dan ikatan diletakkan di samping kanan kepala, lalu sudut kain ditekuk ke bawah mendekati bagian ikatan. Ini melambangkan penghormatan dan kepatuhan kepada pemimpin;


3) Paporong Upase

Sudut kain dan ikatan diletakkan di bagian belakang kepala, sedangkan sudutnya ditekuk sedikit sehingga kelihatan agak miring sekitar 45 derajat ke belakang. lni melambangkan kedengar-dengaran atau penurutan. Paporong atau umbe ini adalah paporong umum. 

4) Paporong Salo 

Sudut kain dan ikatan berada di belakang kepala, tapi sudut kain ditekuk ke arah depan sehingga agak menutup bagian ubun-ubun. Ini melambangkan keberanian dan kepeloporan; 

5) Paporong sehari-hari:

Paporong ini ndak menyisahkan sudut kain atau tanpa sudut untuk ditekuk. Yang ada hanya ikatan saja. Paporong ini adalah paporong untuk penggunaan sehari-hari oleh masyarakat umum, baik untuk dikenakan di rumah, di laut maupun di ladang/kebun; 

5. Bawandang

Bawandang adalah selendang yg dikenakan kepada perempuan sebagai padanan laku tepu perempuan. ukurannya kira-kira lebar 15 cm dan panjang 2 meter. Warnanya menyesuaikan warna laku tepu. Cara menggantung bawandang adalah sbb.:
  • bagi perempuan yang sudah menikah digantungkan pada bahu kanan dan turun melingkar ke pinggang kiri lalu disimpul atau bisa juga dijepit menggunakan peniti;
 


  • bagi perempuan yg belum menikah atau gadis digantungkan pada bahu kiri dan turun melingkar ke pinggang kanan lalu disimpul atau bisa juga dijepit menggunakan peniti. 

6. Ikat pinggang (Papehe)

Ikat pinggang atau papehe adalah padanan atau pelengkap laku tepu pria. Ukurannya hampir sama dengan bawandang perempuan. Lebar sekitar 15 cm atau lebih dan panjang sekitar 2 meter. Cara mengikatnya, dimulai dari pinggang kiri melingkar ke kanan lalu disimpul dengan ujungnya terjurai. Warna ikat pinggang mengikuti warna laku tepu;
papehe

Warna laku tepu, baniang, paporong dan bawandang ketentuannya sbb.:
  1. Warna kuning emas khusus untuk pemimpin wilayah (dahulu raja), baik untuk gaunnya, ikat pinggang, selendang, paporong maupun baniang.
  2. Warna hijau untuk wanita.
  3. Warna ungu untuk pria maupun wanita.
  4. Warna putih untuk tokoh agama dan tokoh masyarakat.
  5. Warna hitam untuk celana panjang pria sebagai pasangan baniang.
  6. Warna merah untuk pengawal pemimpin (dahulu hulubalang) dan para penari salo.
  7. Warna ledo (tanpa diwarnai atau warna asli serat kofo) untuk khayalak umum.
Warna-warna tersebut merupakan warna dari alam, baik dr getah pohon, dedaunan maupun umbi-umbian. 

CATATAN: Untuk perempuan ada hal lain di luar busana yg cukup penting dimiliki jika mengenakan laku tepu, yakni konde. Konde perempuan Sangihe memiliki kekhasan karena bentuknya seperti ulekan yg disebut boto pusige (boto = konde, sanggul, pusige = mahkota). Boto pusige atau sanggul ini posisinya perada di atas kepala atau di ubun-ubun.

boto pusige


tag: tulude, upacara adat tulude, pagelaran tulude, gelaran tulude, upacara adat sangihe, pakaian adat sangihe, pakaian adat laku tepu, laku tepu pakaian adat Sangihe. pakaian adat baniang, baniang pakaian adat Sangihe, bawandang selendang adat Sangihe, selendang Sangihe bawandang, paporong ikat kepala adat Sangihe, topi adat Sangihe paporong, Umbe topi adat Sangihe, topi tradisional Sangihe umbe, tari tradisional Sangihe salo, tari tradisional Sangihe ransa, tari tradisional Sangihe alabadiri, tari tradisional Sangihe gunde, tari salo, tari gunde, tari alabadiri, tari ransa, tari ransansahabe, 







Selasa, 07 Januari 2025

Pembentukan Daerah Otonom Baru: Antara Kebutuhan Masyarakat dan Syahwat Kekuasaan Politikus

Pembentukan Daerah Otonom Baru di Indonesia: Antara Kebutuhan Masyarakat dan Syahwat Kekuasaan Politikus
kompas.com

Pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB) telah menjadi isu yang kerap menarik perhatian publik di Indonesia. Proses ini dianggap sebagai salah satu langkah strategis untuk mempercepat pembangunan daerah, mendekatkan pelayanan publik, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun, di balik semangat desentralisasi tersebut, terdapat kekhawatiran bahwa pembentukan DOB lebih sering menjadi alat pemuas syahwat kekuasaan para politikus daripada benar-benar didasarkan pada kebutuhan masyarakat.

Motivasi di Balik Pembentukan DOB

Secara teoritis, pembentukan DOB dilakukan untuk memenuhi sejumlah kriteria yang diatur dalam undang-undang. Sebuah daerah harus memiliki potensi ekonomi, kapasitas administrasi, serta dukungan sosial dan budaya untuk menjadi mandiri. Namun, dalam praktiknya, banyak pembentukan DOB yang justru didasari oleh kepentingan politik.

Politikus sering memanfaatkan isu pemekaran untuk mendapatkan dukungan politik di daerah tertentu. Dengan mendukung pemekaran, mereka dapat membangun basis massa, menjanjikan jabatan kepada kroni, atau mengamankan posisi strategis dalam pemerintahan lokal. Dalam beberapa kasus, pemekaran menjadi alat transaksi politik, baik di tingkat lokal maupun nasional.

Dampak Negatif dari Pemekaran Berbasis Kepentingan Politik

1. Beban Anggaran Negara
Pemekaran daerah membutuhkan anggaran yang besar, mulai dari pembangunan infrastruktur pemerintahan hingga pembentukan aparatur baru. Ketika sebuah DOB tidak memiliki potensi ekonomi yang memadai, daerah tersebut cenderung menjadi beban bagi anggaran negara. Hal ini justru berlawanan dengan tujuan awal otonomi daerah untuk meningkatkan kemandirian fiskal.


2. Korupsi dan Nepotisme
Dengan adanya DOB, muncul peluang baru bagi praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Jabatan-jabatan di pemerintahan daerah sering kali diisi oleh orang-orang yang memiliki kedekatan politik atau hubungan pribadi dengan penguasa lokal. Alokasi anggaran pun rentan disalahgunakan untuk kepentingan kelompok tertentu.


3. Ketimpangan dan Konflik Sosial
Pemekaran yang tidak didasarkan pada kebutuhan nyata masyarakat sering kali menimbulkan ketimpangan. Daerah baru yang tidak siap secara ekonomi dan administratif menjadi tertinggal, sementara daerah induk yang ditinggalkan bisa kehilangan sumber daya pentingnya. Selain itu, perbedaan kepentingan antarkelompok dalam proses pemekaran kerap memicu konflik sosial.



Menyelamatkan Semangat Otonomi Daerah

Untuk memastikan bahwa pembentukan DOB benar-benar bermanfaat bagi masyarakat, beberapa langkah berikut perlu dilakukan:

1. Evaluasi Kebutuhan Secara Objektif
Proses evaluasi harus didasarkan pada data dan kajian akademis yang objektif, bukan pada tekanan politik atau kepentingan kelompok tertentu.


2. Peningkatan Kapasitas Daerah
Sebelum dimekarkan, daerah harus dipersiapkan dengan baik, terutama dalam aspek ekonomi, infrastruktur, dan sumber daya manusia.


3. Pengawasan Ketat
Pemerintah pusat dan lembaga independen perlu memperketat pengawasan terhadap proses pemekaran, mulai dari perencanaan hingga implementasi. Hal ini untuk mencegah adanya penyimpangan atau penyalahgunaan wewenang.



Kesimpulan

Pembentukan Daerah Otonom Baru sejatinya adalah sebuah kebijakan yang bertujuan mulia. Namun, apabila dilakukan tanpa perencanaan matang dan hanya untuk memuaskan ambisi politik segelintir pihak, maka pemekaran akan menjadi bumerang bagi pembangunan daerah dan kesejahteraan masyarakat. Reformasi dalam proses pemekaran menjadi kebutuhan mendesak agar semangat desentralisasi dapat benar-benar dirasakan manfaatnya oleh rakyat, bukan hanya menjadi ajang pemuas syahwat kekuasaan para politikus.


Sabtu, 21 Desember 2024

Mengenal Sopan-santun Menyapa dalam Budaya Sangihe Talaud


Betapa kayanya etika atau sopan santun masyarakat Nusa Utara. Dalam kehidupan sehari-hari kata-kata sapaan begitu banyak digunakan. Penyebutan nama secara langsung terhadap orang-orang yg lebih tua usia atau orang yang dihormati adalah suatu pelecehan terhadap nilai-nilai adat, budaya dan sopan santun. Karena itulah dalam masyarakat Nusa Utara dikenal begitu banyak nama sapaan seperti:
Akang = anak tertua; papa akang = paman tertua, mama akang bibi/tante tertua; akang juga bisa berarti kakak yg kemudian mengalami asimilisi dari kata akang menjadi i akang dan akhirnya orang menyebut yakang;
Ara = anak kedua, papa ara = paman kedua; mama ara = bibi/tante kedua;
Ari = anak ketiga; papa ari = paman ketiga; mama ari = bibi/tante ketiga;
Tenga (khusus sub etnis Tagulandang) = anak tengah; papa tenga = paman tengah; mama tenga = bibi/tante tengah;
Hembo (biasanya juga diucap Embo)= anak bungsu; papa hembo = paman bungsu; mama hembo = bibi/tante bungsu;
Bonso = anak bung (khusus sub etnis Tagulandang); papa bonso = paman bungsu; mama bonso = bibi/tante bungsu;

mbau = anak tunggal

mana mbau = bibi tunggal

Papa mbau = paman tunggal 
Bu = bapak (ingat bu Tahahusang);
Usi = ibu;
Tune = lelaki yg dihormati (biasanya disingkat jadi une); 
Ungke = panggilan untuk anak laki-laki;
Uto = panggilan untuk anak perempuan (khusus sub etnis Siau);
Wawu = wanita yang dihormati atau untuk anak perempuan kesayangan;
Momo = panggilan untuk anak perempuan;
Opo = panggilan untuk anak laki-laki (ada juga yang menyebut dgn popo;
Aso = panggilan untuk anak laki-laki (khusus sub etnis Tagulandang); papa aso = paman aso;
Ndio = panggilan untuk anak perempuan (khusus sub etnis Tagulandang) mama ndio = bibi/tante ndio;
Hapi = teman (Sangihe Besar);
Gawe = teman (Siau)
Ringang = teman
Hawe = teman (Talaud);
Gugu = panggilan untuk anak laki-laki sub etnis Talaud;
Boki (Wo’i) = panggilan untuk anak perempuan sub etnis Talaud;
Ratu = panggilan untuk anak laki-laki sub etnis Talaud;
Suami-istri saling menyapa tidak menyebut nama tapi (sebagaimana umumnya) “mama” dan “papa” namun secara khusus menyapa suami dengan menyebut nama anak sulung sesudah papa: papa Medi atau yamang/i amang Medi = ayahnya Medi; kalau istri juga demikian : mama Medi atau ma i Medi atau inangi Medi = ibunya Medi; saling menyapa dengan nama merupakan pertanda tidak saling menghormati di antara suami-istri. Walau demikian krn pengikisan nilai-nilai budaya, ada banyak suami-isteri dewasa ini dalam bersapa saling menyebut nama diri pasangan masing-masing.
Demikian pula orang lain ketika memanggil seseorang yg sudah berumah tangga, pantang menyebut namanya melainkan menggunakan sapaan dengan nama anak sulung sesudah kata papa: papa Enda atau yamang/i amang Enda = ayah Enda; mama Enda atau ma i Enda atau inang i Enda = ibunnya Enda;

Nah, kalau Anda bagian dari etnis Nusa Utara (Sangihe-Talaud), Anda menggunakan kata sapaan mana terhadap suami atau isteri Anda. Dan bagi Anda yang bukan etnis Nusa Utara (Sangihe-Talaud) dan menjadi bagian dr keluarga etnis Nusa Utara kiranya dapat menyesuaikan diri dalam menyapa keluarga suami atau isteri Anda agar tidak menyinggung bahkan menyakiti perasaan mereka. Pengecualiannya, untuk seseorang yang berumur lebih muda silakan disapa menggunakan namanya jika dalam keluarga tidak menyapa atau jarang menyapa dengan sapaan khas sebagaimana disebutkan di atas;

Malunsemahe!!!